Sebaliknya, perbedaan fisik antara pria dan wanita menjadi penting secara filosofis karena jenis kelamin seseorang menjadi bagian penting dari identitasnya.
Pandangan manusia menurut Aristoteles bersifat hylemorfistik, yang mengacu pada ajaran Hylemorfisme (hyle = materi; morphe = bentuk).Â
Menurut Aristoteles, manusia adalah kesatuan jiwa dan tubuh. Persatuan jiwa dan tubuh itu bersifat mutlak, artinya keduanya tidak dapat ada tanpa yang lain.Â
Jiwa tidak ada sebelumnya seperti yang diajarkan oleh Plato. Oleh karena itu, saat kematian ketika tubuh hancur, jiwa juga lenyap menurut Aristoteles. Jiwa tidak kekal, melainkan muncul dari potensi materi.
 Jadi, jika materi yang menjadi tempat bagi jiwa hancur, jiwa juga lenyap dan hilang.
Secara biologis, manusia adalah hewan dengan spesies homo sapiens yang memiliki perkembangan otak depan (neo-cerebrum) yang lebih maju dibandingkan hewan lain.Â
Oleh karena itu, manusia kurang dikendalikan oleh insting dibandingkan dengan hewan lain yang dikendalikan oleh otak bagian bawah (paleo-cerebrum) yang lebih terkait dengan insting.
manusia adalah animal rasional, bukan bintang itu genus kita, tetapi spesies kita adalah berpikir.
Pertama, konsep "hewan berakal budi" atau "jiwa-tubuh" Aristoteles menekankan bahwa manusia adalah kemanunggalan antara jiwa dan tubuh.
 Ini berarti bahwa manusia tidak dapat dipisahkan menjadi dua entitas terpisah yang berdiri sendiri.
 Hal ini memiliki implikasi dalam pemahaman tentang identitas manusia dan mempengaruhi cara pandang terhadap kehidupan manusia.
Dalam pandangan ini, tubuh menjadi wadah yang membawa dan mengekspresikan jiwa.Â