Melihat video tersebut mengingatkan kita akan peristiwa di zaman Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut:
Nabi Muhammad SAW, pada suatu ketika, menggendong anak bayi sahabatnya. Tak lama bayi dalam gendongan Nabi, kemudian bayi tersebut ngompol dan dengan sentakan keras orang tua si bayi tersebut menarik bayi itu dari gendongan Nabi. Nabi menunjukkan wajah ketidaksukaannya sambil berkata bahwa air seni yang mengotori bajunya sebentar saja dapat dibersihkan tapi sentakan keras yang dilakukan akan membekas di jiwa si bayi hingga ia dewasa dan menjadi sebuah instrumen pembentuk karakter dirinya.
Nah, dengan demikian tindakan aparat dalam memberantas teroris yang seperti itu sangat mungkin kontraproduktif, dan justru akan menambah potensi calon teroris melalui trauma psikologis yang dialami si anak.
Kejadian penangkapan yang seperti ini bisa jadi bukan hanya terjadi di Bengkulu tapi juga di daerah lain di Indonesia.
Terorisme, terlepas dari perspektif konspirasi, memang merupakan musuh besar bagi sebahagian besar rakyat Indonesia, namun bukan berarti kesewenang-wenangan diperbolehkan. Perhatian yang serius tentang kemanusiaan dan pemanusiaan haruslah menjadi pegangan utama. Apalagi kalau terorisme dilihat dari perspektif konspirasi maka bisa saja para teroris tersebut adalah korban yang harus "dilindungi".
Di akhir tulisan ini perlu disampaikan bahwa sangat diharapkan para pihak untuk meresponi kejadian ini dengan sangat hati-hati dan tetap dalam kacamata kecintaan terhadap kemanusiaan. Meresponi dengan cara seperti ini tidaklah mudah apalagi kalau diingat tragisnya korban akibat tindakan mereka.
Selain itu, kalimat yang menyatakan "ambil hikmahnya" semoga benar-benar bisa didapatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H