Keesokan paginya Teana dan Almeera mempersiapkan keberangkatannya menuju Kuil Qasr Al Binth. Dengan sangat berhati -- hati, Teana menyimpan patung Dewa Dhushara didalam bungkusan kain yang ia gantungkan di punggung untanya. Mereka berdua menyusuri jalur unta yang jarang dilalui oleh para pedagang. Jalur itu adalah jalur tercepat yang bisa mengantar mereka menuju Kota Hegra. Setelah melewati lembah di pinggiran Kota Ma'an dan hutan sepi di Kota Tabuk, mereka akhirnya sampai di Kota Hegra dengan cepat.
Mereka bergegas menuju Kuil Qasr Al Binth dan menemui pendeta untuk menyerahkan patung Dewa Dhushara kepada mereka.
"Aku kembalikan patung milik kalian. Jagalah baik -- baik." ucap Teana kepada pendeta penjaga kuil.
"Tapi Nyonya, jika patung itu berada disini, maka keselamatan para pendeta akan terancam. Sebab mereka pasti akan datang kemari dan mengambil patung ini kembali. Kami para pendeta tidak sanggup menandingi kekuatan mereka." jawab pendeta penjaga. Teana diam sejenak. Ia memutar otaknya untuk mencari jalan keluar atas masalah ini.
"Apa kalian punya tempat rahasia?" tanya Teana kemudian.
Pendeta penjaga itu diam. Matanya menatap tajam mata Teana. Sebuah tatapan keraguan muncul di mata pendeta itu.
"Kau bisa mempercayaiku..."ucap Teana tegas dan meyakinkan.
"Benarkah?"
"Aku bersumpah demi nyawaku yang ada di tangan Dewa Dhushara." ucap Teana.
Setelah cukup lama berpikir, pendeta penjaga itupun mengangguk. Ia kemudian mengajak Teana menuju sebuah tempat rahasia. Sebuah ruang tersembunyi dibawah kuil Qasr Al Binth. Ruang yang biasa digunakan oleh para pendeta untuk mengadakan pertemuan rahasia.
Jalan menuju ruangan itu cukup sempit dan pengap. Hanya bisa dilalui oleh satu orang saja. Sehingga mereka berjalan saling membelakangi. Pendeta penjaga itu berjalan menuruni tangga dengan sebuah obor kecil ditangannya. Setelah sampai disana, ia membuka kunci pintu ruangan dan mempersilakan Teana dan Almeera untuk masuk kedalam.
Ruang rahasia itu cukup lebar dan pengap. Sebab jarang dikunjungi oleh manusia. Ruangan yang menyerupai gua itu digunakan oleh pendeta Kuil Qasr Al Binth sebagai ruang pertemuan rahasia. Dan terkadang dipakai untuk bermeditasi ketika menjalankan ritual tertentu.
Pendeta penjaga itu mulai menyalakan obor -- obor yang menempel di dinding, sehingga ruangan itu menjadi terang.
"Ini, aku serahkan patung ini kepadamu. Terimalah pendeta."
"Baik, akan aku pastikan patung ini aman. Nyonya tenanglah."
Pendeta penjaga itu menerima patung Dewa Dhushara yang diserahkan oleh Teana kepadanya. Teana merasa tenang sekarang. Saat itu juga Teana kembali menuju Kota Petra tanpa menemui ayah dan ibunya.
"Maaf Ayah, Ibu... Masih banyak masalah yang harus aku tuntaskan." gumam Teana sambil memandangi Kota Hegra dari jauh.
***
Sementara itu di Kota Paphos, Yodh dan anak buahnya menyusun sebuah rencana pembalasan kepada Teana. Mereka memutuskan untuk merebut kembali patung Dewa Dhushara. Beberapa panglima berkumpul dibawah kubah kerajaan bersama Yodh dan Taw.
"Jadi apa usul kalian" tanya Yodh.
"Kita rebut patung itu kembali."
"Bagaimana caranya?"
"Dengan kekuatan sihir kita."
Yodh tersenyum. Matanya menyala kehijauan. Sebuah pertanda kemenangan.
"Baiklah, aku serahkan tugas ini kepadamu."
"Baik Yang Mulia, akan hamba laksanakan."
***
Di suatu sore....
"Aku yakin kali ini perburuan kita akan mendapatkan hasil. Banyak sekali rusa disekitar hutan ini."
"Kau benar. Malam ini kita akan pesta."
"Ayo, lekas kita masuk kedalam hutan sebelum hari mulai gelap."
Kedua pemburu itu berjalan menuju sebuah hutan di perbukitan tak jauh dari Kota Paphos. Berbekal busur dan beberapa anak panah, mereka mulai menyusuri hutan yang lebat. Hutan yang jarang sekali didatangi oleh manusia. Suara burung dan serangga terdengar cukup berisik. Namun kedua pemburu itu selalu waspada mengamati keadaan di sekitar mereka. Berharap ada sebuah gerakan -- gerakan dibalik semak -- semak rimbun. Gerakan seekor rusa jantan yang mereka incar.
"Mana rusa itu? Dari tadi kita hanya berputar -- putar di hutan ini tanpa menemui seekor rusa satupun."
"Tenanglah kawan, kita tidak boleh menyerah. Kita pasti akan mendapatkannya. Beberapa hari yang lalu aku berhasil menangkap seekor rusa jantan disini. Jadi kali ini kita pasti akan mendapatkannya juga."
Hari mulai gelap. Matahari tersisa separuh di ufuk Barat. Langkah kaki pemburu itu berhenti ketika sampai di depan sebuah gua kecil diatas bukit. Di dekat gua itu mengalir sebuah mata air yang jernih, dikelilingi oleh tumbuhan perdu yang menghijau. Suara gemericik air membuat suasana menjadi tenang dan damai.
"Tempat apa ini? Indah sekali."
"Apa kau pernah kemari sebelumnya?"
"Tidak, baru kali ini aku kemari bersamamu."
"Oh, aku kira kau pernah kemari."
"Sudahlah lupakan. Ayo kita beristirahat didalam gua itu. Aku sangat lapar dan lelah."
Kedua pemburu itu melangkah menuju gua yang ada didepan mereka. Sesampai didepan mulut gua, mereka beristirahat. Angin yang berhembus pelan membuat mereka mengantuk. Pelan -- pelan mata mereka mulai menutup. Waktu terus berjalan.
Matahari telah lenyap. Langit terlihat gelap. Asap putih tipis menyeruak keluar dari dalam gua. Menguarkan aroma amis menusuk hidung. Pelan -- pelan kedua pemburu itu membuka mata mereka. Dalam keadaan setengah sadar, mereka melihat sekelompok ular berbagai ukuran keluar dari dalam gua. Ular -- ular itu makin banyak. Mendesis melewati mulut gua. Melewati kaki -- kaki pemburu itu.
Karena tidak tahan dengan bau amis yang semakin menyengat, kedua pemburu itu membuka mata mereka. Seketika itu juga mereka berteriak -- teriak ketakutan melihat ular -- ular itu telah merayap masuk kedalam jubah mereka. Menggeliat -- geliat diantara kedua paha dan naik menuju leher mereka.
"Ulaaar.... Ulaaaaarrr..." teriak mereka hampir bersamaan sambil mengibas -- ibaskan jubah. Lalu mereka berlari meninggalkan gua dan menghilang di kegelapan hutan.
***
Puluhan ular -- ular itu mendesis menyusuri semak -- semak di hutan. Mengikuti arah kemana pimpinan mereka pergi. Seekor ular besar berwarna kehijauan berada paling depan memimpin anak buahnya. Membentuk semacam aliran arus ular. Menimbulkan suara gesekan ranting dan dedaunan kering di hutan. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah tempat bertemunya dua aliran sungai yang cukup deras. Ular -- ular itu berhenti dan diam di pinggir sungai.
Tak lama setelah itu muncullah segumpal asap hitam tepat ditengah -- tengah pertemuan dua arus sungai. Semula asap hitam itu hanya sebesar lubang persembunyian tikus, namun lama -- lama makin besar dan membentuk sebuah lubang hitam dengan kilatan cahaya kebiruan didalamnya.
Satu persatu ular -- ular itu masuk kedalam sungai dan berenang menuju lubang hitam yang menganga lebar didepan mereka. Dengan dibantu arus sungai, gerakan mereka menjadi sangat cepat. Hingga akhirnya tidak ada satupun ular di pinggir sungai. Semua ular itu telah memasuki pintu dimensi Bangsa Bawah. Pintu yang akan menghubungkan mereka dengan Kota Petra. Perlahan -- lahan lubang hitam itu menutup dan menghilang. Suasana di hutan itu kembali hening seperti semula.
***
Keesokan paginya, penduduk Kota Petra dikejutkan oleh munculnya puluhan ular di jalanan dan rumah -- rumah mereka. Ular -- ular itu memenuhi setiap sudut kota. Para penduduk berusaha untuk mengusir ular - ular itu dengan alat seadanya. Bahkan ada yang berusaha membunuhnya. Namun usaha itu sia -- sia sebab ular -- ular itu sangat gesit dan mampu menghindari serangan dari para penduduk. Bahkan beberapa penduduk tergigit oleh ular -- ular itu. Tubuh mereka mengejang kemudian membiru. Kota Petra menjadi kacau balau.
Dalam sekejap pusat kota seperti sungai yang mengular berwarna hitam . Ular -- ular itu bergerak menuju Kompleks Al Djinn. Melewati tebing -- tebing sempit dan lorong -- lorong di Kota Petra. Semua penduduk yang ada di jalanan saling berhamburan dan menyelamatkan diri. Mereka seakan mengerti bahwa kehadiran ular -- ular hitam itu merupakan sebuah pertanda buruk. Demikian halnya para prajurit kerajaan yang sedang berjaga, mereka tidak berani mengusir ular yang jumlahnya makin banyak. Mereka hanya bisa membantu para penduduk untuk menyelamatkan diri dari gigitan ular berbisa itu.
Kehadiran Yodh dan anak buahnya dalam wujud ular tercium oleh Simkath. Peramal itu merasakan sebuah gelombang sihir yang besar memasuki kota. Ia kemudian keluar dari rumahnya. Ia memandangi langit yang mendung. Berwarna hitam keabu -- abuan.
"Ia telah tiba..." gumam Simkath.
Lalu Simkath melangkah menuju jalanan. Ia menangkap seekor ular hitam berukuran kecil yang melintas didepannya. Dengan tongkat yang dimilikinya, ia memukul ular itu tepat di kepalanya. Sehingga membuatnya tidak berdaya. Sihir Simkath telah membuat ular itu lemah. Simkath lalu memungutnya dan membiarkannya menggeliat -- geliat ditangan Simkath. Setelah ular itu tenang, ia menatap kedalam mata ular itu. ular itu mendesis menjulurkan lidahnya. Simkath berusaha membaca pikiran ular itu lewat tatapan matanya. Dengan keuatan sihirnya, Simkath berhasil mengetahui tujuan kemana ular itu pergi.
"Ternyata itu yang kau cari...." ucap Simkath lirih sambil tersenyum puas. Ia lalu melempar ular itu ke jalanan. Membiarkannya bergabung dengan ular -- ular yang lain.
***
Ular -- ular itu berkumpul di Kompleks Al Djinn. Di sebuah dataran yang panas dan luas. Dataran bernama Zamani itu kini berubah menjadi lautan ular. Seekor ular besar berwarna kehijauan nampak ditengah -- tengah mereka. Ukuran ular itu tiga kali lipat besarnya dibanding ular -- ular yang lain. Ular itu mengangkat separuh badannya dan mendesis -- desis menjulurkan lidahnya. Merasakan getaran energi yang ada disana. Matanya yang bulat kehijauan menatap sekeliling Kompleks Al Djinn. Namun apa yang ia cari ternyata tidak ada. Dan ketika ular -- ular itu hendak meninggalkan kompleks Al Djinn, muncullah Peramal Simkath.
"Aku tahu apa yang kalian cari." teriak Simkath dari atas sebuah bukit batu cadas tak jauh dari ular -- ular itu berada.Mendengar teriakan itu, ular besar kehijauan menoleh kearah Simkath. Ia menatap tajam peramal itu tanpa mengucap kata sedikitpun. Aliran darah ular itu mengalir deras memenuhi nadi -- nadinya. Matanya melebar menampakkan bulatan kehijauan yang sangat terang.
"Aku tahu kau bukan peramal biasa."
"Maksud Tuan apa? Aku hanyalah peramal yang mampu membaca tanda -- tanda dan nasib pada diri seseorang. Itu saja. Lainnya tidak."
"Sudahlah, tidak usah kau berpura -- pura dan mencoba membohongiku." ucap lelaki tua itu dengan menatap tajam mata Simkath.
"Baiklah, apa mau Tuan? Katakan..."
Aliran darah di tubuh ular itu telah membuka ingatannya kembali beberapa tahun silam. Ia mengenal sosok yang sedang berdiri diatas bukit. Memandangnya dengan tatapan tajam. Sebuah komunikasi terjadi diantara mereka berdua.
"Aku tunggu kedatanganmu malam ini disini." ucap Simkath dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.
Ular besar kehijauan itu mendesis -- desis menjulurkan lidahnya, ia menurunkan badannya. Ular -- ular kecil disekitarnya membelah memberikan jalan untuk pemimpin mereka. Perlahan -- lahan ular itu lenyap dibalik bukit -- bukit cadas di Kota Petra. Simkath pun sudah tidak berada ditempatnya. Mendung hitam keabu -- abuan telah sirna. Langit Kota Petra kembali terang. Suasana Kota Petra telah kembali seperti semula.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H