Dalam penggal kisah Menumpas Perompak Lanun di Riau, diceritakan oleh sastrawan Melayu Raja Ali Haji (RAH) bahwa pada 1251 Hijriyah atau 1835 M, bermusyawarahlah Baginda Sultan Muhammad dengan ayahnya, Yang dipertuan muda Raja Abd. Al Rahman terkait situasi laut daerah taklukannya, Lingga dan Riau (Kepulauan Riau kini). Perairan tersebut mulai kerap diganggu perompak lanun atau bajak laut. Diputuskannya, menitahkan Haji al-Ibrahim untuk menemui Gubernur Belanda di Betawi untuk melaporkan kondisi terkini.
 Bersamaan itu, Raja Ali Engku Kelana didampingi Raja Ali, Raja Yusuf dan rekan-rekannya diutus oleh Yang dipertuan muda untuk mengecek langsung kondisi teluk dan laut jajahannya. Lalu dijelaskan lagi dalam kitab Tuhfat Al Nafiskarya RAH, didaerah – daerah yang banyak bermukim ‘orang jahat’ mereka tangkap, lalu dikirim ke Riau dan perahu serta meriamnya disita oleh Engku Kelana. Sultan sudah sangat merisaukan teritorialnya karena mengancam moda perdagangan dan pasokan barang untuk rakyatnya.
Dari kisah ini, tergambar bahwa Laut Kepulauan Riau (Kepri) sudah menarik sejak dahulu. Jalur perdagangannya diperhatikan oleh penjajah Belanda dan dilirik Inggris yang menapak di Singapura. Lintasan yang menjanjikan laba.
 Hari ini, dengan adanya garis batas antar negara beserta penjaganya, para pengacau dilaut itu tak berkutik lagi. Pola jualan berubah; para pedagang harus melewati mekanisme peraturan perundang – undangan sebuah negara.
Kendati bajak laut hampir punah, tidak dengan pencurian ikan. Dari pemberitaan pertengahan November 2016 lalu, Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Barelang Batam kembali menangkap illegal fishing Kapal Ikan Asing (KIA) Vietnam berbendera Malaysia.
Kapal  berlambung KM PAF 4767 itu tertangkap basah di Natuna saat mencuri ikan dikawasan Zona Ekonomi Eksklusif Sabtu (12/11). Dari KIA itu, didapati jenis alat tangkap yang haram digunakan oleh nelayan, 500 kilogram ikan dan seorang nakhoda plus 13 awaknya yang berkebangsaan Vietnam. Sebelumnya, bulan lepas (11/10) tiga kapal Vietnam berbendera Malaysia juga ditangkap di perairan Tanjung Berakit. Diamankan tiga ton berbagai jenis ikan.
Tangkapan itu menambah catatan hitam kasus pencurian ikan di Provinsi Kepulauan Riau. Data PSDKP menorehkan bahwa 26 unit KIA diamankan sepanjang Tahun 2016. Ditahun 2015 , instansi tersebut berhasil mengungkap 32 kasus.
Itu baru tangkapan PSDKP hemat penulis. Belum lagi yang diusir oleh nelayan Kepri atau ditangkap oleh instansi yang fokus terhadap keamanan perairan. Angka dari data itu bisa saja terdongkrak drastis. Begitu juga dengan hasil jarahan sumberdaya laut, tonasenya akan semakin memprihatinkan.
Dapat kita perkirakan betapa besarnya kerugian masyarakat lokal selama ini. Hasil laut yang seharusnya dapat meningkatkan perekonomian warga, dilarikan menjadi pundi – pundi keuntungan bangsa asing atau korporasi besar.
Sebagai perbandingan, dalam serial semacam film (dokumenter) tentang nelayan di Amerika, kita dipertontonkan bahwa pengusaha perikanan tangkap disana hanya diperbolehkan menggunakan joran atau alat pancing manual untuk mendapatkan tuna atau  jenis ikan tertentu, dengan pengaturan waktu tangkap dan pembatasan kuota juga pastinya, untuk menjaga ekosistem laut. Dan kita memang belum sampai pada fase ini. Dinegeri kita yang perairannya sangat luas ini, penjarahan ikan masih merajalela. Menaikkan ikan ke kapalnya sekehendak hati. Lalu bagi kita yang hidup didarat, hal itu seolah menjadi kisah purba yang didengar setiap saat sebagai pelengkap cerita. Terdengar tapi tak pernah terasa.
Dalam senyap, hasil laut kita terus digerogoti, perlahan. Dalam rutinitas kerja dan lelapnya tidur, potensi laut kita semakin berkurang, digerus alat – alat KIA. Kemudian, nelayan lokal akan semakin jauh melaut, membutuhkan dana operasional yang tak sedikit dan dampaknya, harga komoditi laut semakin meninggi, kendati angin bertiup sepoi, langit cerah dan gelombang tak menghempas. Kelak, hasil laut segar beserta turunannya hanya menjadi komoditas bagi level tertentu. Kualitas terbaik akan jadi ‘produk’ angan, terutama jenis ikan dan kerang favorit, saking mahalnya.
Sebagai orang Kepri yang mengerti bahwa banyak warga Kepri lahir dan dibesarkan disepanjang pesisir pulau; laut adalah sumber. Pusat mata pencarian dan simbol tanggungjawab seorang ayah sekaligus lambang kasih sayang keluarga. Sebab itu, laut harus menjadi tumpuan yang nyaman bagi nelayan dan semua yang berkecimpung didalamnya. Bukan untuk kepentingan konglomerasi tingkat tinggi semata.
Syukurlah perhatian pemerintah pusat dan daerah dari hari kehari semakin membaik. Pemberdayaan ekonomi kelautan tak hanya dipandang sebagai bantuan perahu, alat komunikasi atau alat tangkap saja. Keamanan telah dianggap sebagai bagian dari kesatuan usaha peningkatan ekonomi masyarakat laut. Tak hanya domain pertahanan keamanan belaka.
Akhirnya, semua akan terpulang kepada masyarakat dan stake holder di Provinsi Kepri. Apakah akan ngotot menggarap laut yang merupakan 96 persen bagian geografis Kepri (dari total 251.810,71 km²) ? Tinggal pilih.
Memilih memaksimalkan potensi serta melebarkan kerjasama dengan para pihak yang dapat mengakomodir kepentingan ekonomi berbasis kelautan atau hanya menganggap laut Kepri sebagai pelengkap saja, membiarkan gelombang berayun dan beralun diluar sana, sembari sibuk menyelesaikan pekerjaan lainnya.
(Terbit di Koran SINDO Batam, 18 November 2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H