Hati Sri Kedaton makin teriris. Ingin rasanya ia berteriak. Namun ia tak kuasa melawan kehendak ayahnya. Teriakan itu terpaksa ia tahan didalam dada.
"Oh Dewa, aku harus bagaimana? Berilah aku kekuatan untuk menghadapi semua ini." gumam Sri dalam hati. Pikirannya kini tak karuan. Terbayang sudah masa depannya yang gelap. Kehidupan yang sengsara telah menantinya. Menjadi selir kerajaan bukan pilihannya.
"Baiklah aku pamit dulu, aku sudah tak sabar menunggu hari pernikahanku dengan Sri Kedaton." ucap Pangeran Hamangkubhumi kepada Gusti Arya setelah mereka menyepakati tanggal pernikahan mereka. Pangeran itu lalu beranjak dari tempatnya dan berdiri. Semua yang hadir didalam pendopo ikut berdiri.
"Tentu Pangeran, hari itu pasti akan tiba. Pegang janjiku ini." balas Gusti Arya yang disambut senyuman Nimas Astuti.
Kemudian Pangeran itu berjalan mendekati Sri Kedaton.
"Aku pamit dulu Sri..." ucap Pangeran Hamangkubhumi sambil meraih tangannya. Lalu ia mencium punggung tangan Sri Kedaton dengan lembut. Sri membuang muka. Ia tak sudi menatap wajah pangeran itu.
Pangeran beserta pelayan -- pelayannya mulai pergi meninggalkan pendopo. Diikuti oleh kedua orang tua Sri. Mereka berdua mengantar kepergian pangeran itu hingga gerbang rumah. Iring -- iringan kereta kuda terdengar mulai menjauh. Gusti Arya dan Nimas Astuti kembali masuk kedalam pendopo. Begitu terkejutnya mereka saat menginjakkan kaki kedalam pendopo. Mereka menemukan Sri Kedaton tewas dengan luka tusuk di jantungnya.
"Sri anakkuuu....." teriak Nimas Astuti histeris sambil berlari mendekati jasad anaknya yang sudah tidak bernyawa.
Senja menjelang malam itu, Sri Kedaton roboh diatas meja. Tubuhnya bersimbah darah segar. Pandangannya kosong. Sekosong hatinya. Sebuah tusuk konde tertancap tepat di jantungnya.
"Ibu... Kulo nyuwun pangapunten." ucap Sri lirih sesaat sebelum ajal menjemputnya.
***