Tak ada kata selamat tinggal, selamat jalan, atau hati-hati dijalan. Ku tengok belakang kepergianku di iringi dengan nyanyian tawa, gemericik cibiran. Dan tak begitu lama tempatku berdiri merekam segala cerita dari masa ke masa di rumah ini dibersihkan dengan kain pel.Â
Sempat ingin ku urungkan niat pergi. Langkah kaki menolaknya meski berat melangkah. Yang ku ingat dari rumah ini hanya ucapan Emak "Kau tak akan bisa makan sesuap nasi pun jika kau tak patuhi pada ucapku nak!!!". Itulah yang menjadi pegangan erat untukku tetap pergi dan yakin bahwa sumpah serapah siapapun kepada hal yang benar tak pernah akan terkabul. Tuhan Yang Maha Tak Pernah Lelah lagi Maha Tak Pernah Merasakan Kantuk pasti memiliki jalan terang.
Mentari membakar kulit, menyusuri jalan bertabur bebatuan aku memanjatkan doa-doa. Berharap Tuhan sesegera mungkin meluberkan keadilan-Nya. Burung gagak dalam perutku sedang mengoyak mangsa. Namun, tak sanggup menghentikan keadaan bara dalam tekadku.Â
Jarak masih sangat jauh ke rumah mertuaku. Di tengah pencarian suci ini aku membolak-balikkan hati. Apakah benar suamiku ada dirumah orang tuanya?, lalu jika tidak ada, aku akan apa, bila diberondong sejuta tanya?, pergi kemanakah setelahnya diriku?.Â
 "Karenamu anakku dihinakan!, mau apa kamu datang kemari? Tak punya rasa malu?", sambutan panas dilayangkan kepadaku oleh emak mertua ketika masih sampai di teras rumahnya.Â
Belum sempat menyampaikan niat dan salam. Tangis tak terbendung membasahi daster kumalku ini. Tak kuasa tangan menjatuhkan barang bawaanku. Lalu aku harus pergi kemana ini?, tak terlihat batang hidung suamiku keluar. Bagaimana emak mertuaku mengetahui masalah ini?. Aku sudah mulai melangkah pergi mencari suamiku entah kemana.
"Sudahlah Mak, dibicarakan dengan kepala dingin" keluarlah suami yang kini ku cari-cari dengan wajah padam tertunduk.
Bahagia tak terucap dalam hati aku panjatkan syukur. Akhirnya aku masuk kedalam rumah mertuaku bertemu dengan suamiku kembali. Berarti aku masih ditakdirkan leh-Nya untuk berjodoh dengannya. Tetapi, rasa was-was, risau tetap menghantui. Apa sebab?, sambutan mertuaku terpatri dalam relung.
***
Minggu demi minggu berlalu aku tidak memegang uang sepeserpun. Suamiku tak memberiku uang belanja. Kebutuhan dapur ditimpakan seluruhnya padaku. Lalu apa yang bisa kulakukan?.
"Mas, sudah beberapa minggu ini kamu tak memberi uang belanja. Apa hakmu belum diberikan?".