Setiap hari, kita dibanjir informasi positip. Sayangnya, pewarta terkadang terjebak pada adagium di dunia jurnalistik tentang apa yang disebut berita (news). Menurut Wikipedia, berita adalah informasi baru atau informasi mengenai sesuatu yang sedang terjadi, disajikan lewat bentuk cetak, siaran, internet, atau dari mulut ke mulut kepada orang ketiga atau orang banyak.
Pengertian itu menjadi tereduksi, manakala berita hanya menonjolkan sisi peristiwa yang hangat, informatif, unik dan sebanyak-banyaknya menarik pembaca untuk tujuan tertentu. “Anjing menggigit orang” adalah bukan berita, tetapi ketika ada “orang mengigit anjing” baru dianggap berita. Sangat disayangkan, manakala sejumlah pemberitaan di media sosial dan media non mainstream yang muncul didominasi oleh berita tentang kasus-kasus negatif atau black campaign; sementara berita tentang peristiwa-peristiwa positip tak menarik minat pewarta dan pembaca. Berbeda halnya, saat media memang memerankan fungsi kontrolnya secara bijaksana.
Dewasa ini, pertumbuhan pengguna internet semakin cepat. Menurut hasil riset e-Marketer sebagaimana diliris Tekno.Kompas.com (24/11/2014), populasi netter Indonesia mencapai 83,7 juta pada tahun 2014. Diprediksi, mencapai 112 juta orang pada tahun 2017. Data tersebut berlaku untuk setiap orang yang mengakses internet setidaknya sekali dalam satu bulan, sehingga menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke-6 terbesar di dunia dalam hal pengguna internet seperti tergambar pada peraga di bawah ini.
Masalahnya akan menjadi lain, jika individu/kelompok mudah terpancing untuk menyebarkan isu-isu negatif yang memicu konflik, seperti kasus penistaan agama melalui facebook. Sebanyak 25 kasus status media sosial yang berujung ke ranah hukum, dapat dilihat pada sumber ini.
Untuk merawat kerukunan agama lewat medsos, ada beberapa sikap yang dapat dilakukan ketika mengkomunikasikan pengalaman, keyakinan, opini, atau berita baik lewat tulisan, percakapan atau ketika berkomentar di medsos, yaitu:
1. Menahan Diri dari Isu Spekulatif
Adalah manusiawi, jika seseorang terdorong untuk bereaksi ketika ada berita yang mengecewakan dirinya. Salah satu cara bijak untuk menghindari potensi konflik, adalah dengan sikap saling menahan diri. Hemat penulis, kita perlu mencari tahu terlebih dahulu tentang apa yang sedang terjadi, sebelum terlanjur berkomentar, atau sekedar meneruskan berita sensitif ke pengguna media sosial. Apalagi berita itu ternyata berita hoax dan bernada provokatif. Kiranya dipandang perlu untuk melakukan check dan recheck terhadap fakta-fakta yang terjadi untuk menghindari isu-isu spekulatif.
Jika memang harus berkomentar terhadap sebuah kasus, maka sasaran komentar layak kita arahkan pada pelakunya, bukan pada lembaga atau komunitasnya. Hal ini untuk menghindari efek spiral negatif yang tak perlu. Pasalnya, karena pengaruh hello effect, seseorang terkadang tanpa disadarinya dengan mudah melakukan generalisasi.
2. Mengedepankan Dialog pada Aspek Kemanusiaan
Salah satu solusi penting lainnya adalah mengedepankan dialog. Meski harus diakui, bahwa dialog bukanlah satu-satunya jaminan untuk menyelesaikan masalah. Namun hingga kini, dialog masih dipercaya sebagai salah satu bentuk peredam konflik yang terbaik.