Program revitalisasi pasar rakyat terus digulirkan, mengapa? Karena pasar rakyat jamak terkesan kumuh, becek, dan tak nyaman sebagai tempat berbelanja. Akibatnya, konsumen lebih suka berbelanja ke pasar modern. Padahal, pasar rakyat berperan sebagai simpul kekuatan ekonomi lokal.
Ke depan, pasar rakyat perlu didorong agar mampu memenuhi persyaratan umum, teknis dan manajemen “pasar rakyat” sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) 8152:2015. Misalnya, akses bongkar muat barang tidak mengganggu lalu lintas; tersedia akses bagi penyandang disabilitas, lansia, dan ibu menyusui.
Mari kita kenali kekuatan pasar rakyat di tiga kota wisata berikut ini untuk menumbuhkan rasa cinta dan bangga terhadap esensi Pasar Rakyat, sekaligus menimbang urgensi Hari Pasar Rakyat Nasional.
Keunikan Pasar Ubud, Bali
Pasar Ubud, pernah saya nikmati saat “Trip ke Bali” bersama Kompasiana. Selagi pagi pada November 2015 kala itu, kami menuju pasar Ubud. Lokasinya dekat Puri Ubud, tak seberapa jauh dari tempat kami menginap di Hotel DaLa Spa Alaya Resort, Jl. Hanoman, Ubud.
Saya hanya bisa manggut-manggut. Pikirku, Bali aman dari pencurian bukanlah isapan jempol belaka. Entah bagaimana situasinya saat ini.
Keunikan lainnya, pasar itu ditempati oleh para pedagang secara bergantian. Di waktu pagi, pedagang kecil membuka lapak-lapaknya di pelataran Pasar Ubud. Sementara kios-kios permanen di lantai dua, baru buka usai pedagang temporer menutup lapak-lapaknya, sekira pukul 09.00-an ke atas. Aktivitas pasar berhenti kala jelang senja tiba.
Hemat saya, Pasar Ubud populer lewat wisatawan hingga ke mancanegara bukan karena kemodernannya, tetapi karena keunikannya sebagai “Pasar Tradisional”. Ia hadir sebagai bagian dari kekayaan produk wisata budaya Bali, sehingga para wisatawan tertarik untuk mengunjunginya.
Seolah berlaku sebuah pameo, “Jika Anda ingin menikmati Bali yang sebenarnya, setidaknya sempatkan menginap sehari lagi untuk menikmati kawasan wisata Ubud, di mana Pasar Ubud menjadi bagian menarik dari sebuah perjalanan wisata”.
Keunikan Pasar Beringinharjo, Yogyakarta
Pasar Beringinharjo yang berdiri sejak tahun 1758 ini, ibarat surganya belanja di Yogyakarta. Pasar ini dikenal sebagai pasar rakyat penyedia bahan-bahan kain dan pakaian batik dengan harga relatif “miring”.
Lokasi pasarnya strategis, dekat dengan kawasan Maliboro dan Keraton Yogyakarta, ikon wisata budaya Yogya yang sangat popular.
Bangunan pasar Beringinharjo relatif luas. Tersedia area parkir, kios-kios dan los-los yang berderet-deret. Zonasi dan aksesibiltas jalur masuk cukup memudahkan konsumen mencari barang yang diinginkan.
Namun konsumen harus pandai-pandai menawar harga di pasar yang satu ini. Hal itu diperkuat oleh pemilik kedai di dekat penginapan kami yang mengaku penduduk asli Yogyakarta dan sudah lama tinggal di sini. Kebetulan, saat itu kami sedang berlibur akhir Desember 2016.
“Pak, bagaimana triknya agar mendapatkan kain batik yang murah di Pasar Beringinharjo?”, tanyaku.
“Apa Anda pergi berombongan?”, dia balik bertanya. “Ya”, jawabku. Pria paruh baya itu kemudian memberikan tips sebagai berikut:
“Jika Anda pergi ke pasar berombongan, sebaiknya jangan masuk secara bersamaan. Seorang saja yang masuk terlebih dahulu, kemudian diikuti yang lain jika sudah mendapatkan informasi yang jelas. Lebih amannya, cari kios yang menjual barang grosir, bukan pedagang kaki lima”.
Sungguhpun demikian, Pasar Beringinharjo tetap menjadi salah satu alternatif tempat berbelanja yang menarik. Apalagi, diimbangi dengan seruan edukasi hemat berbelanja seperti yang tertulis di spanduk pasar. Kira-kira bunyinya demikian, “Berbelanjalah hanya sesuai kebutuhan!”.
Pasar Oro Oro Dowo, Kota Malang
Usai direvitalisasi, Pasar Oro-Oro Dowo peninggalan Belanda ini makin kinclong, nyaman, dan berkesan modern. Lokasinya berada di Jl. Guntur No. 20, Kelurahan Oro Oro Dowo, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Jawa Timur.
“Selamat Datang di Pasar Rakyat Oro-Oro Dowo”, running teks itu terbaca jelas saat saya memasuki pintu utama Pasar Rakyat ini. Silih berganti, layar running teks itu menampilkan kalimat edukasi, “Jagalah Kebersihan, Ketertiban dan Kenyamanan Pengunjung”.
Dari dekat, tampak jelas deretan los memanjang dan bersekat sesuai zonanya. Sementara di sekelilingnya, berdiri kios-kios. Tiap los dan kios, dipasang papan penanda berdasarkan zonasi barang. Misalnya, ada papan penanda “Sayur Bu Wiji”, “Polo Pendem Mbak Ririn”, “Buah Mbak Lia”, “Daging Sapi Segar Hj. Sofiyah”, “Mbak Ami Daging”, dan lain sebagainya.
Desain bangunanya yang tinggi dan sirkulasi udaranya yang segar, membuat suasana pasar tidak pengap. Pasar Rakyat yang telah diresmikan sejak April 2016 lalu itu, dilengkapi dengan toilet dan mushalla. Di sekitarnya, tumbuh aneka tanaman menghijau, sehingga berasa sejuk dan segar.
Refleksi: Esensi Revitalisasi Pasar Rakyat
Harap dimaklumi, apabila sebagian besar pasar tradisional di Indonesia masih terkesan kumuh dan kurang nyaman. Maka wajar, jika pasar rakyat kalah bersaing dengan pasar modern. Saya kira, cukup mudah mencari contoh bagaimana gambaran pasar rakyat semacam ini.
Bukan perubahan nama “Pasar Tradisional” menjadi “Pasar Rakyat” atau penetapan “Hari Pasar Rakyat Nasional” yang lebih urgen, tapi esensinya adalah mendorong pasar rakyat sebagai penggerak ekonomi daerah, mampu bersaing dengan pasar modern, akses yang lebih ramah terhadap semua, serta manajemen pasar yang menghargai aspek fisik, sosial budaya, dan kearifan lokal. Bagaimana pandangan Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H