Sementara itu di sebuah kantor jasa pengiriman barang, Sujatmiko melamun. Laporan pengiriman barang terbengkalai tak terurus. Ada sesuatu yang memengaruhi pikirannya.
"Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, orang yang berulang kali ditinggal mati pasangannya secara tiba-tiba dan tidak sempat menurunkan anak sering disebut bahu laweyan. Apabila bahu laweyan ini menikah yang ketiga kalinya, dan kembali pasangannya menghadapi kematian, pasti ada yang tidak beres dengannya. Biasanya setelah perkawinan yang ketiga, betapapun cantik atau gantengnya seorang bahu laweyan, dia akan kesulitan mencari pasangan. Memangnya siapa yang berani menanggung risiko kematian?" ujar Pak Supri seminggu yang lalu.
Masukan dari atasannya itu tidak membuat Sujatmiko mundur. Meski ia paham akan resiko yang akan dihadapi, tetap saja peesona seorang Saliyem membuatnya takluk. Paras manis dan lembut tutur bahasanya mengalahkan segalanya. Cukup dua bulan perkenalannya dengan priyayi Jawa itu, Sujatmiko mantap untuk menikahinya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan Saliyem. Seorang wanita bahu laweyan.
"Maukah Dik Saliyem menikah denganku?"
"Tapi aku janda mas, dua kali aku menjanda. Lebih baik mas mencari wanita lain."
"Mas tahu. Mas sudah siap akan hal itu."
Saliyem akhirnya melangsungkan pernikahannya yang ketiga. Meski tak muda lagi, pesona kecantikan seorang priyayi Jawa memancar sempurna di wajahnya. 12 April 1970 dipilihnya sebagai hari pernikahannya. Tepat dua hari sebelum ia merayakan ulang tahunnya yang ke 40.
Di bawah sinar bulan purnama air laut berkilauan
Berayun-ayun ombak mengalir ke pantai senda gurauan
Alunan lagu keroncong Jawa menemani istirahat malam mereka. Sujatmiko sangat bahagia. Wanita pujaan hatinya kini ada disampingnya. Sebagai orang Jawa yang taat beragama, ia selalu berdoa setiap akan melakukan sesuatu. Termasuk malam itu, sebelum menyentuh Saliyem, Sujatmiko mengambil air wudhu. Membaca doa dan memohon keberkahan kepada Yang Maha Kuasa.
"Saliyem, aku mencintaimu." bisik Sujatmiko pelan.
"Aku juga mas."
Malam itu mereka tenggelam dalam lautan asmara. Desah napas mereka saling memburu. Darah mereka bergejolak bak ombak yang menghempas karang. Namun sesuatu terjadi, tiba-tiba tubuh Saliyem tidak bergerak. Ia ambruk diatas ranjang. Matanya melotot. Matanya berubah semerah darah. Sujatmiko berusaha menyadarkan istrinya. Ia lalu beranjak dari ranjang untuk mengambil segelas air putih di meja. Saat ia berbalik arah, gelas di tangannya terjatuh. ia melihat asap tipis keluar diantara kedua paha Saliyem. Naik ke udara secara perlahan hingga membentuk sebuah wujud ular hitam yang besar. Ular itu mendesis keras menjulur-julurkan lidahnya. Sorot matanya menatap tajam ke arah Sujatmiko. Sorot mata kebencian. Ular itu berusaha menyerang suami Saliyem. Ekornya melilit tubuhnya. Membantingnya berkali-kali diatas lantai. Membuat suami Saliyem itu kewalahan. Dalam keadaan terjepit itulah, pertolongan Tuhan datang kepadanya. Sujatmiko tersadar. Ia membaca ayat-ayat suci sambil terus memohon pertolongan Tuhan. Secara ajaib, lilitan ular hitam mulai mengendur lalu berubah menjadi asap putih yang perlahan-lahan menghilang di udara. Sujatmiko berlari keluar.
Hari-hari Sujatmiko dan Saliyem berubah dingin. Ada jarak diantara mereka. Tidak ada percakapan hangat seperti dulu. Sujatmiko dan Saliyem hanya berbicara satu sama lain jika diperlukan. Selebihnya mereka diam membisu.
"Maafkan aku Saliyem, aku sangat mencintaimu. Tapi aku tidak bisa meneruskan pernikahan ini." ucap Sujatmiko. Saliyem diam. Matanya berkaca-kaca. Hatinya sakit.
"Aku paham mas, aku sudah menduganya dari awal. Tapi aku tidak menyesal. Setidaknya aku sudah membuka hatiku untukmu. Mas juga sudah menunjukkan rasa cinta yang sangat tulus kepadaku. Aku ikhlas jika berpisah adalah keputusan terakhir kita."
"Saliyem, akuuu...."
"Cukup mas, tidak perlu kau jelaskan lebih panjang. Aku mengerti."
Bangsal Kencono menjadi saksi bisu kisah cinta Saliyem dan para suaminya. Rumah bergaya seni Jawa klasik itu menjadi tempat persinggahan sementara suami-suami Saliyem. Pemberhentian sementara untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Perjalanan panjang menuju kematian. Namun tidak bagi Sujatmiko, ia ditakdirkan untuk sekedar singgah di Bangsal Kencono. Belum waktunya Sujatmiko mati.
Kesedihan tidak singgah lama di hati Saliyem, setahun setelah perceraiannya dengan Sujatmiko, ia menikah kembali. Seorang lelaki asal Sumatra meminangnya. Saliyem hidup bahagia bersama lelaki itu. Namun sayang, sebulan setelah pernikahan mereka, suami Saliyem meninggal dalam sebuah kecelakaan yang tragis.
Dua tahun kemudian ibu Saliyem meninggal. Kondisi tubuhnya yang makin tua dan lemah menjadi penyebab kematiannya. Bangsal Kencono kini hanya dihuni oleh Saliyem dan para pembantunya yang setia. Setia menemani priyayi Jawa yang anggun dan halus budi pekertinya itu.
Aku ikut berduka atas kematian ibumu. Maafkan aku tidak bisa menjengukmu di Jogja. Karena aku memutuskan untuk memulai hidupku yang baru di Surabaya. Bersama istri dan anakku. Semoga kau selalu sehat disana.
Sujatmiko
***