Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Petik Kearifan Budaya Lokal Keraton Yogyakarta

24 Desember 2016   23:55 Diperbarui: 25 Desember 2016   11:31 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Laman utama Google sejak hari Jum'at kemarin (23/12/2016), menampilkan ikon Google Doodle dengan ilustrasi tematik “musim liburan!”.

Setiap menikmati musim liburan, pasti ada pelajaran berharga. “Dunia layaknya buku, dan bagi mereka yang tidak melakukan perjalanan, berarti hanya membaca satu halaman saja”, demikian Saint Augustine menyuguhkan betapa travelling itu perlu.

Ya, begitulah. “Dari Biara di Atas Bukit, Memburu Sunset Parangtritis” berhasil menghiasi halaman pertama perjalanan awal kami. Halaman selanjutnya, berisi secuil mutiara kearifan budaya yang saya dapatkan selama berkunjung ke Keraton Yogyakarta, seperti saya tuturkan berikut ini.

Desember di Keraton Yogyakarta

Di bulan Desember yang hangat, mentari belum sempurna menyemburkan cahaya teriknya. Usai sarapan di Hotel Limaran tempat menginap, kami bergegas menuju Keraton Yogyakarta.

Untuk sampai di lokasi, kami melangkahkan kaki sejauh sekira 250 dari ujung gedung Bank Indonesia (BI) Yogya, tempat bus pariwisata parkir.

Pohon-pohon beringin dengan akarnya yang bergelantungan, seolah menyambut kedatangan kami. Begitu juga saat melintasi alun-alun, terlihat di tengah lapangan sudah berdiri tegak pohon beringin kembar. Di sebelah alun-alun, berdiri bangunan Masjid Agung. Tak jauh darinya, berdiri Museum Sonobudoyo, dll.

Jalan kaki menyusuri jalan menuju Keraton Yogyakarta/Dok. Pribadi
Jalan kaki menyusuri jalan menuju Keraton Yogyakarta/Dok. Pribadi
Melewai depan Museum Sonobudoyo/Dok. Pribadi
Melewai depan Museum Sonobudoyo/Dok. Pribadi
Tak ketinggalan, bendi-bendi dan becak-becak khas Yogya, ikut berebut menyambut para wisatawan di jalanan. Demikian halnya dengan para penjaja makanan dan aneka souvenir.

Bendi (dokar) saat melintas di jalan sekitar alun-alun/Dok. Pribadi
Bendi (dokar) saat melintas di jalan sekitar alun-alun/Dok. Pribadi
Becak becak berjajar di pojok Jalan Rotowijayan/Dok. Pribadi
Becak becak berjajar di pojok Jalan Rotowijayan/Dok. Pribadi
Aneka penjaja makanan dan souvenir di dekat pintu masuk Keraton/Dok. Pribadi
Aneka penjaja makanan dan souvenir di dekat pintu masuk Keraton/Dok. Pribadi
Usai membeli tiket masuk, seorang pemandu wisata siap menyertai rombongan kami. Untuk mendapatka izin memotret, saya mendapatkan tanda pengenal khusus, hanya dengan tambahan beaya sebesar Rp 1.000 (seribu rupiah).

Begitu memasuki pintu gerbang, tampak sebuah istana Jawa berarsitektur indah, Keraton Yogyakarta. Istana ini disebut-sebut sebagai istana Jawa yang ideal dengan desain terbaik.

Suasana di Sekitar Kompleks Keraton Yogyakarta/Dok. Pribadi
Suasana di Sekitar Kompleks Keraton Yogyakarta/Dok. Pribadi
Halam luas dan rindang di dalam kompleks istana/Dok. Pribadi
Halam luas dan rindang di dalam kompleks istana/Dok. Pribadi
Disebut demikian, karena istana ini memiliki arsitektur lengkap dan tertata rapi. Istananya memiliki balairung-balairung mewah, dilengkapi dengan paviliun dan lapangan yang luas. Tumbuh beberapa pepohonan rindang di halaman kompleks Keraton.

Bagian dari Kompleks yang Dijadikan Museum/Dok. Pribadi
Bagian dari Kompleks yang Dijadikan Museum/Dok. Pribadi
Hunian Kesultanan/Dok. Pribadi
Hunian Kesultanan/Dok. Pribadi
Balairung Istana berkesan mewah/Dok. Pribadi
Balairung Istana berkesan mewah/Dok. Pribadi
Benda-benda bersejarah terawat dengan baik di museum, menempati sebagian kompleks Keraton yang dijadikan tempat penyimpanan benda-benda pusaka, hadiah raja-raja Eropa, dan warisan sejarah lainnya. Museum itu bernama Museum Sri Sultan Hamengkubuwono IX, diresmikan pada 28 Nopember 1992.

Monumen Sri Sultan Hamengkubowono IX/Dok. Pribadi
Monumen Sri Sultan Hamengkubowono IX/Dok. Pribadi
Pintu masuk kawasan museum/Dok. Pribadi
Pintu masuk kawasan museum/Dok. Pribadi
Suasana dalam museum Keraton/Dok. Pribadi
Suasana dalam museum Keraton/Dok. Pribadi
Suasana sebuah sudut museum/Dok. Pribadi
Suasana sebuah sudut museum/Dok. Pribadi
Hingga kini, keraton itu sudah berumur lebih dari 250 tahun sejak didirikan. Pasca Indonesia merdeka, secara administratif Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Keraton Yogyakarta) diserahkan ke pangkuan pemerintah Republik Indonesia.

Piagam Amanat Penetapan/Dok. Pribadi
Piagam Amanat Penetapan/Dok. Pribadi
Benda-benda bersejarah/Dok. Pribadi
Benda-benda bersejarah/Dok. Pribadi
Meja kursi tempat pertemuan bersejarah/Dok. Pribadi
Meja kursi tempat pertemuan bersejarah/Dok. Pribadi
Uniknya, rumah tangga istana kesultanan itu masih menjalankan tradisinya hingga sekarang, seolah layaknya kehidupan sebuah kerajaan yang masih aktif.

Seperti saya saksikan kala itu, beberapa wisatawan asing berbaur dengan wisatawan domestik. Mereka menikmati musik gamelan yang dimainkan oleh orang-orang berpakaian ala Keraton di dalam kompleks istana.

Gamelan Keraton/Dok. Pribadi
Gamelan Keraton/Dok. Pribadi
Sisi lain, saya sempat mencium aroma bau khas kemenyan. Benda itu baru saja dibakar di sebuah sudut sekitar kompleks Keraton. Entah apa maknanya.

Bakar kemenyan/Dok. Pribadi
Bakar kemenyan/Dok. Pribadi
Abdi Dalem,Blangkon dan Kearifan Lokal

Para abdi dalem Keraton, hingga kini masih tetap setia bergiliran bekerja mengurusi rumah tangga istana, jelas sang pemandu wisata kami. "Setiap hari mereka menyisihkan waktunya selama dua jam untuk bekerja di Keraton", tambahnya.

Saya menyaksikan, para abdi dalem sedang berjajar di serambi kompleks Keraton dengan pakaian khasnya, memakai sarung batik, pusaka keris dan “blangkon. Sayang, kami tak diperkenankan memotretnya dari jarak dekat, sang pemandu mengingatkan kami.

Para abdi dalem berjajar di kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Para abdi dalem berjajar di kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Pemakai Pakaian Keraton saat berjalan di Kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Pemakai Pakaian Keraton saat berjalan di Kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Blangkonnya terlihat sedikit mbendhol (menonjol) di bagian belakangnya, sementara bagian depannya halus. Tutup kepala ini unik, mengandung filosofi yang dalam. Blangkon menggambarkan karakter Jawa halus yang tidak suka blak-blakan.

Tersedia blangkon di Kawasan Kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Tersedia blangkon di Kawasan Kompleks Keraton/Dok. Pribadi
“Manusia Jawa”, berusaha menutupi aib demi menjaga perasaan orang lain. Meski hatinya sedih atau marah, ia simpan dalam-dalam. Kehidupannya sarat dengan bahasa simbolik.

Mungkin hal itu relevan dengan peribahasa Jawa, “Mikul dhuwur, mendhem jero”, artinya “menjunjung tinggi kelebihan orang lain, dan menutupi aib orang lain”. Sebuah filosofi manusia Jawa Keraton yang selalu berusaha menghargai tanpa meninggalkan luka sedikitpun di hati lawan bicaranya.

Karakter itu, tampaknya kontras dengan karakter generasi kekinian yang lebih suka to the poin, blak-blakan, instan, dan opo onone. Tentu budaya di atas ada nilai positip dan negatifnya.

Namun bagaimana mengerem “ujaran tertentu” yang diumbar di media sosial, tampaknya perlu belajar pada manusia Keraton.

Tak terasa, kami berada di dalam Keraton hampir 3 jam. Sengatan mentari mulai berasa, saat kami di luar pintu gerbang sekitar pukul 11.00 Wib. Kami bersiap melanjutkan perjalanan berikutnya.

Petik Pelajaran dari Keraton Yogyakarta

Kata-kata bijak dari Benjamin Disraeli berikut ini barangkali masih relevan, bahwa “perjalanan itu mengajarkan toleransi”.

Orang Jawa menyebutnya “tepo seliro”, sebuah sikap yang mengedepankan sisi kemanusiaan dengan tanpa kehilangan jati dirinya.

Setidaknya, saya mendapatkan gambaran bagaimana kerifan budaya lokal di lingkungan Keraton dari dekat. Mereka sedemikian setia menjaga budaya Keraton dengan tetap bekerja menjadi abdi dalem, memakai pakaian adat, dan menjaga tradisinya.

Beduk di dalam kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Beduk di dalam kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Kentongan dan sang pemandu wisata/Dok. Pribadi
Kentongan dan sang pemandu wisata/Dok. Pribadi
Gamelan di Kompleks Keraton Yogyakarta/Dok. Pribadi
Gamelan di Kompleks Keraton Yogyakarta/Dok. Pribadi
Tak hanya itu, Kesultanan Yogyakarata rela menyerahkan kekuasaannya dengan tunduk pada administrasi pemerintah Republik Indonesia pasca kemerdekaan RI.

Bahkan, sang pemimpinnya, meski belajar di Barat, tetap menjadi “Manusia Jawa”. Pernyataan ini terekam dalam sebuah dokumen yang dipajang di area Museum Keraton sebagai berikut:

Cuplikan Amanat Penobatan HB-IX/Dok. Pribadi
Cuplikan Amanat Penobatan HB-IX/Dok. Pribadi
Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun yang pertama-tama saya adalah orang Jawa” (Cuplikan Amanat Penobatan HB-IX, 18 Maret 1940).

Apakah perilaku abdi dalem, pakaian blangkon dan kearifan lokal di lingkungan Keraton masih relevan dengan dunia kekinian? Semua berpulang pada pembaca!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun