Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Promo Pertalite dan Perilaku Konsumen BBM, Bagaimana Implikasinya?

24 Juli 2015   11:41 Diperbarui: 24 Juli 2015   11:41 3170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber: diolah dari batumedia.com

Pertimbangan dari Segi Harga BBM dan RON

Berdasarkan tabel di atas, tampak harga Pertalite Rp 8.400/liter, harganya tidak jauh berbeda dengan harga Pertamax Rp 8.600/liter, hanya terdapat selisih harga sebesar Rp 200. Sementara harga Premium Rp 7.300 setelah dinaikkan. Jika dibandingkan dengan harga Pertalite (Rp 8.400) yang hendak diberlakukan sejak hari ini (Jumat, 24/7/2015), terdapat selisih harga sebesar Rp 1.100. Dilihat dari sisi konsumen, tentu setiap konsumen akan memilih harga terbaik sesuai dengan pendapatannya, setelah memperhatikan aspek harga dan manfaatnya.

Menyimak perilaku masyarakat pengguna BBM, saat selisih harga Pertamax tidak jauh berbeda dengan Premium, sebelum muncul Pertalite, sebagian di antara mereka lebih suka memilih Pertamax. Contoh tetangga saya, sebut saja Pak Iing. Dia menuturkan pada saya, mobilnya meski cukup tua tetapi lebih sering diisi Pertamax, termasuk sepeda motornya. Alasannya, selain harga Pertamax dengan Premium tidak terlalu jauh waktu itu, Pertamax dipersepsikan lebih memberikan nilai manfaat lebih. Pasalnya, menurut persepsi dia, mobilnya tidak mudah ngadat, tarikannya kenceng, bahkan dirasakan lebih irit. Namun saat harga Pertamax dianggap jauh lebih mahal dari pada Premium, tentu dia akan kembali memilih Premium. Sayangnya, saat muncul Pertalite, ke depan kemungkinan Premium akan menghilang secara berangsur-angsur dari SPBU.

Sebagaimana persepsi publik, semakin tinggi kadar oktan yang disebut RON (Research Octane Number) yang terkandung dalam produk BBM, maka semakin baik bagi kendaraan dan lingkungan. Namun hemat saya, publik belum tahu persis apa perbedaan dampak RON 88, 90, dan 92 bagi kendaraannya, termasuk saya. Namun publik meyakini, contoh kasus Pak Iing di atas (termasuk saya), Pertamax diangap jauh lebih baik dibading Premium. Maka apabila ke depan harga Pertalite tidak terlalu terpaut jauh dengan harga Premium (kecenderungan harga Premium akan terus dinaikkan sesuai harga pasar dunia), maka publik mesti memilih Pertalite atau Pertamax. Namun tampaknya, ke depan Pertalite didesain agar menjadi pilihan utama masyarakat. Kemungkinan harga Pertamax akan semakin menjauh dari Premium dan Pertalite. Hal ini semacam strategi permainan harga, dan masyarakat bebas memilihnya. Kesimpulan sementara, Pertalite akan menjadi pilihan utama masyarakat pengguna BBM, baik karena alasan harga maupun persepsi atas sejumlah manfaat (utulitas) yang diperolehnya.

Menurut penjelasan sebelumnya oleh Dirjen Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Wiratmadja Puja, bahwa “tidak ada penghapusan premium atau BBM dengan RON 88, setelah dimunculkannya pertalite oleh PT Pertamina. Jadi premium masih akan diproduksi untuk masyarakat (Viva.co.id, 20/4/2015). Artinya, Pertalite bukan pengganti Premium, tetapi merupakan sebuah pilihan, sehingga Premium masih dipasarkan. Namun seperti dikutip Liputan6.com, tersirat bahwa salah satu tujuan pemerintah mengeluarkan varian baru Pertalite, adalah untuk menggantikan Premium dalam jangka panjang. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Menko Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil, dalam media tersebut. “Sasaran utamanya, menghapus BBM berkadar oktan rendah atau kurang dari standar minimum, seperti Euro dan standar lainnya”. Alasannya, saat ini umur kilang minyak Indonesia sudah berumur 30 - 40 tahun, maka belum mampu mengeluarkan produk yang memenuhi standar internasional itu, demikian dia memberikan alasan.

Bagi pemilik kendaraan roda dua, tentu tidak akan membeli solar, pilihannya hanya pada Premium, Pertalite atau Pertamax. Sementara bagi kendaraan roda empat yang menggunakan solar, tentu hanya solar pilihannya. Para nelayan yang menggunakan perahu bermotor dengan mesin diesel, juga akan tetap membeli solar. Selama ini, sebagian besar kendaraan roda dua dan roda empat umumnya berjenis bahan bakar Premium. Ketika harga premium semakin tinggi, kemungkinan terbesar masyarakat memilih Pertalite atau Pertamax, terutama untuk kendaraan generasi baru. Mengingat premium menyedot sebagian besar stok BBM yang sebelumnya bersubsidi itu, ketika subsidinya dicabut dan hendak dialihkan ke sektor yang lebih strategis (infrastruktur), maka pemerintah berusaha “mengotak atik” bagaimana caranya memberikan pilihan baru selain Premium, maka lahirlah Pertalite. Selain itu, ada alasan tuntutan standar oktan yang ramah lingkungan.

Jika tes pasar Pertalite di tiga kota tersebut berhasil, akankah Pertalite mampu menggeser Premium, sehingga lambat laun premium yang mayoritas digunakan oleh pengendara motor baik roda dua maupun roda empat di Indonesia itu akan lenyap dari pasar? Berdasarkan pertimbangan di atas, kiranya hal itu kemungkinan besar akan terjadi. Namun sayangnya, pilihan ini membawa konsekwensi bagi Indonesia yang lebih banyak mengekspor minyak mentah, karena belum mampu mengolahnya sendiri menjadi produk jadi secara optimal akibat ketersediaan kilang-kilang minyak dalam negeri yang terbatas. Akibatnya, negeri ini masih harus lebih banyak mengimpor minyak olahan dari luar negeri. Karena itu, masyarakat tidak perlu heran, saat volume Pertalite makin  banyak dipasarkan, kemungkinan besar masih impor dari luar negeri. Ketika nilai tukar rupiah melemah, maka harga minyak impor akan menekan rupiah dan semakin mendorong inflasi. Semoga, kondisi dilematis ini tidak berlarut-larut.

Sebagai masyarakat pengguna BBM, saya lebih suka jika produk BBM untuk kendaraan roda dua dan roda empat yang sebagian besar berjenis Premium, Pertalite atau Pertamax (kecuali untuk kendaraan berjenis solar), cukup ada satu pilihan terbaik, sehingga memudahkan manajemen stok dan distribusi BBM ke suluruh lapisan masyarakat. Katakanlah Pertalite atau apapun namanya dengan kadar RON 90 saja, tetapi harganya cukup terjangkau masyarakat, misalnya Rp 8.000/liter.

Sembari menunggu pembangunan kilang-kilang baru agar negeri ini mampu memproduksi dan mengolah BBM sendiri, harus dapat dipastikan bahwa unit bisnis yang mengelola distribusi minyak itu tidak bocor ke tangan segilintir pihak demi keuntungannya sendiri. Hal paling penting adalah, bahwa bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, harus dapat digunakan sebesar-besarya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat itu sendiri, sebagai amanat UUD ’45.

Sungguh pun saat ini negeri kita masih dihadapkan pada masalah perekonomian yang kinerjanya masih melambat memasuki kwartal II-2015, kita patut bersyukur bahwa negeri ini tidak sampai kacau seperti Yunani atau negeri-negeri lainnya yang secara ekonomi sangat menghawatirkan. Setidaknya, saat ini belum dapat disimpulkan dengan baik apa yang akan terjadi, sebelum tes pasar Pertalite di tiga kota diketahui hasilnya. Semoga maksud hati mencapai kemandirian bangsa secara ekonomi semakin mendekati kenyataan, setidaknya dapat ditunjukkan melalui tatakelola minyak dan gas yang berpihak pada kemakmuran bangsa dan kesejahteraan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun