Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bermigrasi dari Madura, Geluti Barang Bekas

15 Januari 2016   10:13 Diperbarui: 15 Januari 2016   11:02 1300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang terjadi? H. Syukri malah bilang, sudahlah Anda saya beri ganti rugi Rp 10 juta, cash. Anda tak perlu repot-repot membayar sewa itu. Namun hak sewa tanah kosong itu ada pada saya, demikian tawaran H, Syukri. Ternyata, Halim menolaknya, padahal untung Rp 10 juta sudah ada di tangan.

Halim mengatakan: “Saya lebih baik punya lahan sewa itu, dari pada punya uang Rp 10 juta, tapi tak punya pekerjaan”. Ia menjelaskan, “jika saya untung Rp 10 juta, tapi setelah itu tak punya pekerjaan, maka uang itu akan cepat habis”. Setidakya, lanjut Halim, ia bisa memanfaatkan lahan itu untuk usaha selama 5 tahun, meskipun hasilnya belum dapat dipastikan. Mendengar jawaban Halim seperti itu, H. Syukri akhirnya malah bersimpati, dan rela meminjamkan uangnya kepada Halim sebesar Rp 10 juta untuk membayar sewa lahan kosong.

Beaya sewa terbayar lunas. Namun Halim masih bingung, dari mana lagi uang ia peroleh untuk membangun lapaknya. Halim lalu datang lagi ke H. Syukri, pinjam uang Rp 5 juta untuk membuat lapak, sementara modal awal Rp 3 juta bisa digunakan untuk modal awal, demikian pikirnya.

Namun kenyataannya, untuk membeli atap seng saja tak cukup. Ia tak tahu, ternyata harga satu seng sekitar Rp 30.00-an, padahal setelah dihitung Halim membutuhkan puluhan seng, belum bambu untuk tiangnya dan timbangan. Walhasil, Halim pinjam lagi ke H. Syukri untuk ketiga kalinya, dan beruntung dia mempercayai Halim. Total beaya untuk membangun gudang sederhana, dan perlengkapan ala kadarnya itu menghabiskan dana sekitar Rp 31,5 juta.

Hari demi hari Halim jalani sebagai pelaku jual beli barang-barang bekas. Misalnya, Halim membeli bekas botol plastik air minum dari para pemulung seharga Rp 1.500/kg. Setelah terkumpul beberapa kuintal, ia jual seharga Rp 2.300/kg. Kamis itu (14/01/2016), Halim membeli besi bekas seharga 2.000/kg, Halim akan menjualnya seharga sekitar Rp 2.200/kg. Anda bisa membayangkan, semakin banyak timbunan barang-barang rongsokan di gudang Halim, maka semakin banyak peluang ia mendapatkan rejeki.

Sebagai gambaran, kurang dari tiga tahun, Halim sudah bisa melunasi seluruh modal awalnya yang ia peroleh dari pinjam secara personal itu. Halim juga mampu membeli tanah berukuran sekitar 6 x 8 meter persegi untuk tempat tinggalnya. Sebuah mobil pickup untuk mendukung usahanya pun berhasil ia miliki, yang ia beli dari sebagain keuntungan yang diperoleh dari jual beli sampah barang-barang bekas. Sampah dan barang-barang bekas, di tangan Halim berubah jadi uang.

[caption caption="Mobil Pickup milk Abdul Halim diparkir di depan Lapaknya/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Beberapa minggu terakhir ini, harga-harga-harga plastik dan besi bekas menurun. Menurut Halim, karena orang-orang sedang liburan Tahun Baru lalu, sehingga banyak pabrik tak beroperasi. Halim tetap saja membuka lapaknya, dan ia menumpuk barang dagangannya.

Ketika saya tanya apakah Mas Halim tak pernah ditipu? Halim menjawab, “pernah” Mas. Ternyata para pemulung itu juga ada yang licik, kata Mas Halim. Suatu ketika, PemuIung itu mengatakan dia punya pelanggan yang akan menjual besi bekas dalam jumlah banyak. Si pemulung itu minta diberi modal Rp 2 juta. Seminggu berikutnya, ia datang lagi ke lapaknya. Kata si Pemulung, sebentar lagi barangnya akan dikeluarkan oleh pelanggannya. Si pemulung itu khawatir, uangnya tak cukup untuk membeli barang-barang bekas itu. Lalu ia minta tambahan modal sebesar Rp 2 juta, jadi totalnya sebesar Rp 4 juta. Apa yang terjadi?

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, ternyata si pemulung itu tak menampakkan batang hidungnya. Uang sebesar Rp 4 juta hilang. Menurut Halim, kalau saya hitung, ada sekitar Rp 19,3 juta uangnya yang “nyanthol” di orang lain, dan tak kembali hingga saat ini.  Banyak cara yang mereka gunakan untuk mengelabuhi. Belajar dari kasus-kasus semacam itu, Halim semakin peka terhadap perilaku “licik” yang tanda-tandanya akan menipunya. Kata Halim, sekarang saya lebih berhati-hati dan waspada.

Namun alhamdulillah, usaha Halim cukup lancar. Entah berapa rata-rata pendapatannya per bulannya, namun setidaknya kini Halim bisa membeli tempat tinggal sederhana di kota Malang. Halim juga sudah mampu menyisihkan tabungan untuk menyewa selama 5 tahun lagi ke depan. Ia juga bisa membeli mobil pickup untuk menunjang usahanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun