Untuk meyakinkannya, guru dapat menunjukkan peristiwa sosial yang mendidik dan bermakna, seperti si tukang ojek yang rela membantu korban aksi terorisme di Jl. MH. Thamrin, Jakarta. Guru bukan justeru menampilkan gambar-gambar mayat korban yang mengerikan dan berpotensi melukai keluarga korban atau membuat anak-anak menjadi takut atau trauma.
Untuk menumbuhkan sikap percaya diri, guru juga dapat menujukkan contoh-contoh ucapan atau tulisan yang memotivasi di media sosial, seperti tagar #PrayforJakarta, #KitaTenang, dan tagar yang populer di media sosial, yaitu #KamiTidakTakut.
Tagar #KamiTidakTakut, bukan berarti menunjukkan sikap sombong. Sungguh pun keyakinan muslim bersandar pada Tauhid, namun bahwa ada manusia takut pada objek, peristiwa, atau hal-hal tertentu yang dianggap mengerikan adalah manusiawi. Tagar #KamiTidakTakut, menunjukkan bahwa takut itu manusiawi, sementara berani itu pilihan.
Nah sikap pilihan berani inilah yang perlu disuarakan, agar muncul sikap percaya diri di tengah masyarakat yang bisa diikuti oleh orang banyak. Sikap ini sejalan dengan Panduan Bagi Orang Tua Nomor 6 di atas, yaitu kita didorong untuk lebih banyak membicarakan dan mengapresiasi kerja para petugas yang melindungi, melayani, dan membantu kita di masa tragedi, bukan lebih banyak membicarakan sisi kesigapan dan keberanian para pelaku kejahatan teror.
Dengan cara demikian, diharapkan tumbuh sikap percaya diri dan sikap sosial lain seperti peduli dan tanggung jawab. Nilai-nilai itu tidak hanya diceramahkan, tetapi ditunjukkan melaui contoh-contoh dalam kehidupan, disertai penghayatan yang mendalam.
Itulah pentingnya mengapresiasi KI-1 dan KI-2 pada peserta didik dalam setiap pembelajaran, agar nilai-nilai spiritual dan sosial itu dapat membekas dalam hati sanubari mereka. Karena itu, pesan-pesan KI-1 dan KI-2 tidak saja dibebankan kepada Guru Agama atau Guru PPKn semata, melainkan dibebankan kepada seluruh guru tanpa kecuali, tentu cara menyampaikannya disesuaikan dengan bidang studi dan gaya masing-masing pendidik.
Satu hal yang penting, adalah bagaimana sikap guru ketika menghadapi emosi atau kemarahan terhadap aksi-aksi kekerasan? Mengacu pada kedua panduan di atas, setiap orang tua dan guru diminta mengarahkan emosi dan kemarahan pada sasaran yang tepat, yaitu pada pelaku kejahatan, bukan pada identitas agama atau golongan tertentu yang didasarkan pada prasangka.
Walhasil, para orang tua dan guru diharapkan dapat memerankan diri secara aktif dalam mengkondisikan lingkungan sekitar terkait kejahatan terorisme dengan mengacu pada panduan di atas. Surat Edaran dari Dirjen Penddikan Madrasah dapat diunduh di sini atau ini. Sementara Panduan Singkat Bagi Orang Tua, Guru dan Kepala Sekolah dalam format grafis dapat diunduh di sumber ini. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H