***
Pagi setelah subuh, aku baru cerita tentang kepulanganku ke tanah kelahiran, Tuban. Aku pulang menjenguk ayah dan mampir ke kakak ipar karena Faiz keponakanku ikut ke Surabaya, dia beberapa hari di rumah dan besok masuk kuliah, setelah itu ngobrol banyak dan menceritakan keadaan kakak ipar beserta rumahnya.Â
"Yah, aku ingin nge-cet rumah nenek. Gimana?" Tanya sang istri
Rumah nenek sudah lama warna temboknya pudar dan lima tahun ke belakang ini belum pernah juga dioles lagi. Sejak Hafizah lahir sampai sekarang sudah berumur 4 tahun, warna rumah belum diganti atau dioles dengan cat yang baru.
"Ya sayank, sebenarnya aku sedih di saat menyambut bulan suci Ramadhan ini belum punya uang lebih. Sabar dulu ya, semoga segera ada rezeki!" Jawabku mencoba menenangkannya.Â
Sebenarnya sejak dulu ingin memperindah rumah nenek, namun kadang beberapa keperluan urgent datang secara tiba-tiba. Apalagi masih banyak hutang yang belum lunas, dan sementara masih tutup lobang gali lobang.
Di sepertiga jalan menjumpai para pedagang di sepanjang jalan, mereka semangat membawa dagangannya ke pasar. Dengan sekuat tenaga, mereka bahagia bekerja. Walau belum tentu Tuhan memberi rezeki apa yang mereka harapkan.
"Aku harus bahagia, dan semangat seperti mereka!" Kataku dalam hati menyemangati diri.
Ketika merasa sedih, aku percaya ini takdir Tuhan. Takdir yang buruk mengakibatkan normalnya manusia akan merasa sedih. Ketika menerima takdir yang baik manusia akan merasa bahagia. Kedua takdir tersebut harus diterima dengan penuh keikanan. Maka, ketika melewati kerikil-kerikil tajam kehidupan ataupun memperoleh kebahagiaan, mereka akan tetap melakukan kebaikan dan menikmatinya dengan penuh kesadaran dan kesabaran.
"Ya Tuhan, maafkanlah kesalahanku. Izinkanlah aku membahagiakan keluargaku." Doaku dalam hati, istri masih duduk dibelakang sambil melantunkan sholawat.
Aku memutuskan dalam hati menambah penghasilan karena menurutku penghasilan tambahan adalah hal utama untuk membebaskan hidup dari hutang, walau dengan dijalani dengan susah payah.Â