Hari mulai beranjak sore, Teana dan Almeera bersiap untuk kembali ke Penginapan Al Anbath. Namun ketika hendak meninggalkan Kuil Ad Deir, mereka berpapasan dengan seorang pendeta ketika melewati pelataran kuil. Teana sering melihat pendeta itu memimpin ritual di kuil ini. Sehingga ia bermaksud untuk berbicara kepadanya.
"Almeera, tunggulah disini."
"Baik Tuan."
Teana berjalan memasuki kuil. Ia mengikuti langkah pendeta itu. Hingga akhirnya ia bisa bertatap muka dengannya.
"Maaf Tuan, bisakah kita bicara sebentar?" ucap Teana yang berdiri disamping pendeta itu.
"Iya Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" jawabnya dengan suara parau.
Kesempatan itu tidak disia -- siakan Teana. Ia menceritakan semua hal yang dialaminya selama ini. Kerusuhan yang melanda Kota Petra, hingga makhluk aneh yang muncul di Kota Hegra yang mengakibatkan kematian seorang Pendeta Al Khuraimat. Kejadian demi kejadian itu sangat aneh sebab belum pernah terjadi sebelumnya.
Saat Teana masih kecil sekalipun. Teana ingat ketika dulu ia ikut ayahnya Rashad berdagang ke Kota Petra. Keadaannya sangat aman dan sejahtera. Para penduduknya hidup serba berkecukupan. Namun setelah ia dewasa, kondisinya sangat jauh berbeda. Teana berpikir bahwa sesuatu telah terjadi di Kota Petra. Namun ia belum mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Suasana menjadi hening.
"Apa Tuan tahu sebabnya?" tanya Teana kemudian.
"Aa... Aku tidak tahu." jawab Pendeta itu terbata -- bata.
Wajah Pendeta Kuil Ad Deir itu seketika berubah pucat. Butiran keringat muncul di dahinya. Mulutnya seperti terkunci rapat. Teana kemudian pergi meninggalkan pendeta itu setelah ia berpamitan kepadanya.
Suasana Kuil Ad Deir mulai nampak lengang. Para penduduk yang selesai berdo'a mulai meninggalkan kuil satu persatu. Demikian halnya dengan Teana dan Almeera.
"Nyonya tunggu..." teriak seorang penjaga kuil.
"Iya Tuan, ada apa?"
"Pendeta Samad ingin berbicara empat mata dengan Nyonya. Silakan Nyonya masuk kembali." ucap seorang pendeta penjaga kuil. Lalu Teana memegang bahu Almeera.
"Almeera... Kau tunggulah disini."
"Baik Tuan."
Rupanya ucapan Teana telah mempengaruhi pikiran pendeta itu. Sesuatu yang membuat sang pendeta menjadi gusar. Berbagai macam pertanyaan memenuhi pikirannya.
"Silakan duduk Nyonya. Ada yang ingin aku tanyakan kepadamu." ucap pendeta itu sambil meletakkan tongkatnya diatas meja.
"Terimakasih Tuan." balas Teana.
Teana mengambil tempat duduk didepan Pendeta Samad.
Pendeta itu menjamu Teana dengan makanan dan minuman yang cukup lezat. Semua terhidang sempurna diatas meja yang ada di hadapan mereka. Lalu Pendeta Samad memberi isyarat kepada anak buahnya untuk keluar ruangan.
"Baiklah, sekarang katakan kepadaku bagaimana kau bisa mengetahui bahwa patung Dewa Dhushara itu palsu?" ucapnya pelan.
"Dari seorang Peramal."
"Peramal? Apakah kau bercanda? Bagaimana kau bisa mempercayai ucapan seorang peramal yang belum tentu kebenarannya?" jawab Pendeta Samad dengan sinis. Seakan ucapan yang baru saja didengarnya adalah sebuah lelucon.
"Karena hari ini aku telah membuktikannya sendiri."
"Membuktikan apa? Katakan padaku apa yang kau ketahui. Tunjukkan bukti yang kau punya." ucap Pendeta Samad pelan sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Teana.
Gertakan seperti itu tidak membuat nyali Teana menjadi kecil. Dengan sikapnya yang tegas, Teana akhirnya mengatakan semua ramalan Peramal Simkath. Ia menghubungkan ramalan-ramalan itu dengan kejadian demi kejadian yang dialaminya akhir-akhir ini.
Kepalsuan patung Dewa Dhushara yang baru saja dilihatnya sendiri. Serta semua musibah yang menimpa Kota Hegra dan Kota Petra selama ini. Semua kejadian yang saling berhubungan itu ia beberkan didepan Pendeta Samad.
Pendeta Samad hanya bisa mendengarkan penjelasan Teana tanpa bisa mengelaknya. Ia tidak memiliki alasan yang kuat untuk menyangkal semua cerita Teana. Bahkan untuk menjawab tuduhan Teana, ia tidak sanggup.
Kebenaran kini telah terungkap didepan matanya. Hingga akhirnya mulutnya mulai terbuka. Kebusukan yang berpuluh -- puluh tahun ia rahasiakan dari para penduduk Kota Petra, kini telah keluar dari mulutnya sendiri.
"Semua ucapanmu adalah benar." ucap Pendeta Samad kemudian. Patung Dewa Dhushara yang kau lihat disini adalah palsu. Sebenarnya aku ingin mengatakannya kepada para penduduk, namun aku tidak punya keberanian untuk itu. Aku tidak ingin para penduduk menjadi lemah. Sebab kau tahu sendiri bahwa kekuatan Dewa Dhusharalah yang membuat mereka yakin bahwa mereka terlindungi.
Kekuatan Dewa Dhusharalah yang membuat mereka mampu bertahan menjalani musibah demi musibah yang menimpa kota ini." ucap Pendeta Samad dengan mulut bergetar. Didalam dadanya dipenuhi rasa bersalah dan dosa.
"Jadi, hanya demi menjaga harga dirimu kau telah menipu para penduduk? Kau tahu apa akibatnya?" tanya Teana. Kekecewaan bercampur amarah tergambar jelas di wajahnya.
"Maafkan aku Nyonya." Jawabnya pelan sambil tertunduk.
"Apa yang akan kau lakukan untuk menebus kesalahanmu itu pendeta?" tanya Teana kemudian.
"Aku akan melakukan apapun demi keselamatan orang -- orangku. Keselamatan Bangsa Nabataea." ucapnya dengan mata berkaca -- kaca. Rasa bersalah memenuhi pikirannya.
***
Keesokan paginya, Almeera terlihat sibuk menyiapkan keperluan Teana. Jubah berwarna biru serta kerudung warna senada telah ia siapkan diatas ranjang Teana. Serta sebuah matha patti dan sepasang anting -- anting yang sangat indah. Disebelah jubah Teana tergeletak sebuah bungkusan kain putih.
Pagi itu Teana sangat cantik. Dengan dibantu oleh Almeera yang menata rambutnya, ia merias wajahnya. Lalu Almeera memasangkan matha patti diatas belahan rambutnya.
Matha patti itu membelah sempurna rambutnya. Bagian ujung belakang matha patti ia ikatkan di rambut Teana, sedangkan di bagian ujung depan menggantung sebuah liontin berbentuk bulan sabit kecil berwarna keemasan. Lalu Almeera mengolesi bibir Teana dengan sari bunga mawar, sehingga membuat bibir Teana nampak memerah.
"Bagaimana penampilanku ini Almeera?" tanya Teana sambil merapikan rambutnya didepan cermin.
"Sangat cantik Tuan, sempurna sekali." puji Almeera.
"Terimakasih Almeera, apakah kau sudah mempersiapkan keperluanku? Kita akan berangkat menuju Kuil Ad Deir pagi ini."
"Sudah Tuan, semuanya sudah siap."
"Bagus Almeera. Sekarang kau rapikan dirimu. Aku tunggu diluar."
"Baik Tuan."
"Oh ya Almeera, apakah kau sudah membungkus patung Dewa Dhushara." tanya Teana kemudian.
"Sudah Tuan, patung itu hamba letakkan diatas ranjang Tuan."
Teana melihat ranjangnya. Diatasnya tergeletak sebuah bungkusan kain putih.
"Terimakasih Almeera." jawab Teana.
Saat hari menjelang siang, kedua wanita itu segera berangkat menuju Kuil Ad Deir. Mereka akan menemui Pendeta Samad. Sebuah ritual akan mereka gelar siang ini. hanya mereka bertiga yang menghadiri ritual itu. Sebuah ritual pemindahan patung Dewa Dhushara.
***
Dua tahun berlalu...
Kehidupan Kota Petra kini mulai berangsur -- angsur pulih. Pembangunan kota mulai ditingkatkan. Kuil -- kuil dibangun lebih indah. Pilar pilar kuil dipahat dengan pahatan bergaya Romawi. Ornamen bunga dan sulur dedaunan memenuhi dinding dan atap kuil.
Di beberapa tempat di pusat kota dibangun saluran air yang terhubung langsung dengan sungai yang mengalir di Wadi Musa. Sebuah lembah yang hijau dibawah kaki Gunung Hor. Saluran air itulah yang digunakan para penduduk untuk mengairi tanah pertanian dan perkebunan milik mereka. Para petani di Kota Petra bisa mendapatkan pasokan air yang cukup saat musim kemarau panjang tiba. Sehingga tiap tahun selalu menghasilkan panen yang melimpah.
Untuk mencegah banjir saat musim penghujan tiba, dibangunlah dam -- dam di sekitar kuil -- kuil utama kota. Seperti Kuil Ad Deir dan Al Khazneh. Dengan berdirinya dam -- dam itu, air hujan tidak akan membanjiri ruangan didalam kuil. Sehingga tidak mengganggu para penduduk dalam menjalankan ritual mereka kepada para dewa.
Tahun ini tepat tiga puluh tahun Raja Aretas IV berkuasa. Kehidupan penduduk Kota Petra makin sejahtera. Sore itu, Teana bersama Almeera menemui Pendeta Samad di Kuil Ad Deir.
"Terima kasih Teana, semua ini berkat usahamu meyakinkanku untuk bangkit dari keterpurukanku. Rasa bersalah yang aku pendam sejak dulu." ucap Pendeta Samad suatu ketika di Kuil Ad Deir.
"Bersyukurlah pada Dewa Dhushara, semua ini tak lepas dari campur tangannya. Jangan lupa untuk menggelar ritual kepada Dewa Dhushara sebagai wujud terimakasih kita kepadanya."
"Tentu, beberapa hari lagi aku akan mengadakan ritual pembersihan kuil dan penyucian patung dewa. Agar kita semua terhindar dari bencana dan musibah.
"Apa Tuan sudah mengganti patung palsu itu?"
"Sudah aku menyimpan patung palsu itu ditempat yang aman tanpa sepengetahuan siapapun." jawab pendeta itu. Teana tersenyum mendengarnya.
***
Ritual itupun akhirnya digelar. Para pendeta memakai jubah putih lengkap dengan penutup kepala, mereka berjalan keluar Kuil Ad Deir sambil membawa tongkat di tangan kanan. Tongkat itu memiliki sebuah lonceng di bagian ujungnya. Bunyi gemerincing mengiringi langkah mereka.
Pendeta Samad berjalan paling depan dengan membawa patung Dewa Dhushara di tangan kiri, tepat di belakangnya ada dua orang pendeta berjalan mengikutinya sambil masing -- masing membawa dua buah cawan kecil berisi air suci yang diambil dari sumber air Mehnaz di wilayah Al Djinn.
Di depan kuil Ad Deir, puluhan penduduk telah siap untuk mengikuti jalannya ritual. Mereka semua berjubah putih. Para wanita memakai kerudung dan para pria memakai sorban sebagai penutup kepala mereka.
Pendeta Samad segera memulai ritual pemujaan. Tongkat digoyangkan beberapa kali membentuk alunan irama tertentu. Mulut para pendeta merapalkan mantra dalam suara yang sangat lirih. Diikuti oleh para penduduk yang ikut hadir di sana. Mereka semua bersimpuh di depan Kuil Ad Deir dengan tangan disilangkan di dada mereka masing -- masing.
Tiba -- tiba awan gelap menyelimuti langit Kota Petra, suara bergemuruh bersahutan diiringi hembusan angin yang cukup kencang. Pendeta Samad tetap melanjutkan ritualnya. Begitu pula para penduduk. Mereka tidak peduli dengan suara gemuruh di langit. Mereka sedang sibuk berkomunikasi dengan Dewa mereka. Merapalkan do'a -- do'a ke langit.
Teana terlihat berbaur dengan para penduduk. Ia diam mengamati keadaan di sekelilingnya. Namun tiba -- tiba ia merasakan kehadiran seseorang. Seseorang yang memiliki kekuatan cukup besar. Ia melihat sebuah nyala api melesat turun dari atas langit. Menghilang dibalik bukit tak jauh dari Kuil Ad Deir. "Kekuatan apa itu?" gumam Teana.
Dalam hati ia menirukan lantunan do'a yang dibacakan oleh Pendeta Samad, namun matanya terus mengawasi keadaan disekitarnya. Suara gemuruh di langit terdengar makin jelas dan keras. Tubuh Teana merasa panas. Ia berusaha menahannya dan terus merapalkan do'a -- do'a. Tiba -- tiba ia teringat Dalath.
"Dalath... Bantu aku. Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Teana dalam hati. Ia memejamkan matanya. Mencoba berkomunikasi dengan Dalath. Tak lama kemudian sebuah suara menggema didalam telinganya.
"Tuan tenanglah, jangan mencoba melawan. Seseorang dari Bangsa Bawah sedang hadir disini. Dalam keadaan seperti ini Tuan tidak mungkin melawannya. Kekuatan Tuan tidak sebanding dengannya. Tetaplah waspada Tuan."
Teana membuka matanya. Kini ia mengerti apa yang sedang terjadi.
***
Beberapa jam sebelum ritual berlangsung...
Suasana di kerajaan Yodh mulai kacau. Bangsa Bawah mulai cemas. Udara di Kerajaan Yodh mulai memanas. Kubah raksasa yang berwarna hijau zamrud pelan -- pelan mulai memudar menjadi warna merah.
"Yang Mulia.... Yang Muliaaa..." teriak salah seorang prajurit kerajaan sambil mengetuk pintu kamar Yodh. Tak lama kemudian pintu terbuka.
"Ada apa prajurit?"
"Maaf Yang Mulia, sebaiknya Yang Mulia bergegas menuju ruang utama kerajaan. Kubah kerajaan kita mulai memudar warnanya." ucap prajurit itu sambil menundukkan kepalanya di depan Yodh. Yodh segera keluar dari kamarnya dan menuju ruangan utama kerajaan. Prajurit itu mengiringi langkah Yodh di belakang.
Betapa terkejutnya Yodh melihat para prajurit dan sebagian pembesar kerajaan menggelepar -- gelepar dibawah kubah raksasa. Lidah mereka mendesis -- desis menjulur keluar. Air kolam dibawah kubah berubah warna menjadi merah darah. Teratai putih didalamnya berubah menjadi hitam.
"Dia telah tiba..." gumam Yodh dengan lidah mendesis dan tangannya mengepal erat menyiratkan amarah.
"Prajurit ! Berikan tongkatku. Ada yang harus aku selesaikan !" teriak Yodh.
"Baik Yang Mulia."
***
Ritual berlangsung dengan diiring gemuruh di langit. Awan hitam pekat memenuhi langit Kota Petra. Hujan mulai turun perlahan. Bersamaan dengan turunnya hujan, Teana menyaksikan sekumpulan laba -- laba sebesar telapak tangan orang dewasa merangkak turun dari atas bebatuan besar di sekitar Kuil Ad Deir.
Laba -- laba itu berjumlah puluhan. Teana merasa sesuatu sedang terjadi. Dengan cepat ia berdiri dan mendekati Pendeta Samad yang sedang berdo'a. Beberapa pendeta penjaga berusaha menghalangi langkah Teana untuk mendekat. Mereka mencengkeram lengan Teana. Mereka tidak ingin ritual tersebut diganggu.
"Lepaskan aku!" Nyawa kalian sedang dalam bahaya!" ucap Teana tegas.
Pendeta penjaga itupun melepaskan Teana. dengan langkah cepat, Teana berjalan menuju Pendeta Samad yang sedang menyiram patung Dewa Dhushara dengan air suci.
"Tuan, segera selesaikan ritualmu. Perintahkan penduduk untuk kembali ke rumah mereka masing -- masing. Keadaan mulai tidak aman. Aku merasakan ada seseorang yang mengintai kita disini. Aku tidak tahu apa tujuan mereka."
"Maksudmu apa Nyonya?" tanya Pendeta Samad.
"Nanti aku jelaskan. Sekarang cepatlah kau selesaikan ritualmu."
Ketiga pendeta itu akhirnya melakukan ritual penyucian patung secepat mungkin. Pendeta Samad memberikan tugas itu kepada dua orang pendeta yang membantunya. Sedangkan dirinya menenangkan para penduduk yang mulai merasa tidak aman. Dalam suasana hujan lebat dan gemuruh, Pendeta Samad berkata kepada para penduduk.
"Rakyatku... Sepertinya keadaan mulai tidak aman. Ini semua bukanlah kemarahan Dewa Dhushara. Namun sesuatu sedang terjadi disini. Biarlah kami para pendeta yang mengurusi ini semua. Kalian pulanglah. Selamatkan diri kalian. Cepat." ucap Pendeta Samad.
Kekacauan muncul. Ketika para penduduk hendak meninggalkan Kuil Ad Deir, puluhan laba -- laba mulai memenuhi pelataran kuil. Mereka makin ketakutan. Sebagian dari mereka membunuh laba -- laba itu dengan cara menginjaknya. Sebagian lagi berteriak -- teriak ketika laba -- laba itu mulai masuk kedalam jubahnya.
"Tolong... Toloooong!" ucap seorang wanita sambil mengibas -- ibaskan jubah dan kerudungnya.
"Ibuuuuu..... Tolong akuuuu.... Laba -- laba itu menggigitku.!" teriak anak kecil itu sambil menangis karena terpisah dari ibunya.
Melihat ini semua, Teana tidak tinggal diam. Ia menolong anak kecil itu dan melepaskan laba -- laba yang menggigit tubuhnya. Lalu ia menggendongnya. Dengan menggunakan tongkat di tangannya, ia memukul satu persatu laba -- laba didepannya. Tak lama kemudian terdengar teriakan seorang wanita dari kejauhan.
"Anakkuuu...."teriak wanita itu dalam keadaan basah kuyup.
Teana berlari mendekati wanita itu. Lalu ia menyerahkan anak dalam gendongannya kepada ibunya.
"Terimakasih Nyonya."
"Sama -- sama. Sekarang pulanglah. Disini tidak aman untuk kalian."
Teana melihat ibu dan anak itu mulai pergi menjauh dari kuil bersama para penduduk yang lainnya. Kini Teana merasa tenang. Semua penduduk telah meninggalkan kuil Ad Deir dengan selamat.
"Nyonya...!" teriak Pendeta Samad sambil berlari mendekati Teana.
"Iya Pendeta." jawab Teana.
"Ini.... Cepatlah kau bawa patung ini." ucap Pendeta Samad sambil menyerahkan sebuah bungkusan kain putih kepada Teana.
"Tapi mengapa harus aku? Lebih baik Tuan saja yang menjaga patung ini."
"Tidak, aku tidak mau mengulangi kesalahan untuk yang kedua kali. Aku bukanlah orang yang tepat untuk menjaga Patung Dewa Dhushara ini. Aku merasa Nyonya lah yang mampu menjaganya. Ini Nyonya, bawalah patung ini."
"Baiklah. Aku akan menyimpan patung ini. Aku pergi dulu."
Teana berjalan meninggalkan Kuil Ad Deir. Diikuti oleh Almeera dibelakangnya. Lalu mereka bergegas menaiki untanya untuk kembali ke Penginapan Al Anbath.
"Tuan, sebenarnya ada apa? Mengapa tiba -- tiba muncul begitu banyak laba -- laba disana? Darimana asal laba -- laba itu Tuan?" tanya Almeera penasaran.
"Aku juga tidak tahu Almeera, baru kali ini aku melihat laba -- laba itu seumur hidupku." ucap Teana singkat.
Dari atas sebuah bukit batu, Yodh menyaksikan Teana dan Almeera pergi meninggalkan Kuil Ad Deir.
"Teana...." gumam Yodh pelan. Lalu tubuh Yodh pelan -- pelan lenyap seperti debu gurun pasir yang tertiup angin.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H