Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lomba Panjat Pinang Tidak Mendidik, Apa Efeknya Bagi Pendidikan?

15 Agustus 2015   15:17 Diperbarui: 13 April 2016   16:30 2359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Panjat Pinang/Ilustrasi/BBC Idonesia"][/caption]Setiap tanggal 17 Agustus, masyarakat antusias memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan RI, yang pada tahun ini bertepatan dengan HUT yang ke-70. Uniknya, sampai saat ini masih terdapat kontroversi, apakah lomba panjat pinang dalam rangka memperingati HUT RI itu dipandang mendidik atau sebaliknya? Demikian halnya dengan lomba-lomba sejenis, seperti lomba balap karung dan lomba makan kerupuk yang acapkali menyertai gegap gempita kemeriahan peringatan hari kemerdekaan negeri tercinta, Indonesia. 

Saya tertarik menuliskan artikel ini, saat saya membaca ragam komentar di media sosial. Setidaknya, ada dua kelompok yang berpandangan sangat kontras. Di satu sisi, para sejarawan menganggap budaya panjat pinang disinyalir merupakan warisan Belanda dan tidak dianggap mendidik, sebaiknya kegiatan semacam itu selama peringatan HUT kemerdekaan 17 Agustus dihindari. Sementara netizen menganggapnya itu sekedar hiburan rakyat. Masak Istana Bogor harus dibongkar, gara-gara itu merupakan warisan Belanda? Ada lagi yang berkomentar, lebih baik nonton hiburan panjat pinang semacam itu dari pada nonton sinetron yang (maaf) kurang “bermutu”, begitu kira-kira mereka berdalih.

Sejarawan Asep Kambali dari Komunitas Historia Indonesia misalnya, berpendapat bahwa rangkaian perlombaan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia seperti panjat pinang dan balap karung, tak punya efek positif dalam momen kemerdekaan (www.bbc.com, 11/8/2015). Bagi Asep, hari kemerdekaan itu diperingati sebagai upaya untuk mengenal sejarah dan budaya bangsa dengan mengenali para pejuang karena mereka yang melahirkan bangsa ini, dan memberikan kesempatan untuk menikmati kemerdekaan dengan mengorbankan keringat, darah dan air mata, demikian tegasnya di media yang sama. Mestinya, masih menurut Asep di media itu, banyak hal yang dapat dilakukan untuk memperingati 17 Agustus, seperti napak tilas, lomba pembacaan proklamasi, atau lomba mirip pahlawan.

Dalam paragraf keempat, sebagaimana dimuat di media itu, dikatakan bahwa kegiatan panjat pinang, yang disinyalir diperkenalkan oleh kaum Tionghoa yang sudah ada di Indonesia sejak abad ke-5, adalah "peninggalan kolonial karena memang itu mewabah dan penetrasinya hebat di zaman Belanda", demikian menurut Asep. Hal senada juga diungkapkan oleh Sejarawan lain, Dharma, bahwa "panjat pinang” adalah warisan kolonial yang kurang mendidik. Apa sih bangganya kalau menang panjat pinang misalnya di kelurahan?" (bbc.com, 11/8/2015). Dari perpsektif sejarah, tampaknya mereka memandang kegiatan itu sebagai warisan kolonial yang dipandang tidak mendidik dan tidak relevan untuk perayaan momen peringatan HUT RI.

Mungkin hal itu bisa ditafsirkan untuk kepentingan kolonial dan penetrasi penjajah lewat budaya (baca pembodohan) pada waktu itu. Mereka merasa terhibur saat menyaksikan warga saling menginjakkan kaki ketika memperebutkan “hadiah” yang bergelantungan di atas pucuk pohon pinang. Seolah mengambarkan bagaimana pertarungan kepentingan politik praktis dalam memperebutkan jatah “kursi”. Untuk mendapatkan jatah “kursi” harus ada pihak lain yang diinjak. Semoga tidak demikian yang senyatanya.

Tetapi di sisi lain, hal itu bisa ditafsirkan selain sebagai hiburan rakyat yang murah, kegiatan panjat pinang merupakan simbol bahwa untuk mendapatkan “hadiah” harus saling bekerja sama, harus ada pihak lain yang bersedia diinjak kedua pundaknya secara berantai untuk kepentingan bersama; kalau tidak, mustahil hadiah itu bisa didapatkan. Dibalik keseruan dan kelucuan itu, ada nilai kebersamaan, dan kebersamaan itulah yang lebih penting.

Sementara itu, Twitter Indonesia meluncurkan gerakan Nyalakan Indonesia #RI70, mengajak penggunanya menggunakan tagar #RI70 setiap kali berbagi konten tentang tradisi, destinasi, dan inspirasi unik yang akan dikurasi dan dikumpulkan dalam situs www.nyalakanindonesia.com. Di akhir kegiatan, akan dibagikan kembali kepada para penggunanya. Tujuan gerakan ini adalah untuk mempersatukan masyarakat Indonesia dalam merayakan hari Kemerdekaan ke-70 Indonesia (Kompas.com, 14/8/2015). Sedangkan para blogger yang tergabung dalam Rumpies The Club (RTC), menyemarakkan  momen peringatan HUT kali in dengan mengadakan lomba puisi yang akan ditampilkan di Kompasiana pada kolom Fiksiana.

Lomba Balap Karung dan Makan Kerupuk, Di Mana Unsur Pendidikannya?

Panjat pinang hanyalah simbol, bahwa rakyat ingin berpartisipasi dalam perayaan hari kemerdekaan, sekaligus mendapatkan sesuatu yang menghibur. Demikian halnya dengan lomba sejenis seperti balap karung dan makan kerupuk. Di saat perekomian bangsa yang lagi sulit seperti saat ini, seolah menjadi pengabsah bahwa rakyat butuh hiburan. Apalagi ketika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika hingga menembus level terendahnya, sekitar Rp 13.500-an per 1 US dollar. Di level ekonomi mikro, hasil panen tomat di Garut Jawa Barat tidak laku, sehingga sempat dibuang ke selokan. Demikian pula harga brambang (bawang merah) di Ponorogo Jawa Timur sempat jatuh. Para petani di level akar rumput hanya bisa mengeluh. Harga daging sapi pun sempat melonjak hingga di atas angka Rp 140.000-an per kg. Pada saat suasana seperti itu, dapatkah dijadikan alasan bahwa lomba panjat pinang masih bisa disebut mendidik dan perlu dipertahankan? Hemat saya, sulit mencari alasan yang tepat.

Dalam perspektif pendidikan (formal), acapkali pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana, bertujuan untuk mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, melalui serangkaian proses pembelajaran yang telah distandarkan. Ada standar kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pembeayaan, proses pembelajaran (mulai perencanaan sampai evaluasi), dan lain sebagainya.

Mendidik bukan berarti sekedar kegiatan berkumpul dan saling bertukar informasi, apalagi hanya dalam waktu sesaat. Jika kegiatan panjat pinang sulit ditemukan unsur pendidikannya, mengapa harus diulang-ulang setiap tahun? Alasan mudahnya, karena kebiasaan dan disukai oleh masyarakat. Nah kebisaan itu sesungguhnya bagian dari pendidikan. Membiasakan hidup bersih, disiplin, mencintai kejujuran, atau menghagai karya orang lain yang berprestasi, juga merupakan bagian dari pendidikan. Demikian halnya membiasakan sesuatu yang kurang bermakna. Uniknya, dalam rangka peringatan Agustusan di lingkungan pendidikan formal (sekolah), acapkali kita temukan anak-anak sekolah bersuka ria mengikuti lomba balap karung dan lomba makan kerupuk. Di sekolah, dewasa ini sudah jarang saya temukan lomba panjat pinang, tetapi lomba balap karung dan makan kerupuk masih ada.

Pendidikan juga bukan berarti sekedar memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge), dari guru ke murid. Kalau demikian halnya, murid seakan seperti benda mati layaknya hard disk, tempat menyimpan beragam data, yang siap dipanggil apabila diperlukan. Misalnya, murid diminta menghafal sebanyak mungkin pengetahuan untuk menghadapi ujian, dan diminta untuk menuangkan kembali pengetahuan yang telah dihafalkan itu saat ujian berlangsung. Para siswa dilarang membuka buku saat ujian. Jika jawabannya cocok, maka dia diangap lulus dan berprestasi. Sebaliknya, jika jawabannya tidak cocok, siswa dianggap salah dan gagal dalam ujian, alias tidak lulus. Apakah hakikat pendidikan semacam itu?

Pendidikan bukanlah seperti “bank”, yang fungsinya untuk menghimpun, menyimpan dan menyalurkan dana ke pihak lain yang membutuhkan. Siswa atau peserta didik bukanlah tempat menabung atau menyimpan pengetahuan sebanyak mungkin. Pendidikan model demikian, mendorong siswa untuk terus-menerus menabung informasi dengan cara menghafal, agar kelak siswa memiliki simpanan informasi sebanyak mungkin. Sayangnya, siswa diposisikan sebagai pihak yang pasif, hanya menerima informasi. Tabungan informasi berupa pengetahuan itu pada gilirannya akan diambil kembali saat dibutuhkan, yaitu saat ujian. Seolah siswa diperlakukan seperti bank, layaknya benda mati. Jika siswa diperlakukan seperti benda mati, maka kreativitas siswa dalam belajar menjadi tumpul, alias tidak berkembang. Maka tak heran, jika tidak jarang anak-anak kita kesulitan memecahkan persoalan hidup sehari-hari, karena kurangnya pembelajaran kreatif saat duduk di bangku sekolah.

Lomba panjat pinang memang cukup seru, juga ada unsur kebersamaanya. Sunguh pun begitu, unsur mendidiknya sulit ditemukan. Jika ini terus dipertahankan, apa efeknya bagi pendidikan generasi muda? Gembira sesaat waktu lomba panjat pinang, balap karung, dan makan  kerupuk hanyalah pemecahan masalah semu dan sifatnya sesaat. Kini harus ada kreativitas, bagaimana menanamkan nilai-nilai kepahlawanan dan cinta tanah air dalam kegiatan perayaan 17 Agustus kali ini dan di masa depan. Jangan hanya karena alasan itu disukai oleh masyarakat, dan telah menjadi membudaya, lalu kegiatan semacam itu tetap dipertahankan sepanjang tahun, bahkan dilaksanakan di sekolah-sekolah dan diikuti oleh para siswa-siswinya.

Kreativitas dalam Pembelajaran

Belajar, dengan demikian harus ada unsur mendidik yang memungkinkan kreativitas anak dapat berkembang. Suasana itu akan muncul manakala lingkungan sekolah menggembirakan. Umumnya, dalam suasana gembira muncul kreativitas. Untuk itu, guru dituntut kreatif, tidak hanya kreatif saat menyampaikan bahan ajar, tetapi juga kreatif ketika melakukan penilaian pembelajaran. Misalnya, pendidik mesti merancang soal yang mampu menumbuhkan kreativitas, seperti contoh soal-soal berikut ini.

                          Bandingkan

Soal Pola 1                                         Soal Pola 2

1. Apa Manfaat hutan? <> Mengapa kita perlu melakukan reboisasi?

2. Apa yang dimaksud dengan dikotil? <> Jelaskan Perbedaan tanaman dikotil dengan monokoti!

3. Apa yang diperlukan tanaman untuk proses asimilasi? <> Mengapa tanaman mati bila disimpan lama di ruang tertutup?

4. 3 + 4 =... <> Tentukan dua bilangan bulat yang mempunyai jumlah 7 !

Kasus di atas hanyalah sebagian contoh, bahwa menilai itu bukan sekedar anak disuruh menjawab soal, tetapi sekaligus dapat menumbuh-kembangkan kreativitas anak dalam memecahkan masalah sesuai dengan potensi dirinya. Bandingkan soal yang paling akhir di atas, antara bagian kiri (pola 1) dan bagian kanan (pola 2), hasilnya akan berbeda bukan?

Soal bagian kanan, jawabanya merangsang lahirnya pengetahuan baru, memungkinkan hasil belajar yang tak terduga. Jawabannya bisa berbeda antara satu siswa dengan siswa lainnya, namun jawabannya bisa sama-sama tepatnya. Di situlah muncul kreativitas dalam pembelajaran. Karakter semacam ini perlu ditanamkan sejak dini dalam pendidikan. Ada kerjasama dan kreativitas dalam pembelajaran kelompok yang mendidik, yang hasilnya kemudian dirayakan dengan banyak cara. Harapannya, mereka kelak terbiasa dapat memecahkan persoalan-persoalan hidup sehari-hari yang dihadapinya dan tidak stress karenanya. Karena di dalamnya ada unsur mendidik dan menghibur, juga ada unsur kreativitas.

Sementara dalam lomba panjat pinang, balap karung, dan makan kerupuk, benar muncul suasana gembira, lucu dan seru. Unsur hiburannya sangat kental. Mungkin kebanyakan orang menilai kegiatan semacam ini toh berlangsung hanya setahun sekali. Nggak apa-apalah. Namun jika dihubungkan dengan definisi pendidikan di atas, kiranya tidak masuk kriteria. Kegiatan lomba semacam itu hanya berlangsung sesaat, setelah itu tinggal kenangan. Berbeda dengan perayaan lewat lomba puisi misalnya. Ekspresi kecintaan akan tanah air dan nilai-nilai kepahlawanan yang dituangkan lewat karya sastra itu, dapat memberikan efek pembelajaran dan pendidikan. Selain belajar membuat karya sastra yang baik, ada pesan-pesan luhur yang disampaikan, sesuai dengan fenomena yang berkembang.

Namun mungkinkah kegiatan semacam ini dilakukan oleh rakyat kebanyakan? Tentu saja tidak. Rakyat tidak terbiasa berpuisi atau berkarya sastra. Selain itu, lomba panjat pinang atau balap karung, telah menjadi budaya yang mendarah daging, sulit dihilangkan dari masyarakat. Lalu kalau dianggap hanya kegiatan yang menghibur dan tidak mendidik, apa gantinya yang tepat? Adakah suatu kegiatan publik yang di dalamnya ada unsur hiburan sekaligus ada unsur mendidik bagi rakyat kebanyakan? Disinilah perlunya kreativitas dan keberanian para pemimpin, tak terkecuali selevel ketua Rukun Tetangga (RT) atau ketua Rukun Warga (RW) untuk melahirkan gagasan-gagasan baru di bidang sosial, terutama saat momen peringatan 17 Agustus nanti berlangsung. Gerakan Nyalakan Indonesia #RI70 hanya salah satu contoh kreativitas dalam merayakan hari kemerdekaan RI. Saya berharap, suatu saat perayaan lomba-lomba Agustusan itu memiliki unsur yang menghibur, kreatif, inovatif dan sekaligus edukatif. Bagaimana pendapat Anda?

---------------------

Sumber gambar dan Bahan Bacaan: 

http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/08/150807_trensosial_panjatpinang?ocid=socialflow_facebook

http://megapolitan.kompas.com/read/2015/08/14/19250911/Nyalakan.Indonesia.RI70

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun