Presiden mengamanatkan kepada Sri Mulyani Indrawati dan Menko bidang Perekonomian Darmin Nasution untuk mengubah rezim akuntansi dan pelaporan keuangan di Indonesia agar tak bertele-tele. Menurutnya, proses itu berdampak enampuluh hingga tujuhpuluh persen Pegawai Negeri Sipil di Indonesia hanya disibukkan dengan surat - menyurat pertanggungjawaban semata.
Jokowi menilai metode akuntansi yang panjang kali lebar tersebut, keliru. Laporan pertanggungjawaban atau laporan keuangan sekalipun, harus simpel, sehingga tak membuat aparatur negara terlalu sibuk dengan rutinitas SPJ dengan menepikan pekerjaan penting lainnya.
Bagi penulis, kesalahan utama itu datang dari niat dan rencana, bukan semata dari lembaran -- lembaran laporan pertanggungjawaban. Realitas dilapangan dan hasil akhir dibanding dengan konsep perencanaan, dapat jadi tolak ukur kinerja pemerintah; daripada berkutat menghabiskan waktu dengan model pelaporan yang kaku, tak sesuai dengan tuntutan kecepatan sekaligus ketepatan sebuah amanah pekerjaan.
Tak dipungkiri, seluruh pekerjaan pemerintah idealnya memiliki dasar hukum dan standar sistem baku. Kacaunya, apabila kata baku diterjemahkan menjadi kaku bahkan sumber kebenaran hakiki. Kenapa tak disesuaikan dengan dinamika? Sebagaimana sederhananya pola atau format pelaporan perusahaan -- perusahaan raksasa nasional dan multinasional yang mengedepankan progresifitas? Bukan sekadar terpaku pada susunan kalimat dan copy paste turun -- temurun, seolah jadi lembaran kitab suci.
Muaranya juga pada sumber daya manusia. Disitulah persepsi, kemampuan mengimplementasikan teknis pelaporan yang singkat, padat, serta daya analisis harus dimiliki, jika tak ingin jadi mimpi. Kerapian dan tingkat kesulitan  ilmu teknis pelaporan keuangan juga belum bisa seutuhnya menjamin ketepatan pendistribusian sebuah anggaran, apalagi kecepatan. Parahnya, seolah-olah ilmu copy paste pelaporan menjadi eksklusif, karena 'kerumitan pelaporan' dipelihara oleh oknum-oknum dan seakan tak tergantikan.
Idealnya, pusat juga membuka ruang lebih leluasa untuk daerah. Trend positif ini, indahnya apabila didukung oleh perundang-undangan yang memberi kreasi penjabaran dari pelaporan; sesuai porsi, kapasitas dan dinamika khas tiap -- tiap daerah.
Setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya dengan berpayung pada perundang-undangan yang jelas dan terukur. Dengan semangat akselerasi percepatan pembangunan, jika bisa dipermudah pola laporannya, kenapa mempersulit diri sendiri? Toh, niat tak baik bukan bergantung pada rumitnya format dan kekakuan sebuah pelaporan bukan? Karakter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H