Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bermigrasi dari Madura, Geluti Barang Bekas

15 Januari 2016   10:13 Diperbarui: 15 Januari 2016   11:02 1300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gudang Barang Bekas milik Abdul Halim, Beralamatkan di Jl. Raya Candi No. 6 Malang/Dok. Pribadi"][/caption]

Faktor Pendorong Urbanisasi

Pulau Madura dikenal sebagai penghasil garam terbesar di Indonesia, karena itu pulau ini sering dijuluki sebagai “Pulau Garam”. Pulau ini dikenal pula sebagai “Pulau Bukit Kapur”, karena terdapat jenis bebatuan kapur hampir di semua bukit yang ada di Kabupaten Madura. Bekas galian batu kapur di desa Jaddih Kecamatan Socah, Bangkalan, misalnya, menghasilkan pemandangan yang eksotik dan berpotensi menjadi salah satu destinasi wisata di Jawa Timur.

Namun sebagian besar mata pencaharian masyarakat Madura adalah bertani. Salah satunya adalah bertani jagung. Ketika musim kemarau tiba, para petani menanam “si daun emas”, sebutan lain untuk tanaman tembakau. Uniknya, banyak di antara mereka bermigrasi ke daerah lain, seperti ke kota Surabaya, Malang, Jember, dan sekitarnya, tak terkecuali ke ibukota Jakarta. Banyak orang asal Madura yang sukses dengan menjadi akademisi, pengasuh pondok pesantren, entrepreneur, juragan besi tua, bahkan menjadi pejabat teras setelah berhijrah. Konon, di Arab Saudi pun ada penjual pecel atau makanan khas Indonesia.

[caption caption="Sosok Abdul Halim, di depan lapaknya pada Kamis (14/01/2016)/Dok. Pribadi"]

[/caption]Ada banyak faktor pendorong maupun faktor penarik, mengapa orang-orang Madura bermigrasi ke daerah lain. Salah satu faktor pendorongnya adalah karena kesulitan mencari pekerjaan yang layak di daerah asalnya.

Hal itu seperti dialami seorang pria asal Madura, bernama lengkap Abdul Halim. Sejak tahun 2012 lalu, ia bertekad pergi ke kota untuk mengubah nasib. Halim memutuskan untuk bermigrasi (urbanisasi) dari tanah kelahirannya menuju kota Malang, Jawa Timur. Dunia pertanian di desanya dia anggap tidak banyak memberi harapan. Pria berusia 29 tahun itu mengaku, di daerah asalnya sulit mencari pekerjaan yang menjanjikan.

Halim pun tak tertarik bertani garam, meski Pulau Madura dikenal sebagi daerah penghasil garam terbaik. Bagi Halim, usaha ini dianggapnya tak banyak memberi harapan. Ia justru berusaha mencari kehidupan di perkotaan yang dianggap lebih menjanjikan.

Banyak orang-orang seperti Halim, yang bepergian ke kota mencari peruntungan. Di sekitar Kota Malang misalnya, mudah ditemui pedagang asal Madura membuka restoran, membuka toko buah, membuka lahar parkir, menjadi pedagang kaki lima, tukang cukur, dan masih banyak lagi. Misalnya, di tepi jalan Gajayana depan Swalayan Sardo, terdapat tukang cukur rambut “Putra Buana”. Hanya beberapa meter di sebelah selatannya, berdiri jasa cukur rambut yang sama dengan merk “Rapi”. Kedua penjual jasa itu sama-sama berasal dari Madura, dan mampu bertahan hidup hingga kini. Padahal, di kota ini banyak terdapat jasa salon atau barber shop yang lebih modern.

Kais Rejeki, Dirikan Lapak Barang Bekas

Menyadari beratnya persaingan di kota, Halim memilih pekerjaan yang jarang diperhatikan orang, yaitu “mengumpulkan sampah” atau “barang-barang bekas”. Dari kegiatan ini, Halim berusaha mengubah nasib dirinya, dan seorang adik lelaki sepupunya yang diajak serta membantunya.

Sedari pagi hingga sore hari, Halim membuka lapaknya, bergantian dengan adik sepupunya. Ketika dia pergi mengambil sampah atau barang bekas yang dikumpulkan oleh para pemulung, adik sepupunya itu yang menunggui lapaknya. Kegiatan itu ia jalani sekitar pukul 07.00 – 17.00 Wib, setiap hari, termasuk hari Minggu.

Lapaknya, mungkin lebih tepat disebut sebagai “gudang sampah”. Gudang sampah itu berbentuk persegi empat. Luasnya sekitar 200 meter persegi, dengan lebar 10 m dan panjang 20 m. Atapnya terbuat dari seng, yang disangga dengan tiang-tiang bambu dan kayu-kayu bekas. Tak ada kamar kecil, dapur atau kamar tidur. Hanya ada penyekat, itu pun semuanya dipergunakan untuk tempat menyimpan sampah yang telah dipilah-pilih.

Ada sampah organik maupun non organik seperti kertas, kardus, plastik, besi tua, dan semacamnya. Setelah dipilah-pilah, sampah-sampah itu dimasukkan ke dalam karung “sak”, kemudian ditumpuk di gudang itu. Tampak mesin cuci bekas, sampah plastik, aneka kertas, dan potongan-potongan besi tergeletak di dalam gudang, dikumpulkan dengan barang sejenis. Bila sudah terkumpul, ia setorkan lagi kepada para “juragan” yang lebih besar di tempat lain.

Tepat di depan gudangnya, ia memasang papan publikasi sederhana. Ukurannya sekitar 80 m persegi itu. Papan itu bertuliskan “Jual Beli Barang Bekas”. Halim menerima barang-barang bekas seperti seperti besi tua, tembaga, accu, kuningan, kardus, koran, kertas HVS, bak plastik, rongsokan botol air kemasan, dan lain-lain. Gudang ini dilengkapi dengan alat timbangan dan sepasang meja-kursi untuk melayani pelanggan.

[caption caption="Papan promosi bertuliskan: "Jual & Beli Barang Bekas" milik Abdul Halim/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Halim sedang menimbang besi tua di lapaknya/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Halim menerima barang-barang bekas dari rumah tangga terdekat yang dikirim sendiri oleh mereka, atau barang-barang bekas yang berasal dari para pemulung. Setiap hari ia berharap ada pemulung sampah plastik seperti bekas botol-botol air kemasan, kertas, kardus, besi tua, dan semacamnya datang ke tempatnya.

Cerita tentang aktivitas Halim ini merupakan kisah nyata, hasil perbincangan saya dengan pria asal Madura itu pada Kamis (14/01/2016) lalu di lapaknya. Tepatnya, di gudang sampah miliknya yang beralamatkan di Jl. Raya Candi No. 06 Malang.  

Nekad & Ubah Mindset: Sampah Jadi Uang

Di mata Halim, “sampah” dianggap bukanlah sampah. Halim memandang sampah sebagai uang. Entah Halim menyadari atau tidak, saya membacanya demikian, ini soal cara berfikir (mind set).  Jika orang membuang barang-barang bekas begitu saja, maka barang-barang itu identik sebagai sampah yang tak bernilai. Lain halnya dengan Halim, sampah dipandang sebagai barang berharga. Halim begitu telaten mengumpulkan, menerima, mensortir, dan mendistribusikan sampah hingga memiliki nilai guna ekonomis yang lebih tinggi.

[caption caption="Aneka sampah ketas, plastik dan besi tua di Gudang milik Abdul Halim/Dok. Pribadi"]

[/caption]

[caption caption="Barang-barang tergeletak di Gudang Barang Bekas/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Menurut pengakuan Halim, hasil jual beli barang-barang bekas itu dapat digunakan untuk mengembalikan modal awal, membeli rumah kecil, dan bahkan mampu membeli mobil pickup untuk menunjang kelancaran distribusi barang. Dengan kendaraan tersebut, mobilitas Halim lebih tinggi, sehingga ia bisa menjangkau ke tempat yang lebih jauh dari lapaknya, seperti dari daerah Bumiayu Kedungkandang Kota Malang.

Saat pertama kali membuka usahanya, Halim hanya bermodalkan semangat untuk bisa mandiri. Bayangkan, Halim hanya punya uang Rp 3 juta. Padahal saat pertama kali menyewa tanah kosong yang sekarang ditempati sebagai gudang sampah itu, Halim harus menyewa tanah itu perbulan seharga Rp 2 juta, dan harus lunas di muka selama lima tahun berturut-turut. Jadi, totalnya Halim harus membayar sewa sebesar Rp 10 juta. Dari mana modalnya itu diperoleh?

Halim tak pergi ke lembaga perbankan, karena tak ada asset yang dapat digunakan sebagai jaminan (agunan). Halim tak kenal lelah mencari sumber dana pinjaman perseorangan, tapi siapa yang bersedia meminjamkannya? Untung tak bisa ditolak. Ia bertemu seseorang, sebut saja Haji Syukri. Halim mengutarakan maksudnya untuk pinjam uang, sebagai modal sewa tanah kosong itu.

Apa yang terjadi? H. Syukri malah bilang, sudahlah Anda saya beri ganti rugi Rp 10 juta, cash. Anda tak perlu repot-repot membayar sewa itu. Namun hak sewa tanah kosong itu ada pada saya, demikian tawaran H, Syukri. Ternyata, Halim menolaknya, padahal untung Rp 10 juta sudah ada di tangan.

Halim mengatakan: “Saya lebih baik punya lahan sewa itu, dari pada punya uang Rp 10 juta, tapi tak punya pekerjaan”. Ia menjelaskan, “jika saya untung Rp 10 juta, tapi setelah itu tak punya pekerjaan, maka uang itu akan cepat habis”. Setidakya, lanjut Halim, ia bisa memanfaatkan lahan itu untuk usaha selama 5 tahun, meskipun hasilnya belum dapat dipastikan. Mendengar jawaban Halim seperti itu, H. Syukri akhirnya malah bersimpati, dan rela meminjamkan uangnya kepada Halim sebesar Rp 10 juta untuk membayar sewa lahan kosong.

Beaya sewa terbayar lunas. Namun Halim masih bingung, dari mana lagi uang ia peroleh untuk membangun lapaknya. Halim lalu datang lagi ke H. Syukri, pinjam uang Rp 5 juta untuk membuat lapak, sementara modal awal Rp 3 juta bisa digunakan untuk modal awal, demikian pikirnya.

Namun kenyataannya, untuk membeli atap seng saja tak cukup. Ia tak tahu, ternyata harga satu seng sekitar Rp 30.00-an, padahal setelah dihitung Halim membutuhkan puluhan seng, belum bambu untuk tiangnya dan timbangan. Walhasil, Halim pinjam lagi ke H. Syukri untuk ketiga kalinya, dan beruntung dia mempercayai Halim. Total beaya untuk membangun gudang sederhana, dan perlengkapan ala kadarnya itu menghabiskan dana sekitar Rp 31,5 juta.

Hari demi hari Halim jalani sebagai pelaku jual beli barang-barang bekas. Misalnya, Halim membeli bekas botol plastik air minum dari para pemulung seharga Rp 1.500/kg. Setelah terkumpul beberapa kuintal, ia jual seharga Rp 2.300/kg. Kamis itu (14/01/2016), Halim membeli besi bekas seharga 2.000/kg, Halim akan menjualnya seharga sekitar Rp 2.200/kg. Anda bisa membayangkan, semakin banyak timbunan barang-barang rongsokan di gudang Halim, maka semakin banyak peluang ia mendapatkan rejeki.

Sebagai gambaran, kurang dari tiga tahun, Halim sudah bisa melunasi seluruh modal awalnya yang ia peroleh dari pinjam secara personal itu. Halim juga mampu membeli tanah berukuran sekitar 6 x 8 meter persegi untuk tempat tinggalnya. Sebuah mobil pickup untuk mendukung usahanya pun berhasil ia miliki, yang ia beli dari sebagain keuntungan yang diperoleh dari jual beli sampah barang-barang bekas. Sampah dan barang-barang bekas, di tangan Halim berubah jadi uang.

[caption caption="Mobil Pickup milk Abdul Halim diparkir di depan Lapaknya/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Beberapa minggu terakhir ini, harga-harga-harga plastik dan besi bekas menurun. Menurut Halim, karena orang-orang sedang liburan Tahun Baru lalu, sehingga banyak pabrik tak beroperasi. Halim tetap saja membuka lapaknya, dan ia menumpuk barang dagangannya.

Ketika saya tanya apakah Mas Halim tak pernah ditipu? Halim menjawab, “pernah” Mas. Ternyata para pemulung itu juga ada yang licik, kata Mas Halim. Suatu ketika, PemuIung itu mengatakan dia punya pelanggan yang akan menjual besi bekas dalam jumlah banyak. Si pemulung itu minta diberi modal Rp 2 juta. Seminggu berikutnya, ia datang lagi ke lapaknya. Kata si Pemulung, sebentar lagi barangnya akan dikeluarkan oleh pelanggannya. Si pemulung itu khawatir, uangnya tak cukup untuk membeli barang-barang bekas itu. Lalu ia minta tambahan modal sebesar Rp 2 juta, jadi totalnya sebesar Rp 4 juta. Apa yang terjadi?

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, ternyata si pemulung itu tak menampakkan batang hidungnya. Uang sebesar Rp 4 juta hilang. Menurut Halim, kalau saya hitung, ada sekitar Rp 19,3 juta uangnya yang “nyanthol” di orang lain, dan tak kembali hingga saat ini.  Banyak cara yang mereka gunakan untuk mengelabuhi. Belajar dari kasus-kasus semacam itu, Halim semakin peka terhadap perilaku “licik” yang tanda-tandanya akan menipunya. Kata Halim, sekarang saya lebih berhati-hati dan waspada.

Namun alhamdulillah, usaha Halim cukup lancar. Entah berapa rata-rata pendapatannya per bulannya, namun setidaknya kini Halim bisa membeli tempat tinggal sederhana di kota Malang. Halim juga sudah mampu menyisihkan tabungan untuk menyewa selama 5 tahun lagi ke depan. Ia juga bisa membeli mobil pickup untuk menunjang usahanya.

Bahkan sesekali, menurut penuturan Halim, ia pulang ke daerah asal kelahirannya di Madura untuk membantu meringankan beban orang tuanya. Apalagi setelah ada jembatan Surabaya Madura (Suramadu), dengan berkendara pickup miliknya, sewaktu-waktu ia bebas pergi menemui orang tuanya, sambil sesekali membawa barang dagangan.

Dengan segala potensi yang melekat pada Pulau Madura beserta Masyarakatnya yang dikenal bermental wirausaha, semoga para pejabat pemerintahnya terdorong untuk membangun Madura agar lebih cepat berkembang di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun