Mohon tunggu...
M Miftahul Firdaus
M Miftahul Firdaus Mohon Tunggu... Insinyur - Pengagum Soekiman Wirjosandjojo

Pembelajar, Engineer, pengagum Soekiman Wirjosandjojo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sultan Ngabdulkamid Erucokro Kalifat Rasulullah

13 Juli 2017   10:00 Diperbarui: 13 Juli 2017   10:25 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
18819.jpg Sumber gambar : https://www.satujam.com

(Carey. 2001. Yogyakarta. LKiS Yogyakarta : Asal Usul Perang Jawa : Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh.hal : 68)

Perjuangan Diponegoro yang bersemangat khilafah Islam sekaligus nasionalisme Jawa ini juga diamini pada buku-buku yang ditulis oleh E. R. Asura, seperti Sadyakala Mataram : Sirnanya Impian Sang Khalifatullah Tanah Jawa. Pendapat itu dapat langsung terlihat pada sampul depan novel sejarah tersebut dengan "sirna impian" merujuk pada dijebaknya Diponegoro oleh De Kock untuk ditangkap dan dibuang ke pengasingan yang mengakhiri Perang Jawa.

Dari uraian singkat tentang Diponegoro yang memperjuangkan diperbaikinya sistem Keraton dengan landasan agama Islam dan nasionalisme Jawa tersebut menujukkan bahwa ideologi khilafah telah ada sejak dulu di Jawa. Jika khilafah dan khalifah dianggap seperti setan, monster, dan ancaman yang kejam, maka status kepahlawanan Diponegoro tentu harus dipertanyakan karena ia membela khilafah, bukan Keraton yang saat itu tunduk di bawah kompeni.

Namun, di sisi lain, mewaspadai bangkitnya khilafah juga dibenarkan jika perwujudannya tidak sesuai dengan koridor yang disepakati bersama. Terdapat perbedaan konteks yang cukup jauh di sini. Pada masa Diponegoro, terdapat dikotomi yang jelas antara kesejahteraan dengan keterpurukan. Dijajah berarti terpuruk, merdeka berarti sejahtera. Kompeni (baik Belanda maupun Inggris yang datang pada masa Diponegoro) merupakan "musuh bersama yang jelas".

Pada masa ini, musuh bersama yang jelas tersebut tidak berwujud secara nyata sebagai satu kaum seperti masa itu. Setiap kelompok masyarakat saat ini memiliki kepentingan yang dapat berbeda. Jika kemudian terjadi liberal lawan "Islam garis keras", nasionalis lawan islamis, dan lain-lain, yang ada hanyalah orang Indonesia lawan orang Indonesia, bahkan KTP Islam lawan KTP Islam yang lain.

Maka dari itu, pemojokkan, pengucilan, pemberian stigma, pengonotasian negatif, maupun langkah-langkah lain yang serupa dengan itu, mesti dihentikan sekarang juga agar tidak terjadi timbulnya pertentangan dan gesekan lebih jauh, utamanya agar tidak ada pihak yang merasa dizalimi sehingga dikhawatirkan nekat mengambil tindakan di luar koridor fiqih Islam "maslahat masyarakat lebih banyak, mudharat lebih sedikit".

Pemberian stigma bahwa umat Islam merupakan umat paling intoleran harus dihentikan, karena semua itu bahkan ahistoris. Bahkan dalam perumusan Pancasila pun, umat Islam telah menunjukkan sikap toleransi jauh sebelum konsep negara selesai dibangun. Sila pertama yang aslinya tentang ketuhanan yang berkaitan dengan kewajiban syariat Islam bagi pemeluknya (ingat hanya pemeluk Islam, artinya tidak memaksa agama lain) rela diubah.

Padahal redaksi sebelumnya juga sudah toleran (bagi pemeluk Islam saja, ingat, yang lain tidak dipaksa). Atas kearifan para ulama pada masa itu, sila itu diubah menjadi yang berkaitan dengan ketuhanan yang bersifat keesaan. Ini merupakan toleransi yang mengharukan. Bentuk toleransi umat Islam yang mana lagikah yang kamu dustakan?

Selain itu, konteks perjuangan keislaman Diponegoro tetap tidak keluar dari keraton. Ia bercita-cita mengubah keraton menjadi seperti masa keemasannya yang seharusnya, bukan menghancurkan keraton. Diponegoro bahkan tetap mengakui raja dan institusi-institusi yang ada, tidak menabrak institusi tersebut, tapi mengajaknya menuju nilai yang lebih baik. Langkah perang hanya ditujukan pada musuh bersama yang telah jelas, kompeni Belanda.

Perjuangan perwujudan sistem Islam dalam kehidupan keseharian jika memang mau dilakukan, tidak boleh dengan menciptakan revolusi melalui terorisme dan pengeboman karena tidak ada musuh bersama yang jelas, seperti kompeni. Sebaliknya, meminjam kata-kata Mahfud M. D. di ILC, harus dilakukan melalui DPR, seperti dengan merumuskan peraturan pembatasan minuman keras atau aturan Islami lainnya. Harus konstitusional dan tetap NKRI.

Jikapun pembaca merupakan pendukung liberalisme, yang mengusung pemisahan agama dari negara, agaknya jika memang mau berjuang memishkan agama dari negara secara benar-benar, hapuslah terlebih dahulu sila pertama Pancasila. Karena sila tentang ketuhanan justru sila yang melegitimasi negara untuk menjamin kehidupan bernegara melalui institusi-institusi bentukannya, seperti Kementerian Agama RI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun