Mohon tunggu...
M. Indra Riamizad Raicudu
M. Indra Riamizad Raicudu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Malang

Pegiat Literasi Mandiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tan Kena Kinaya Ngapa

28 Januari 2023   12:24 Diperbarui: 28 Januari 2023   12:32 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku tetap mempertahankan anak ini, Bu!"

"Tak sudi aku punya cucu dari suamimu!"

"Biarlah keluarga ini tak setuju adanya anak di kandunganku ini. Entah orang

berkata apapun, bersumpah serapah kan ku terima! Walau dikatakan durhaka"

"Angkat kakimu dari sini!"

***

Sehari semenjak akad terucap dari bibir suamiku. Bergulir mengalir sejuta jalan agar kami menyudahi hubungan di meja hijau. Rasa teriris sebilah keris tak pernah usai. Sebab apa semua ini terjadi?. Aku hanya menjalankan permintaan emak bapak sampai sejauh ini. Akankah aku kan jadi batu batangkup jika tak menyudahi pernikahan sahku?. Padahal semua jalan hidup ini atas kuasa perintahnya. Apa sebenarnya yang mereka inginkan?. Kalaupun tak restu dan tak setuju mengapa tetap berjalan hingga janur melengkung menguning?.

Kayu dalam tungku, panas bara tak lekang darinya. Sehari-hari tak luput dari angin panas. Satu jam tak kunjung usai. Haruskah patuh untuk menyudahi?. Lalu apa yang akan terjadi di usia belia bercerai dengan orang pilihan keluarganya?. Ubin menari siang terasa gelap, malam semakin pekat hanya ada lampu ublik yang kian meredup. Ayam berkokok kedua kalinya. Hati tak pernah tenang. Kantuk pun belum menawarkan diri hinggap.

Genap tujuh hari tundungan emakku terucap, bulat sudah tekad ingin mencari suamiku yang lebih dulu angkat kaki sebelum ucap serapah dari keluargaku terucap. Burung pecah sangkar, itulah kondisiku hari ini. Bagaimana tidak? uang seharga satu butir beras pun tak menyimpan. 

Berbicara teknologi dibenak saja belum tergambar. Bahkan lampu masih menggunakan ublik. Kemana aku harus pergi?. Perasaanku menerka-nerka mungkin suamiku ada di rumah mertua. Hanya berbekal daster kumal, sisa-sisa seragam sekolah pergi dengan juang dan luka di dada.

Tak ada kata selamat tinggal, selamat jalan, atau hati-hati dijalan. Ku tengok belakang kepergianku di iringi dengan nyanyian tawa, gemericik cibiran. Dan tak begitu lama tempatku berdiri merekam segala cerita dari masa ke masa di rumah ini dibersihkan dengan kain pel. 

Sempat ingin ku urungkan niat pergi. Langkah kaki menolaknya meski berat melangkah. Yang ku ingat dari rumah ini hanya ucapan Emak "Kau tak akan bisa makan sesuap nasi pun jika kau tak patuhi pada ucapku nak!!!". Itulah yang menjadi pegangan erat untukku tetap pergi dan yakin bahwa sumpah serapah siapapun kepada hal yang benar tak pernah akan terkabul. Tuhan Yang Maha Tak Pernah Lelah lagi Maha Tak Pernah Merasakan Kantuk pasti memiliki jalan terang.

Mentari membakar kulit, menyusuri jalan bertabur bebatuan aku memanjatkan doa-doa. Berharap Tuhan sesegera mungkin meluberkan keadilan-Nya. Burung gagak dalam perutku sedang mengoyak mangsa. Namun, tak sanggup menghentikan keadaan bara dalam tekadku. 

Jarak masih sangat jauh ke rumah mertuaku. Di tengah pencarian suci ini aku membolak-balikkan hati. Apakah benar suamiku ada dirumah orang tuanya?, lalu jika tidak ada, aku akan apa, bila diberondong sejuta tanya?, pergi kemanakah setelahnya diriku?. 

 "Karenamu anakku dihinakan!, mau apa kamu datang kemari? Tak punya rasa malu?", sambutan panas dilayangkan kepadaku oleh emak mertua ketika masih sampai di teras rumahnya. 

