Saya percaya, alasan program KB yang digunakan oleh BKKBN bukan karena alasan pesimistis seperti pandangan Malthus, tetapi alasan pentingnya mendorong “generasi emas” menyongsong masa depan lebih baik. Saya temukan sebuah artikel berjudul “Pasangan Pengantin Baru Pengaruhi Laju Pertumbuhan Penduduk” yang dimuat di laman resmi BKKBN (16/2/2014). Menurut sumber itu, setiap tahun di Indonesia terdapat sekitar 2,5 juta calon pasangan pengantin baru yang berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan penduduk, di sinilah program KB masuk, demikian kata Kepala BKKBN Pak Fasli Jalal waktu itu. Peran program KB inilah sebagai bentuk upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera.
Menurutnya, pemahaman program kependudukan, KB, dan pembangunan keluarga ini, harus dikenalkan kepada remaja dan calon pasangan pengantin baru. Lalu muncullah program GenRe (Generasi Berencana) dengan sasaran sekitar 3 juta remaja di 9.500 sekolah dan 6 juta mahasiswa 3.400 perguruan tinggi. Logika yang diajukan, tanpa program pengendalian penduduk yang tepat, penduduk Indonesia selama 25 tahun mendatang diproyeksikan terus meningkat, yaitu dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,6 juta pada tahun 2035, prediksi itu mengacu pada Buku Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2010-2035 oleh BPS (2013).
Itu sekedar contoh, bagaimana logika dan program yang diajukan oleh BKKBN dalam menyuarakan pentingnya KB. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, kita patut bersyukur karena saat ini bangsa kita mendapatkan “bonus demografi”. Artinya, Indonesia memiliki tenaga kerja usia produktif yang sangat melimpah. Setiap negara di dunia tentu menginginkan posisinya seperti ini, yaitu penduduknya yang sudah tamat sekolah (usia produktif) jauh lebih banyak dari pada penduduk yang berusia anak-anak dan usia lanjut. Namun harus disadari, jika kelompok usia produktif itu tidak mendapatkan perhatian, maka bonus demografi itu hanya akan lewat begitu saja, padahal itu tak akan diperoleh kecuali setelah melewati berpuluh-puluh tahun lamanya dengan perencanaan kependudukan yang tepat. Di sinilah pentingnya BKKBN mengucurkan serangkaian program yang lebih fokus pada penduduk usia produktif, agar kelompok usia ini mampu menopang pembangunan Indonesia secara produktif pula. Misalnya edukasi program keluarga sakinah yang dipadu dengan program ekonomi kreatif.
Dilihat dari kriteria kependudukan (modal manusia), maka menjadi jelas ada hubungan antara kemakmuran suatu bangsa dengan kualitas penduduknya. Artinya, semakin tinggi kualitas SDM suatu negara, maka negara itu berpotensi semakin cepat maju dan makmur. Jepang misalnya, SDM nya terkenal sebagai pekerja keras, disiplin, menghargai budaya lokal, spirit nasionalismenya tinggi, dan sangat setia terhadap Sang Kaisar atau perusahaan yang mempekerjakannya. China, demikian juga, warganya dikenal memiliki etos kerja tinggi dan jiwa kewirausahaan yang luar biasa. India memiliki banyak tenaga kerja terampil di bidang teknologi Informasi dan terampil berbahasa Inggris, sehingga pemilik Microsoft pun menjadikan India sebagai salah satu mitra usaha strategisnya. Walhasil, Jepang, China, dan India dewasa ini menjelma menjadi kekuatan ekonomi baru yang diperhitungkan dunia, meskipun saat ini ada sedikit pelambatan pertumbuhan ekonomi global.
Hemat saya, orientasi program KB oleh BKKBN harus diubah (dikembangkan) ke program yang lebih produktif, bukan sekedar mengawal jargon bahwa keluarga itu harus memiliki perencanaan keluarga (KB), apalagi yang dimaksud hanya menekankan pada perencanaan pengendalian jumlah anak yang tidak disertai dengan program mendapatkan jalan yang jelas bagaimana rumah tangga dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan keluarganya.
Bukankah setiap keluarga saat ini sudah relatif cerdas. Tentu mereka tidak akan memilih jalan yang membuat keluarganya tidak sejahtera. Setiap keluarga butuh kesejahteraan (happiness). Masalah yang dihadapi keluarga Indonesia adalah bagaimana mereka mendapatkan jalan menuju kesejahteraan itu. Kesulitan mengakses pekerjaan yang layak, pendidikan yang bermutu, dan jaminan kesehatan (termasuk jaminan hari tua) adalah problem mendasar mereka. Tidak cukup dikampanyekan bahwa setiap keluarga Indonesia harus berkarakter, hidup rukun, harmonis, menyayangi keluarga dan orang tuanya yang sudah lanjut, dan semacamnya, tanpa ada program riil yang dapat mereka akses. Nah, kemudahan mengakses jalan menuju kesejahteraan itulah yang lebih penting.
Katakanlah jika sebagian besar usia produktif penduduk Indonesia sedang kesulitan memperoleh akses pekerjaan, maka BKKBN bisa membuat program edukasi keluarga sakinah dari perpsektif kewirausahaan. Jadi menggabungkan edukasi pentingnya tidak segera kawin terlalu dini misalnya, dengan edukasi pentingnya berani kreatif berusaha dengan program kewirausahaan dan ekonomi kreatif yang menarik. Atau ketika TKI banyak yang menghadapi masalah perceraian, BKKBN dapat memasukkan programnya kepada kelompok itu, apalagi saat ini pengiriman TKI ke sejumlah negara tertentu sudah distop, maka untuk mengatasinya dibutuhkan banyak pelaku dan banyak cara.
Kita harus mengakui, bahwa BKKBN dalam melakukan tugasnya untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk selama ini nyatanya telah berhasil, bahkan mendapat apresiasi yang tinggi dari PBB serta menjadi inspirasi bagi emerging countries lainnya untuk berguru pada Indonesia. Namun kita tidak boleh berhenti di situ. Kinerja BKKBN harus lebih ditingkatkan lagi dalam mengawal Sustainable Development Goals (SDGs) babak berikutnya yang penuh persaingan dan kerjasama. Revolusi mental adalah jargon yang menarik, tetapi jika tidak diberi kaki, maka sulit berjalan.
Itulah sekedar harapan saya sebagai seorang warga, yang kebetulan diminta untuk mengisi data-data kependudukan. Tersirat di dalam harapan itu, bagaimana setiap keluarga dapat hidup lebih bermutu, baik dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta hubungannya di antara ketiga ranah tersebut. Selamat kepada BKKBN, yang pada bulan Agustus 2015 mendatang hendak memperingati Harganas yang ke-22. Saya berharap, BKKBN dapat berperan lebih dari sekedar edukator dalam mengontrol jumlah keluarga. Lebih dari itu, BKKBN dapat menunjukkan jalan bagi setiap keluarga untuk menjadi “keluarga bermutu” mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih sejahtera dan makmur.
Malang, 12 Juli 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H