Aku tahu ada setan yang bersemayam dalam diriku
-Saliyem-
***
Masa nyadran, beberapa hari menjelang puasa, bagi masyarakat Jawa merupakan kesempatan baik untuk nyekar. Seperti tahun ini di pemakaman umum Desa Madurejo dipenuhi oleh orang-orang yang sedang nyekar di makam keluarga mereka. Mereka membawa aneka macam bunga tabur. Mengepulkan aroma harum ke udara. Aroma harum yang bercampur wangi minyak misik.
"Jo, sepertinya ada yang aneh dengan wanita itu."
"Siapa"
"Wanita berkebaya coklat yang duduk itu."
"Oh, wanita tua itu maksudmu?"
"Iya, sudah dua jam ia berada di pemakaman ini."
"Tapi sepertinya akan lebih, karena selain makam kedua orangtuanya, ia juga akan mendoakan para suaminya. Setiap nyadran ia selalu kemari."
"Suami-suami? Maksudmu?" tanya Warno penasaran.
"Nisan putih itu makam suami pertamanya, lalu yang kedua bernisan kayu, sedang yang keempat bernisan marmer."
"Suami yang ketiga?"
"Makamnya tidak ada disini."
"Dimana?"
"Aku tidak tahu perihal suami ketiga Mbah Saliyem." jawab Paijo singkat.
Madurejo, 1951
Sebagai anak tunggal keturunan priyayi Jawa, Saliyem sangat bahagia. Pesta perkawinannya berlangsung meriah. Dua hari dua malam digelar acara pementasan wayang dan ludruk untuk memanjakan tamu yang hadir. Alunan gamelan jawa bersaut-sautan tiada henti sepanjang hari. Para kerabat dan kolega bisnis ayah Saliyem berdatangan. Aneka kado pernikahan berharga mahal terlihat bertumpuk di salah satu sudut kamar Saliyem.
Meskipun saat itu masih dalam suasana peperangan, pesta pernikahan keluarga priyayi Jogja itu berlangsung aman. Pengaruh ayah Saliyem mampu membuat pihak kolonial tunduk pada perintahnya. Tepat di hari ketiga, pesta pernikahan itu akhirnya selesai. Saliyem dan suaminya telah sah menjadi sepasang suami istri. Mereka sangat bahagia.
Bangsal Kencono tidak sepi lagi. Sebuah hunian bernuansa Jawa yang khusus dibangun oleh ayah Saliyem sebagai hadiah pernikahan itu telah ditempati oleh Saliyem dan Prayogo. Tapi sayang, pada malam keempat sejak kepindahan mereka ke Bangsal Kencono, suami Saliyem ditemukan tewas mengenaskan keesokan paginya di atas ranjang pengantin yang masih hangat. Aroma bunga melati dan kenanga mengharumkan tubuh Prayogo yang telah kaku membiru. Saliyem menangis histeris. Ia tidak menyangka suaminya pergi secepat itu saat usianya masih 21 tahun. Tanpa sebuah pertanda dan firasat apapun.
***
Sejak kematian Prayogo, Saliyem lebih sering membantu usaha ayahnya. Keinginan untuk membina rumah tangga ia singkirkan. Ia masih trauma dengan kematian Prayogo yang tidak wajar itu.
Saliyem berpikir keras untuk memajukan usaha batik milik ayahnya. Suasana perang yang makin tidak menentu membuat bisnis keluarga itu mengalami pasang surut. Pengaruh ayah Saliyem kini mulai melemah. Pihak kolonial mulai sulit untuk diajak bekerjasama lagi. Pajak setoran ayah Saliyem dianggap terlalu sedikit.