Belum sempat menyampaikan niat dan salam. Tangis tak terbendung membasahi daster kumalku ini. Tak kuasa tangan menjatuhkan barang bawaanku. Lalu aku harus pergi kemana ini?, tak terlihat batang hidung suamiku keluar. Bagaimana emak mertuaku mengetahui masalah ini?. Aku sudah mulai melangkah pergi mencari suamiku entah kemana.

"Sudahlah Mak, dibicarakan dengan kepala dingin" keluarlah suami yang kini ku cari-cari dengan wajah padam tertunduk.

Bahagia tak terucap dalam hati aku panjatkan syukur. Akhirnya aku masuk kedalam rumah mertuaku bertemu dengan suamiku kembali. Berarti aku masih ditakdirkan leh-Nya untuk berjodoh dengannya. Tetapi, rasa was-was, risau tetap menghantui. Apa sebab?, sambutan mertuaku terpatri dalam relung.

***

Minggu demi minggu berlalu aku tidak memegang uang sepeserpun. Suamiku tak memberiku uang belanja. Kebutuhan dapur ditimpakan seluruhnya padaku. Lalu apa yang bisa kulakukan?.

"Mas, sudah beberapa minggu ini kamu tak memberi uang belanja. Apa hakmu belum diberikan?".

"Sudah dinda, tapi emak memintanya setiap Sabtu tanpa sepengetahuanmu. Aku tak berani membantahnya. Ini aku ada sedikit biaya untuk keperluan dapur beberapa hari kedepan. Jangan sampai emak atau saudara-suadaraku mengetahuinya".

Benar firasatku selama ini. Mertuaku menyimpan dendam kepadaku, karena orang tua ku memperlakukan anaknya tak sepatutnya, pantas saja. Rasa tak tenang kembali hinggap. Tak ada keharmonisan di rumah ini setelah kedatanganku. Mau kemana lagi setelah ini? Untuk beli jarum sulam saja aku harus mencari sisa-sisa uang yang terlupakan di celah-celah saku hingga songkok.

Asisten rumah tangga, nah itulah kata yang tepat posisiku di rumah ini. Bangun paling pagi, makan paling akhir sisa-sisa penghuni rumah ini. Tak pernah memegang uang. Diasingkan dalam percakapan. Gerak dibatasi berbagai macam peraturan dan larangan. Omongan pedas sering terlempar tak terperi. 

Sebatang kara diriku rasa selama ini. Tak pernah ingin rasanya membalas. Karena pendidikan moral yang ku terima di surau-surau hingga pesantren tidak membolehkannya, meskipun aku tidak bersalah. Itulah peganganku selama ini dan kata yang selalu ku ucap hanyalah memohon maaf.

***

"Kalau kamu ingin leluasa sebagai seorang istri hanya ada dua pilihan angkat kaki, sudahi saja hubunganmu. Biarkan anakku disini" ucap emak mertuaku memecah keheningan rumah.

Tersayat?, tentu. Malamnya aku berunding mengajak suamiku untuk kontrakan dengan alasan agar mandiri dan pecah pikiran. Berbagai pertimbangan terutama hubungan sah dan diriku yang sedang berbadan dua. Ia mengiyakan.

Aku dan suamiku pamit mohon doa restu agar impian kami bisa terwujud, terutama kesehatan dan keselamatan menjalani hidup jauh dari orang tua. Tapi yang kami dapat hanyalah lirikan tajam, dan doa sebagaimana yang terucap oleh emakku di desa, kalian tidak mungkin bisa makan nasi dengan kecukupan.

***

 Genap dua tahun kami menetap di rumah kontrakan kecil ini ditambah kehadiran bayi yang kini berusia satu tahun tanpa pernah diakui oleh keluarga ayah ibunya membuat yang lalu biarlah sudah. Sejatinya manusia itu dinamis. Begitulah wejangan yang pernah termaktub dalam sebuah buku. Aku penuh keyakinan akan mendidik putra pertamaku ini agar dapat menunjukkan bahwa ia yang tidak diharapkan kehadirannya justru menjadi kebanggaan di keluargaku maupun suamiku. 

Dua puluh satu tahun kemudian. Putraku menjadi sosok seperti yang ku inginkan. Meskipun kisah diatas membuatnya merasa sakit hati. Namun, sebagai orang tua tetap mengarahkannya untuk selalu menaburkan benih kebaikan dalam setiap doa dan perilakunya untuk orang tua maupun mertuaku yang kini telah tiada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun