Pekik “Merdeka atau Mati” diiringi takbir berkali-kali yang dikobarkan oleh Bung Tomo 71 tahun lalu, bikin bulu kuduk merinding, meski mendengarkannya hanya lewat rekaman. Pidato herorik lelaki bernama asli Sutomo itu, berhasil menggerakkan Arek Arek Suroboyo dalam pertempuran 10 November 1945 atau The Beatle of Surabaya.
Kini, setiap tanggal 10 Nopember diperingati sebagai Hari Pahlawan, bagian dari sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Dalam pidatonya kala itu, Bung Tomo antara lain berseru:
“…lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!”
Selengkapnya, teksnya ada di sini dan rekaman suaranya ada di sini.
Mengenang Sekilas Peristiwa The Beatle of Surabaya
Zaman terus berubah. Jarum jam sejarah tak bisa diputar balik ke belakang. Generasi kini, dihadapkan pada situasi yang berbeda. Perang informasi dan media sosial tak terelakkan. Terkadang masyarakat bingung, mana yang pahlawan dan mana yang pecundang. Karena itu, ada baiknya kita kembali mengenang sejarah perjuangan Arek Arek Suroboyo dalam peristiwa 10 Nopember 1945 yang heroik itu.
Jika proklamasi kemerdekaan RI berlangsung pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, maka pertempuran 10 Nopember 1945 berlangsung di Surabaya. Peristiwa itu terjadi hanya berselang sekitar 3 bulan setelah diproklamasikan kemerdekaan RI.
Loh kok sudah dinyatakan merdeka masih ada penjajahan?
Ya, pasalnya tentara Inggris pada tanggal 15 September 1945 mendarat di Jakarta, berlanjut pada tanggal 25 Oktober 1945 mendarat di Surabaya. Tentara Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) itu, bertugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun misinya tidak hanya itu. Ternyata, tentara Inggris datang diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Kok diboncengi?
Ya, karena Pemerintah NICA berkepentingan untuk mengembalikan Indonesia agar secara administratif masih menjadi jajahan pemerintahan Hindia Belanda. Bersama rombongan tentara Inggris itulah, NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut numpang untuk mewujudkan kepentingannya.
Rakyat Indonesia tentu tidak terima, maka tumbuhlah pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana. Arek Arek Surabaya yang terkenal dengan semboyannya Rawe Rawe Rantas Malang Malang Putung, bertempur habis-habisan melawan penjajah.Peribahasa Jawa itu artinya “kabeh sing ngalang-ngalangi disingkirake”, artinya “setiap penghalang akan disingkirkan”, tidak peduli seberapa berat penghalang tersebut.
Peristiwa itu bermula setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby. Mayor Jenderal Robert Mansergh sebagai penggantinya, mengeluarkan ultimatum bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 Wib tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut dijawab oleh Bung Tomo dan kawan-kawan seperti dalam petikan pidatonya di link ini.
Sebelumnya, Arek Arek Suroboyo terlibat dalam insiden penurunan bendera Merah Putih Biru yang dikibarkan oleh sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman. Peristiwa itu terjadi pada malam hari tanggal 18 September1945 di tiang paling tas Yamato Hoteru (Hotel Yamato) bernama Oranje Hotel.
Keesokan harinya, Arek Arek Suroboyo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih. Hotel itu sekarang bernama Hotel Majapahit, berada di Jl. Tunjungan No. 65 Surabaya. Serangkaian konflik terus berlanjut pasca insiden yang memakan korban dari ekdua belah pihak, hingga memuncak pada 10 November 1945.
Peristiwa 10 November 1945 melibatkan Rakyat Indonesia, terutama masyarakat sekitar Surabaya yang dikenal dengan julukan Arek Arek Suroboyo.Tak terkecuali, masyarakat dari kalangan pesantren dengan fatwa Resolusi Jihadnya.
Sayang, dalam pelajaran sejarah perjuangan Indonesia di sekolah-sekolah, tidak muncul sejarah Resolusi Jihad,seolah peristiwa itu dinafikan. Mungkin pemerintah Orde Baru pada masa itu khawatir akan dampaknya. Padahal, jika ditelusuri, pelaku-pelaku sejarahnya masih ada.
Resolusi Jihad Bagian Penting dari Peristiwa 10 Nopember
Secara historis, pasti ada peristiwa besar yang mendorong lahirnya peristiwa 10 Nopember 1945 atau the Beatle of Surabaya. Menurut sumber ini, fatwa Resolusi Jihad digulirkan oleh KH Hasyim Asy'ari, pada tanggal 22 Oktober 1945. Isinya antara lain seruan untuk mengangkat senjata melawan penjajahan Belanda dan sekutunya yang ingin berkuasa kembali di Indonesia. Kewajiban itu berlaku bagi setiap muslim yang tinggal di radius 94 kilometer, sementara di luar radius itu harus membantu mereka yang berjuang dalam betuk materi.
Sebagai bangsa yang besar, tentu tak boleh melupakan sejarah. Jasmerah, jangan lupakan sejarah, demikian seperti kata Ir. Soekarno. Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, bukan mencari-cari kesalahannya. Sebab kalau dicari, tak ada manusia yang sempurna, pasti akan ditemui kekurangannya.
Teiring harap, semoga semakin banyak lahir para pemimpin dan para pahlawan sejati yang mampu menyuarakan semangat positip bagi terwujudnya Indonesia yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945 menuju negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur, yakni negeri yang makmur, aman dan sentosa di bawah ampunan Tuhan. Amin.
Selamat Hari Pahlawan Nasional 2016. Merdeka!
-------------------
Sumber Bacaan/link:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H