Mohon tunggu...
mohammad endy febri
mohammad endy febri Mohon Tunggu... Administrasi - Orang awam

Asuh fikiran, lahirkan keyakinan...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Laporan Pertanggungjawaban, Menyederhanakan Bukan Menggampangkan

22 Desember 2018   07:33 Diperbarui: 22 Desember 2018   10:48 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kecepatan atau ketepatan? Pilihan ini sulit diwujudkan berdiri sendiri menjadi sebuah keunggulan. Dipastikan semua orang ingin menjadikan opsi tersebut bersanding sebagai paket komplet saja. Jikalau terpaksa menetapkan, mungkin pilihan akan dipengaruhi semacam faktor hobi maupun profesi.

Akibat dua pilihan ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap jengkel terhadap sistem yang dijalankan oleh PNS atau Aparatur Sipil Negara (ASN). Presiden menganggap banyak kerja lembur yang dijalankan oleh abdi negara merupakan misi yang non esensial, sebatas menyelesaikan tuntutan laporan semata.

Dari berbagai warta terkait, cukup lama penulis mengikuti pernyataan - pernyataan presiden mengenai makna 'pelaporan kerja'. Mulai dari 2015 lepas, saat pemerintah menegaskan apabila kesalahan administrasi ditemukan dalam pekerjaan pemerintah, solusinya juga cukup bersifat administrasif saja, selama tak menimbulkan kerugian negara. Lontaran tersebut, bersambut komentar dari banyak kalangan.

Pemerintah memberikan jaminan tak memidanakan kepala daerah hanya karena misadministrasi dalam pengelolaan anggaran. Kebijakan itu untuk stimulan serapan dana serta pertumbuhan ekonomi agar bergerak pesat dan simultan. Namun, bagi Komisi Pemberantasan Korupsi tak sesederhana itu. 

Setiap kebijakan baik disebabkan misadministrasi apalagi mengakibatkan kerugian keuangan adalah bentuk tindak pidana. "Selama ini pemahamannya seperti itu, hanya saja persoalannya adalah, besaran kerugian negara yang bisa ditoleransi yang dimungkinkan oleh Undang - Undang," ucap Adnan Pandu Praja, Wakil Ketua KPK kala itu, Selasa (25/8/2015).

Adnan menjelaskan, penyelenggara negara akan berurusan di ranah hukum apabila muncul kerugian negara atas kesalahan administrasi. Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi tetap bisa diterapkan kepada siapapun. Ia menilai UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tak bersinggungan dengan UU Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan dari kacamata Sekretaris Kabinet, Pramono Anung mengatakan; terkait aturan kesalahan administrasi tak bisa dipidanakan, tercantum dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Aturan itu untuk memberikan proteksi pada kepala daerah untuk cepat, tepat dan tanggap menggunakan anggarannya, papar Pramono medio 2015 lepas.

Meloncat ke 2018. Untuk kesekian kalinya, saat perwakilan organisasi akuntan publik beraudiensi ke Istana Negara, Selasa (11/12), pesiden menyelipkan persoalan laporan atau surat pertanggungjawaban (SPJ) ini. Presiden menyatakan telah mengutarakan persoalan SPJ kepada menteri-menterinya.

Ia juga mengaku kerap menjumpai PNS di pusat maupun daerah yang hanya sibuk mengurus SPJ, bahkan hingga malam. "Saya kalau ke daerah atau ke kementerian, senang. Saya waktu melihat sekolah masih nyala. Ada apa? Saya datang; kepala sekolah ada, guru ada, menyiapkan perencanaan belajar mengajar, Saya positif thinking saja. Begitu mendekat, saya tanya 'Bapak Ibu guru kok rame sampai malam, nyiapin apa?" Kami menyiapkan SPJ.

Kisah belum usai. Saat bencana gempa Lombok 2018 kemarin, presiden mengetahui bahwa anggaran perumahan yang disiapkan oleh pusat belum didistribusikan. Rumah-rumah yang rusak belum dapat diperbaiki. "Padahal uang sudah ditransfer, Saya emang orang jalanan, senang ngecek di lapangan, ternyata prosedurnya ada tujuh belas, Saya nggak tahu prosedur, pokoknya tetap dilaksanakan, akuntabilitas tetap diperhatikan. Tetapi, Saya juga minta cepat, prosedur nggak usah banyak-banyak, nggak usah 17, saya minta satu, nyatanya bisa.

Presiden banyak melihat inefisiensi dan kompleksitas melingkupi pengerjaan SPJ. Dikutip dari berita online tahun 2017, saat baru tiga pekan menjabat, kata Menkeu Sri Mulyani, presiden sudah komplain padanya. "Baru tiga pekan, Saya dibilang 'Bu Sri, itu SPJ membebani,' Saya kira itu laporan dinas, Saya baru tahu kalau itu adalah laporan pertanggungjawaban. Pak Presiden ingin ada simplikasi, laporan yang baik, nggak harus complicated," katanya di Gedung Dhanapala Kemenkeu Jakarta, Selasa (28/2/2017). Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu sepakat, sudah tak zaman lagi laporan pertanggungjawaban bertumpuk-tumpuk.

Presiden mengamanatkan kepada Sri Mulyani Indrawati dan Menko bidang Perekonomian Darmin Nasution untuk mengubah rezim akuntansi dan pelaporan keuangan di Indonesia agar tak bertele-tele. Menurutnya, proses itu berdampak enampuluh hingga tujuhpuluh persen Pegawai Negeri Sipil di Indonesia hanya disibukkan dengan surat - menyurat pertanggungjawaban semata.

Jokowi menilai metode akuntansi yang panjang kali lebar tersebut, keliru. Laporan pertanggungjawaban atau laporan keuangan sekalipun, harus simpel, sehingga tak membuat aparatur negara terlalu sibuk dengan rutinitas SPJ dengan menepikan pekerjaan penting lainnya.

Bagi penulis, kesalahan utama itu datang dari niat dan rencana, bukan semata dari lembaran -- lembaran laporan pertanggungjawaban. Realitas dilapangan dan hasil akhir dibanding dengan konsep perencanaan, dapat jadi tolak ukur kinerja pemerintah; daripada berkutat menghabiskan waktu dengan model pelaporan yang kaku, tak sesuai dengan tuntutan kecepatan sekaligus ketepatan sebuah amanah pekerjaan.

Tak dipungkiri, seluruh pekerjaan pemerintah idealnya memiliki dasar hukum dan standar sistem baku. Kacaunya, apabila kata baku diterjemahkan menjadi kaku bahkan sumber kebenaran hakiki. Kenapa tak disesuaikan dengan dinamika? Sebagaimana sederhananya pola atau format pelaporan perusahaan -- perusahaan raksasa nasional dan multinasional yang mengedepankan progresifitas? Bukan sekadar terpaku pada susunan kalimat dan copy paste turun -- temurun, seolah jadi lembaran kitab suci.

Muaranya juga pada sumber daya manusia. Disitulah persepsi, kemampuan mengimplementasikan teknis pelaporan yang singkat, padat, serta daya analisis harus dimiliki, jika tak ingin jadi mimpi. Kerapian dan tingkat kesulitan  ilmu teknis pelaporan keuangan juga belum bisa seutuhnya menjamin ketepatan pendistribusian sebuah anggaran, apalagi kecepatan. Parahnya, seolah-olah ilmu copy paste pelaporan menjadi eksklusif, karena 'kerumitan pelaporan' dipelihara oleh oknum-oknum dan seakan tak tergantikan.

Idealnya, pusat juga membuka ruang lebih leluasa untuk daerah. Trend positif ini, indahnya apabila didukung oleh perundang-undangan yang memberi kreasi penjabaran dari pelaporan; sesuai porsi, kapasitas dan dinamika khas tiap -- tiap daerah.

Setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya dengan berpayung pada perundang-undangan yang jelas dan terukur. Dengan semangat akselerasi percepatan pembangunan, jika bisa dipermudah pola laporannya, kenapa mempersulit diri sendiri? Toh, niat tak baik bukan bergantung pada rumitnya format dan kekakuan sebuah pelaporan bukan? Karakter.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun