Laman utama Google sejak hari Jum'at kemarin (23/12/2016), menampilkan ikon Google Doodle dengan ilustrasi tematik “musim liburan!”.
Setiap menikmati musim liburan, pasti ada pelajaran berharga. “Dunia layaknya buku, dan bagi mereka yang tidak melakukan perjalanan, berarti hanya membaca satu halaman saja”, demikian Saint Augustine menyuguhkan betapa travelling itu perlu.
Ya, begitulah. “Dari Biara di Atas Bukit, Memburu Sunset Parangtritis” berhasil menghiasi halaman pertama perjalanan awal kami. Halaman selanjutnya, berisi secuil mutiara kearifan budaya yang saya dapatkan selama berkunjung ke Keraton Yogyakarta, seperti saya tuturkan berikut ini.
Desember di Keraton Yogyakarta
Di bulan Desember yang hangat, mentari belum sempurna menyemburkan cahaya teriknya. Usai sarapan di Hotel Limaran tempat menginap, kami bergegas menuju Keraton Yogyakarta.
Untuk sampai di lokasi, kami melangkahkan kaki sejauh sekira 250 dari ujung gedung Bank Indonesia (BI) Yogya, tempat bus pariwisata parkir.
Pohon-pohon beringin dengan akarnya yang bergelantungan, seolah menyambut kedatangan kami. Begitu juga saat melintasi alun-alun, terlihat di tengah lapangan sudah berdiri tegak pohon beringin kembar. Di sebelah alun-alun, berdiri bangunan Masjid Agung. Tak jauh darinya, berdiri Museum Sonobudoyo, dll.
Begitu memasuki pintu gerbang, tampak sebuah istana Jawa berarsitektur indah, Keraton Yogyakarta. Istana ini disebut-sebut sebagai istana Jawa yang ideal dengan desain terbaik.
Seperti saya saksikan kala itu, beberapa wisatawan asing berbaur dengan wisatawan domestik. Mereka menikmati musik gamelan yang dimainkan oleh orang-orang berpakaian ala Keraton di dalam kompleks istana.
Para abdi dalem Keraton, hingga kini masih tetap setia bergiliran bekerja mengurusi rumah tangga istana, jelas sang pemandu wisata kami. "Setiap hari mereka menyisihkan waktunya selama dua jam untuk bekerja di Keraton", tambahnya.
Saya menyaksikan, para abdi dalem sedang berjajar di serambi kompleks Keraton dengan pakaian khasnya, memakai sarung batik, pusaka keris dan “blangkon. Sayang, kami tak diperkenankan memotretnya dari jarak dekat, sang pemandu mengingatkan kami.
Mungkin hal itu relevan dengan peribahasa Jawa, “Mikul dhuwur, mendhem jero”, artinya “menjunjung tinggi kelebihan orang lain, dan menutupi aib orang lain”. Sebuah filosofi manusia Jawa Keraton yang selalu berusaha menghargai tanpa meninggalkan luka sedikitpun di hati lawan bicaranya.
Karakter itu, tampaknya kontras dengan karakter generasi kekinian yang lebih suka to the poin, blak-blakan, instan, dan opo onone. Tentu budaya di atas ada nilai positip dan negatifnya.
Namun bagaimana mengerem “ujaran tertentu” yang diumbar di media sosial, tampaknya perlu belajar pada manusia Keraton.
Tak terasa, kami berada di dalam Keraton hampir 3 jam. Sengatan mentari mulai berasa, saat kami di luar pintu gerbang sekitar pukul 11.00 Wib. Kami bersiap melanjutkan perjalanan berikutnya.
Petik Pelajaran dari Keraton Yogyakarta
Kata-kata bijak dari Benjamin Disraeli berikut ini barangkali masih relevan, bahwa “perjalanan itu mengajarkan toleransi”.
Orang Jawa menyebutnya “tepo seliro”, sebuah sikap yang mengedepankan sisi kemanusiaan dengan tanpa kehilangan jati dirinya.
Setidaknya, saya mendapatkan gambaran bagaimana kerifan budaya lokal di lingkungan Keraton dari dekat. Mereka sedemikian setia menjaga budaya Keraton dengan tetap bekerja menjadi abdi dalem, memakai pakaian adat, dan menjaga tradisinya.
Bahkan, sang pemimpinnya, meski belajar di Barat, tetap menjadi “Manusia Jawa”. Pernyataan ini terekam dalam sebuah dokumen yang dipajang di area Museum Keraton sebagai berikut:
Apakah perilaku abdi dalem, pakaian blangkon dan kearifan lokal di lingkungan Keraton masih relevan dengan dunia kekinian? Semua berpulang pada pembaca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H