Karakter itu, tampaknya kontras dengan karakter generasi kekinian yang lebih suka to the poin, blak-blakan, instan, dan opo onone. Tentu budaya di atas ada nilai positip dan negatifnya.
Namun bagaimana mengerem “ujaran tertentu” yang diumbar di media sosial, tampaknya perlu belajar pada manusia Keraton.
Tak terasa, kami berada di dalam Keraton hampir 3 jam. Sengatan mentari mulai berasa, saat kami di luar pintu gerbang sekitar pukul 11.00 Wib. Kami bersiap melanjutkan perjalanan berikutnya.
Petik Pelajaran dari Keraton Yogyakarta
Kata-kata bijak dari Benjamin Disraeli berikut ini barangkali masih relevan, bahwa “perjalanan itu mengajarkan toleransi”.
Orang Jawa menyebutnya “tepo seliro”, sebuah sikap yang mengedepankan sisi kemanusiaan dengan tanpa kehilangan jati dirinya.
Setidaknya, saya mendapatkan gambaran bagaimana kerifan budaya lokal di lingkungan Keraton dari dekat. Mereka sedemikian setia menjaga budaya Keraton dengan tetap bekerja menjadi abdi dalem, memakai pakaian adat, dan menjaga tradisinya.
Bahkan, sang pemimpinnya, meski belajar di Barat, tetap menjadi “Manusia Jawa”. Pernyataan ini terekam dalam sebuah dokumen yang dipajang di area Museum Keraton sebagai berikut:
Apakah perilaku abdi dalem, pakaian blangkon dan kearifan lokal di lingkungan Keraton masih relevan dengan dunia kekinian? Semua berpulang pada pembaca!