Dalam buku yang ditulis oleh Dr. Peter Carey, Asal Usul Perang Jawa : Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh, yang ditebitkan oleh LKiS dan mendapatkan kata pengantar dari Ong Hok Ham, banyak dinyatakan bahwa Perang Jawa merupakan suatu perang yang dianggap sebagai perang sabil (perang suci dalam agama Islam) yang bertujuankanti amangun kaluhuranipun agami Islam wonten ing Tanah Jawi sedoyo.
Ong Hok Ham, dalam kata pengantarnya untuk buku tersebut menuliskan sebagai berikut.
"Dalam korespondensi selama berlangsungnya Perang Jawa (1825-30), Dipanegara yang ketika itu bergelar Sultan Ngabdulkamid Erucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagamaning Jawa Kalifat Rasulullah berulang-ulang mengemukakan tujuannya mendirikan sebuah negara agama (Islam) di Jawa (mangun luhuripun agami Islam ing Tanah Jawa).
...
Menurut pendapat Elout (Menteri Wilayah Jajahan Belanda 1824-9), pangeran tersebut meminta diakui sebagai pangeran pelindung agama (Ratu Paneteg Panatagama) di Jawa."
(Carey. 2001. Yogyakarta. LKiS Yogyakarta :Â Asal Usul Perang Jawa : Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh.hal : xxii dan 177)
Kata dalam gelar tersebut, Kalifat Rasulullah, merujuk kepada khalifah yang menjadi pemimpin dalam sistem khilafah. Khalifah pertama setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar, dijuluki sebagai khalifatur rasulullah (wakil atau penerus rasul Allah). Gelar tersebut awalnya bermakna netral dan tidak kejam, karena hanya berarti pemimpin umat sepeninggal rasul, itu saja.
Gelar tersebut tetap demikian pada masa Khulafaurrasyiddin (4 khalifah awal yang diberi kecerdasan) yang pemilihannya banyak menggunakan sistem musyawarah melalui ahlul halli wal aqdi (semacam dewan permusyawaratan). Sistem ini tidak sepenuhnya mirip demokrasi, tapi dapat dikatakan tidak memiliki perselisihan yang banyak bahkan bisa klop dengan demokrasi, terutama model permusyawaratan (parlementer).
Gelar tersebut menjadi berkonotasi negatif, khususnya bagi literatur yang menjunjung tinggi liberalisme, terutama pasca masa Khulafaurrasyiddin, yaitu pada masa mulkan aadhon, sebagaimana terdapat dalam sejumlah hadis Nabi. Kata mulkan aadhon dapat berarti raja yang menggigit atau raja diktator, yaitu pada masa kerajaan dinasti yang sistemnya diadopsi dari pemerintahan Persia dan Roma Timur.
Sejurusnya dengan demikian, kata khalifah seharusnya memiliki makna istilah yang netral sebagai pemimpin, yaitu pemimpin pada sektor kehidupan dunia sekaligus pemimpin pada bidang akhirat (pemimpin keagamaan). Pada kasus Diponegoro, dalam buku Carey tersebut, banyak disebutkan bahwa Diponegoro mencoba menjadi pemimpin yang demikian, dengan membangkitkan rasa keislaman sekaligus kejawaan sebagai landasan perjuangan.
Hal tersebut berarti, keislaman dan kejawaan (nasionalisme Jawa) dapat hidup sejalan dan beriringan dalam sanubari Diponegoro, tanpa harus mengalami konflik yang mempertentangkan sifat nasionalis dengan islamis belakangan ini. Hal itu karena Diponegoro menyadari bahwa Islam merupakan identitas sebenarnya dari keraton Jawa yang saat itu tengah merosot akibat banyaknya anjrah cara Welandi "bergaya hidup Belanda (kapitalistik liberal)".