Salah satu obyek dialog adalah dialog yang menekankan akibat konflik, yakni membicarakan nasib para korban yang melibatkan banyak pihak. Dialog demikian adalah dialog dari sisi kemanusiaan, bukan menekankan sisi kebenaran teologi semata (truth claim). Hal ini berguna untuk menghindari efek spiral saling balas komentar yang tak perlu di dunia maya. Bahkan untuk menghindari spiral aksi kekeraan di dunia nyata.
Dialog untuk kerukunan agama juga dipandang perlu mengaitkannya dengan tujuan agama itu dihadirkan ke muka bumi. Islam misalnya, melalui utusanNya, menghadirkan ajaran ke muka bumi untuk memberi rahmat bagi semua (wa ma arsalnaaka, illa rahmatan lil ‘alamin). Nah, bagaimana solusi untuk mencapai tujuan bersama itu yang layak mendapatkan penekanan untuk didialogkan. Misalnya, bagaimana mengatasi konflik sosial yang dipicu akibat rendahnya literasi umat, kemiskinan, keterbelakangan, dan lain sebagainya.
Suasana dialog atau komentar yang disampaikan adalah dialog atau komentar yang memunculkan sikap pengakuan dan apresiasi. Bahwa di samping keyakinannya sendiri, ada pemeluk lain yang berkeyakinan berbeda. Bahwa di samping ada tradisi atau pengalamannya sendiri, ada tradisi atau pengalaman pihak lain yang berbeda. Perbedaan ini adalah sunnatullah (hukum alam). Bukankah siapa saja yang melawan sunnatullah, niscaya dirinya akan hancur?
Bahwa setiap pemeluk agama yang berbeda merasakan beragam kekecewaan, adalah sangat mungkin terjadi. Pada titik inilah, masalah itu perlu dipecahkan, bukan fokus mencari kambing hitamnya. Untuk masalah pelanggaran hukum, sudah ada pihak yang berwenang. Kata kuncinya adalah mengakui. Dengan mengakui, maka akan muncul sikap terbuka dan apresiasi. Sebaliknya, tanpa ada pengakuan (alias menegasikan keberadaan pihak lain), maka yang muncul adalah sikap tertutup dan intoleran. Suasana ini berpotensi menjadi sumber ketegangan. Kerukunan antar umat beragama, menjadi penting karena sasaran yang dibicarakan adalah “kita”, bukan “aku”. Kita sangat membutuhkan sikap toleransi semacam ini.
Bahwa di antara kita berbeda dalam hal beragama adalah hal yang wajar. Agama itu sendiri memiliki komponen-komponen penting, seperti aspek keimanan, tata cara beribadah, tempat ibadah, tradisi beragama, simbol-simbol agama, latar belakang pemeluk agama, kitab suci, dan lain-lain.
Hemat penulis, sebagai seorang muslim, sikap toleran dalam aspek keimanan, adalah bersandar pada ajaran “lakum diinukum wa liyaddin” (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Hal ini mengisyaratkan bahwa seorang Muslim harus setia pada keyakinannya sendiri, dan menghormati keyakinan pemeluk agama lain tanpa harus menegasikannya. Sementara toleransi dalam aspek kemanusiaan bersandar pada ajaran “sebaik-baik manusia adalah manusia yang mampu memberikan manfaat kepada sesamanya” (khairun naas, anfa’uhum lin naas).
Walhasil, kesediaan sikap “mengakui” dan “mengapresiasi” di antara “kita”, bukan “aku”, adalah pintu awal terbukanya toleransi yang produktif. Nilai-nilai itu, kiranya relevan dengan spirit Bhinneka Tunggal Ika. Melalui cara pandang demikian, diharapkan tumbuh toleransi di media sosial maupun dunia nyata. Mari kita bergandengan tangan untuk merawat kerukunan agama di tengah masyarakat kita yang berbhinneka tunggal ika.
Malang, 5 September 2016
Penulis:
- twitter.com/yun_2015
- facebook.com/Yunus Muhammad Nasuha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H