Zaken kabinet, atau kabinet ahli, sering digadang sebagai solusi ideal untuk pemerintahan yang efisien dan berbasis kompetensi. Di tengah iklim politik Indonesia yang dipenuhi bagi-bagi kursi oleh partai politik, konsep ini tentu menantang. Prabowo Subianto, sebagai presiden terpilih, mengusulkan zaken kabinet sebagai strategi untuk membangun kabinet yang lebih profesional dan teknokratis. Namun, ada beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan ketika menilai sejauh mana konsep ini akan terealisasi.
1. Zaken Kabinet di Indonesia: Mungkinkah?
Sistem politik Indonesia sangat bergantung pada koalisi dan kompromi antar partai. Dalam keadaan di mana partai-partai politik memiliki peran dominan dalam pembentukan pemerintahan, zaken kabinet akan menghadapi resistensi besar.Â
Meski konsep ini menjanjikan pemerintahan yang lebih efisien, tetapi partai-partai politik tidak akan rela melepaskan cengkeraman mereka begitu saja. Setiap partai yang telah berkontribusi dalam pemenangan Prabowo tentu menginginkan imbalan berupa jabatan menteri untuk kader-kadernya.
Data menunjukkan bahwa sejak era Reformasi, semua kabinet di Indonesia dibentuk melalui koalisi politik, di mana pembagian kursi kabinet menjadi alat negosiasi. Sebagai contoh, pada pemerintahan Jokowi, sekitar 60% pos menteri diisi oleh tokoh-tokoh partai, meskipun presiden memiliki kecenderungan untuk memilih teknokrat di posisi tertentu. Berdasarkan tren ini, keberhasilan zaken kabinet di Indonesia tampak sulit terwujud tanpa kompromi dengan partai politik.
2. Resistensi Terhadap Dominasi Partai Politik
Dalam sejarah pemerintahan Indonesia, peran partai politik sangat kuat. Sistem presidensial di Indonesia berbeda dengan negara-negara lain yang memiliki parlementer murni, di mana zaken kabinet lebih mudah diterapkan. Apabila Prabowo ingin menerapkan kabinet teknokrat, ia harus menghadapi tantangan besar dari partai-partai koalisi yang bisa mengganggu stabilitas politik. Apalagi, tanpa dukungan yang kuat dari parlemen, pemerintahannya akan berisiko menghadapi krisis politik yang berlarut-larut.
3. Teknokrat vs. Kekuatan Politik
Meski zaken kabinet menjanjikan reformasi dalam cara kerja pemerintahan, sejarah politik Indonesia mengajarkan kita bahwa teknokrat tidak selalu bertahan lama dalam lingkungan politik yang dinamis. Banyak tokoh teknokrat di masa lalu yang tersingkir karena tidak memiliki dukungan politik yang cukup. Sebagai contoh, beberapa menteri dalam kabinet Jokowi seperti Sri Mulyani yang memiliki latar belakang teknokrat pun kerap menghadapi tekanan dari partai-partai politik dan berbagai kelompok kepentingan.
4. Apakah Zaken Kabinet Bisa Menjadi Model Pemerintahan Masa Depan?
Konsep zaken kabinet sangat ideal di atas kertas, tetapi implementasinya di Indonesia memerlukan perubahan besar dalam kultur politik. Partai-partai politik, sebagai pilar demokrasi di Indonesia, akan selalu memiliki peran signifikan dalam proses pembentukan kabinet. Jika Prabowo benar-benar ingin mewujudkan zaken kabinet, ia perlu mengembangkan strategi yang seimbang antara melibatkan teknokrat tanpa mengabaikan dukungan politik dari partai-partai besar.
Dalam jangka panjang, zaken kabinet bisa menjadi model yang relevan, tetapi untuk saat ini, sulit dibayangkan bahwa Indonesia dapat sepenuhnya beralih ke model kabinet teknokrat tanpa resistensi besar dari partai politik. Kabinet Prabowo, jika benar-benar menganut prinsip zaken kabinet, harus dapat menavigasi tekanan dari berbagai pihak, baik dari dalam koalisi maupun oposisi.
Meskipun konsep zaken kabinet terdengar ideal, tantangan politik di Indonesia membuatnya sulit untuk diwujudkan sepenuhnya. Posisi partai politik yang kuat, sistem koalisi yang sudah mengakar, serta ketergantungan pada kompromi politik menjadi batu sandungan utama. Prabowo, jika ingin sukses dengan konsep ini, harus mampu menjembatani kepentingan teknokrat dan partai politik sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan. Sebuah kabinet yang diisi oleh ahli memang diharapkan, tetapi apakah Indonesia siap untuk mengesampingkan politik transaksional masih menjadi pertanyaan besar.
Konsep zaken kabinet mungkin merupakan langkah maju dalam demokrasi Indonesia, tetapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa ide ini dapat menjadi kenyataan tanpa mengorbankan stabilitas politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H