Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Petik Kearifan Budaya Lokal Keraton Yogyakarta

24 Desember 2016   23:55 Diperbarui: 25 Desember 2016   11:31 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemakai Pakaian Keraton saat berjalan di Kompleks Keraton/Dok. Pribadi

Karakter itu, tampaknya kontras dengan karakter generasi kekinian yang lebih suka to the poin, blak-blakan, instan, dan opo onone. Tentu budaya di atas ada nilai positip dan negatifnya.

Namun bagaimana mengerem “ujaran tertentu” yang diumbar di media sosial, tampaknya perlu belajar pada manusia Keraton.

Tak terasa, kami berada di dalam Keraton hampir 3 jam. Sengatan mentari mulai berasa, saat kami di luar pintu gerbang sekitar pukul 11.00 Wib. Kami bersiap melanjutkan perjalanan berikutnya.

Petik Pelajaran dari Keraton Yogyakarta

Kata-kata bijak dari Benjamin Disraeli berikut ini barangkali masih relevan, bahwa “perjalanan itu mengajarkan toleransi”.

Orang Jawa menyebutnya “tepo seliro”, sebuah sikap yang mengedepankan sisi kemanusiaan dengan tanpa kehilangan jati dirinya.

Setidaknya, saya mendapatkan gambaran bagaimana kerifan budaya lokal di lingkungan Keraton dari dekat. Mereka sedemikian setia menjaga budaya Keraton dengan tetap bekerja menjadi abdi dalem, memakai pakaian adat, dan menjaga tradisinya.

Beduk di dalam kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Beduk di dalam kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Kentongan dan sang pemandu wisata/Dok. Pribadi
Kentongan dan sang pemandu wisata/Dok. Pribadi
Gamelan di Kompleks Keraton Yogyakarta/Dok. Pribadi
Gamelan di Kompleks Keraton Yogyakarta/Dok. Pribadi
Tak hanya itu, Kesultanan Yogyakarata rela menyerahkan kekuasaannya dengan tunduk pada administrasi pemerintah Republik Indonesia pasca kemerdekaan RI.

Bahkan, sang pemimpinnya, meski belajar di Barat, tetap menjadi “Manusia Jawa”. Pernyataan ini terekam dalam sebuah dokumen yang dipajang di area Museum Keraton sebagai berikut:

Cuplikan Amanat Penobatan HB-IX/Dok. Pribadi
Cuplikan Amanat Penobatan HB-IX/Dok. Pribadi
Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun yang pertama-tama saya adalah orang Jawa” (Cuplikan Amanat Penobatan HB-IX, 18 Maret 1940).

Apakah perilaku abdi dalem, pakaian blangkon dan kearifan lokal di lingkungan Keraton masih relevan dengan dunia kekinian? Semua berpulang pada pembaca!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun