Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosok Tjiptadinata Effendi di Mata 86 Kompasianer

22 Desember 2015   12:18 Diperbarui: 22 Desember 2015   12:50 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sosok peraih Kompasianer of the Year 2014 kiranya itu sudah tak asing lagi di mata para Kompasianer. Pak Tjip, Pak Tjipta, Opa Tjiptadinata demikian para sahabat Kompasianer menyapanya, atau saya seringkali menyebut Beliau dengan sapaan Pak Effendi. Bagi Pak Effendi, One Day, One Article (ODOA), sudah bukan sekedar motto lagi. ODOA baginya sudah menjadi budaya, tiada hari tanpa tulisan Pak Effendi di “Telaga Ide” Kompasiana.

Tulisan-tulisan Master Reiki itu sarat dengan pesan-pesan kehidupan. Artikel-artikelnya mengalir alami di tempat apa yang saya sebut “Telaga Ide” atau “Pasar Gagasan”, yaitu Kompasiana; sementara Bang Thamrin mengistilahkannya sebagai "Kolam Kompasiana" atau "Bejana Indonesia". Alasan saya menyebutnya sebagai “Telaga Ide”, karena siapa saja yang membutuhkan boleh meneguknya, dan siapa saja boleh mengalirkan ide manfaatnya. Sebagai pasar gagasan, siapa saja boleh saling mempertukarkan gagasannya. Inilah perwujudan dari sharing and connecting yang diusung Kompasiana. Kopi darat (kopdar) di Kompasianival yang diselengarakan setiap akhir tahun, adalah salah satu perwujudan riilnya di dunia off line. Pak Effendi, telah meneguk dan terus mengalirkan gagasan manfaatnya di telaga itu, setiap hari.

[caption caption="Bedah buku oleh Komunitas Peniti Media di Kompasianival 2015. Tampak Pak Tjiptadinata Effendi (paling kanan) beserta para presenter lainnya di Panggung Komunitas/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Pesan-pesannya yang dialirkan oleh Pak Effendi di Kompasiana, sebatas yang saya rasakan, bukanlah seperti dogma, petuah agama dari langit, pun jauh dari kesan menggurui atau sedang berkhutbah. Bukan pula berkesan seperti buku motivator semisal “The 7 Habits of Highly Effective People” karya Stephen R. Covey yang popular sejak pertama kali terbit pada tahun 1989. Tulisan Pak Effendi cukup sederhana. Sekilas terkesan biasa saja, lagi pula isi pesannya sudah banyak diketahui publik, seperti pentingnya nilai-nilai kejujuran, ketulusan, kesabaran, kerja keras, pantang menyerah, menghargai perbedaan, cinta tanah air, dan lain sebagainya.

Namun di situlah letak keunikan dan sebagian kekuatannya. Di tangan Pak Effendi, pengalaman hidup yang ia rasakan dituangkan apa adanya, mengalir bak telaga gagasan yang menghidupkan dan mengurai masalah. Kehidupan kelam masa lalunya saat menjadi penjaga gudang atau penjual kelapa di Pasar Tanah Kongsi pun tak luput ia tuliskan apa adanya. Di sela-sela kisahnya, ia sisipkan nilai-nilai hidup itu. Itulah sebagian yang dapat saya tangkap dari beberapa artikelnya di Kompasiana.

Di sisi lainnya, Beliau gemar melalukan travelling dan suka berwisata kuliner, berdua bersama isteri tercintanya, Bu Lina Effendi. Ketika keliling Eropa beberapa bulan lalu misalnya, hampir saya selalu mengikuti perkembangannya, terutama saat berada di Italia lewat artikelnya yang dipublish di Kompasiana hingga kembali ke Australia. Kisah-kisah unik yang ia alami selama travelling itu, ia ekspresikan di Kompasiana. Bu Lina pun tak ketinggalan, Beliau pernah menuliskan bahwa ice cream terenak di dunia, ada di Italia. Bagaimana proses pembuatannya pun, Bu Lina sharing di Kompasiana. Sejauh yang saya ketahui lewat artikelnya, mereka berdua tidak menuliskannya di media lain, kecuali di Kompasiana. Loyalitasnya teruji. Beruntung, Kompasiana memiliki mereka.

Namun bisa jadi, sebagian pembaca di kompasiana ada yang menganggapnya “sombong” (dengan tanda petik), karena Pak Effendi menojolkan wisata ke luar negeri, atau terkesan bermewah-mewah. Padahal travelling dan wisata kuliner adalah aktivitas yang mereka sukai. Bahkan isterinya, Bu Rose, berani mengambil keputusan untuk resign dari perusahaan tempat bekerjanya pada waktu itu, dua tahun sebelum waktu pensiun tiba. Alasannya, hanya demi menemani sang suami tercinta, untuk keliling dunia. Bocoran rahasia ini saya ketahui dari sejumlah artikel Pak Effendi di Kompasiana, persisnya di mana saya lupa. Tapi saya yakin, karena Pak Effendi tidak pernah berbohong, saya percaya terhadap apa yang ia pernah tuliskan. Kiranya, para pembaca perlu memklumi hobbinya itu.

Padahal kalau sang isteri mau, pada waktu itu Bu Rose hanya menunggu waktu sekitar dua tahun lagi. Bu Rose kemudian boleh mengajukan pensiun, dan berhak mendapatkan tunjangan serta aneka fasilitas dari perusahaan financial yang menggiurkan di tempat kerjanya. Namun saran untuk menunda resign, tetap ditolaknya. Bu Lina lebih memilih menemani sang suami travelling. Hemm… saya jadi iri nih, membayangkan suatu saat di mana kami berdua dapat travelling dan berada dalam situasi bebas secara finansial. Ngarep.co.id …:) 

Ketika membaca tulisan-tulisan Pak Effendi yang lain, sungguh beruntung beliau berdua, karena anak-anaknya saling berebutan untuk membantu memenuhi kebutuhan kedua orang tuanya ketika hendak pergi keliling dunia. Sudah barang tentu, pasangan itu sudah memiliki tabungan yang cukup untuk pergi ke sana, sudah bebas secara finansial, itu yang saya duga. Karena saya belum pernah tahu, Pak Effendi menggungkapkan mengenai soal nilai tabungannya, dan hemat saya, biarlah hal itu menjadi ranah private baginya.  

Namun sedikit terungkap, ketika Pak Effendi bercerita tentang keluarganya. Seperti tulis Kang Pepih hasil percakapannya dengan Beliau, bahwa Pak Effendi sudah memiliki anak dengan 10 cucu. Pak Effendi menyatakan bersyukur, berkat ketiga anak-anaknya itu dia bisa keliling dunia secara gratis, bahkan mereka saling berebutan membeayai keberangkatannya (hlm. 3).

Nah, kisah-kisah perjalanannya, dan pertemuan dengan orang-orang dari beragam latar belakang itu yang ia tuliskan di Kompasiana. Di sela-sela tulisannya, ia suntikkan nilai-nilai kehidupan tadi, seperti pentingnya bersyukur, saling menghargai, menyayangi, pantang menyerah, dan sebagainya. Pesan-pesannya mengalir tak terasa, terselip dalam kisah-kisahnya. Di sinilah salah satu letak kekuatan atas karya-karyanya. Pak Effendi selalu berusaha menuliskan hal-hal yang bersifat menginspirasi, memotivasi, bermanfaat, aktual, atau setidaknya informatif.  So, apa saja sih isi buku Sehangat Matahari Pagi itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun