Langit malam yang indah ini aku mencoba pulang kampung menaiki kereta. Angin sepoi-sepoi menerpa tubuhku, sedikit dingin. Tidak seperti dinginnya malam yang bertabur hujan. Aku memakai switer hitam dari mamaku yang dikenakannya sebelum aku menaiki grab online.Â
"Hafiza..." Mamaku berteriak, "Nurut sama mama!" Aku terus bergerak dan terus mengikuti gerak ayah di manapun ia berada, entah aku lebih ingin nempel sama ayah. Namun malam itu sedikit naas sebelum menaiki grab, kakiku terpelosok ke lubang got hingga sepatuku jatuh dalam di dalam got.
Mama semakin marah, "Hafiza...," mama menarikku. Aku terselamatkan, tapi sepatuku nyangkut dan jatuh di lubang got. Aku diam, saat mama masih mengomeliku. Beberapa menit kemudian, aku meminta maaf. "Maaf ma, aku salah. Seharusnya aku mendengar kata-kata mama.
Setelah ayahku berhasil mengarahkan supir grab, ayah mendekatiku dan mengelus kakiku yang tergelincir. "Hafiza kamu tidak apa-apa? Yang sakit yang mana?" Aku diam, masih merasa bersalah di pelukan mama.Â
Beberapa menit kemudian, grab sampai di depan gang. Setelah memasuki mobil Avanza, tak terasa aku sudah di stasiun. Aku mendengar mama meneriakiku, namun mataku tak bisa kubuka. Aku sangat mengantuk, karena biasanya tidur siang hari ini tidak tidur sama sekali.
Ayah menggendongku dan memangkuku, di kursi tunggu. Mama meneriakiku lagi, "Za kereta..., sudah sampai stasiun ini. Hafiza tidak ingin melihat kereta ta?"Â
Aku ingin membuka mata, tapi rasa kantukku semakin mengunci dengan beberapa mimpi yang lebih indah, lebih nyaman dan membuat tubuhku di antara taman bunga-bunga.Â
"Sudah mbak, kasihan dia. Biarkan saja tidur!" Nenek menasihati. Aku pun sedikit mengangguk, tanpa terlihat ayah dan mamaku. Aku meneruskan mimpiku, yang sedikit terganggu. Beberapa kali bapak kondektur melewatiku, dan suara-suara informasi sayup-sayup sedikit kudengar.
"Para penumpang kereta Dhoho yang terhormat sebentar lagi kita sampai stasiun Wonokromo, jangan sampai lupa barang bawaannya dan pintu keluar di sebelah kanan."
Aku semakin nyenyak di pangkuan nenek, mama duduk di belakangku dan ayah berdiri di samping pintu karena tidak dapat tempat duduk. Sebenarnya kami pesan tiket kereta sudah habis tempat duduk, tapi Alhamdulillah tempat yang kududuki bersama nenek kata orang di depanku ia tidak jadi menaiki kereta ini.
Dan mama duduk di belakangku karena memang kosong dari Surabaya sampai Mojokerto. Ayahku mengalah, beliau masih berdiri di depan pintu keluar. Saat sampai stasiun kereta ada salah satu nenek-nenek berdiri dan turun Krian, Alhamdulillah ayah menduduki tempat tersebut hingga sampai stasiun Mojokerto.
Aku masih duduk bersama nenek, dan tidur lebih nyenyak. Kereta api sudah berhenti di stasiun Mojokerto aku digendong mama, ayah memesan gocar. Lima menit kemudian mobil Wuling datang dan aku mama, dan nenek duduk di kursi tengah dan ayah seperti biasa duduk di depan bersama supir.
"Za sudah sampai rumah!" Mama kembali berteriak, aku masih dalam titik nyaman. Mobil berhenti ayah menggendongku dari mobil sampai ke kamar. Di depan pintu, om Mifta, om Rafi mencoba menggodaku. Namun ku masih tidur pulas, sehingga mereka tidak berhasil menggodaku.
"Za mau naik kereta ta!" Mama mencoba menggodaku. "Ini tidur di mana?"Â
Dengan suara pelan aku menjawab,"Di rumah nenek!" Walaupun mataku terpejam, tapi aku sangat merasakan tempat tidur yang ku tempati. Aku sangat hafal, kasur, bantal, guling yang menemaniku. Aku semakin nyaman, sebelum lebih kunikmati aku ingin berkata "Terima kasih mama, ayah sudah mengajakku jalan-jalan dan mengajak hafiza Naik kereta! Aku tidur dulu, assalamualaikum, muah"Â
***
Mojokerto, 8 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H