Belakangan, banyak dari kita yang berusaha untuk dapat menjadi pembicara yang mahir –termasuk saya. Keterampilan berbicara tersebut yang seringkali berhasil menunjukan eksistensi tentang siapa diri kita sebenarnya kepada orang lain.Â
Pada dunia pendidikan pun –setidaknya ini dalam pengalaman pribadi– keterampilan untuk berbicara merupakan kemahiran yang terus selalu diasah dan dilatih.Â
Keterampilan dalam mengolah kata menjadi lontaran kalimat lisan seringkali memukau banyak orang, sehingga banyak dari mereka yang berebut untuk menguasai keterampilan ini.
Maka tidak jarang dapat kita temukan golongan orang-orang yang berusaha untuk mendominasi pembicaraan, entah dalam lingkungan pendidikan ataupun lingkungan sosial. Apakah mereka salah? Tidak juga, dan apakah mereka benar? Tidak juga.Â
Manusia adalah makhluk yang unik, tiap-tiap dari mereka memiliki ciri dan cara tersendiri untuk dapat mencitrakan siapa dirinya –sedikit pandangan yang muncul dari pikiran saya yang sempit soal manusia. Namun, dapat kita sepakati bersama bahwa: bicara dapat menjadi medium untuk membentuk sekaligus medium untuk menghancurkan.
Terlepas dari konsekuensi yang timbul, nyatanya berbicara juga menjadi sarana untuk menyampaikan ide, sekaligus sarana untuk mengekspresikan segala apa yang dirasa.Â
Pada poin ini, berbicara menjadi penting. Persoalannya adalah: apakah segala yang kita bicarakan selalu tentang ide? Tidak juga, dan apakah orang lain perlu mendengar segala apa yang kita rasa? Tidak juga –lagi dan lagi.
Pola didik dan bersosial kita –saya rasa– akan gagal ketika kita semua sama-sama berebut untuk berbicara tanpa berusaha untuk mendengarkan.Â
Kita senantiasa terlarut dalam perlombaan menjadi speaker bukan listener. Kita mendulang bangga ketika berhasil menjadi pembicara yang baik.Â
Sebaliknya, apakah kita akan mendapatkan porsi kebanggaan yang sama ketika berhasil menjadi pendengar yang baik? Mari sama-sama kita renungkan –tanpa bermaksud mendiskreditkan salah satu golongan.
Manusia merupakan makhluk sosial yang berakal. Oleh karena itu, dalam berinteraksi dengan makhluk sosial yang berakal –manusia– lainnya, tentunya manusia memerlukan proses berbicara dan proses mendengarkan.Â
Lingkungan pendidikan dan sosial kita semestinya tidak hanya mengapresiasi orang yang terampil dalam berbicara, tetapi mengapresiasi juga orang yang terampil dalam mendengarkan. Bahkan, kita acapkali mudah untuk berbicara, tetapi sulit mendengar.
Yang menjadi kekeliruan –sekadar melampiaskan pandangan yang subjektif– di khalayak ramai adalah: menyandingkan kepintaran dengan kemahiran dalam berbicara. Rasa-rasanya kemahiran untuk mendengarkan memang sudah tersandung jauh dan dikalahkan oleh pamor berbicara.Â
Saya kira, meskipun penilaian tersebut adalah nisbi, penting untuk menyampaikan nilai edukatif ihwal mendengarkan. Penting pula memupuk pengetahuan kolektif bahwa berbicara dan mendengarkan sama-sama memiliki kedudukan yang sangat vital.
Saya selalu yakin, setiap pengetahuan di dapat dengan cara membaca dan mendengarkan. Terlebih, kegiatan mendengarkan –bagi saya– tidak melulu sebagai upaya untuk memahami, melainkan untuk menghargai.Â
Kegiatan mendengarkan merupakan etika sederhana dalam kehidupan yang kadang kala sangat sulit dilakukan oleh kebanyakan orang. Jadi, mari batasi pembicaraan dan perluas mendengarkan. Undzur ma qoola wala tandzur man qoola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H