Seorang gadis berkulit kemerah -- merahan itu berjalan menyusuri jalanan utama Kota Petra. Dengan memakai pakaian khas Bangsa Yunani, ia berjalan menuju bangunan tempat pemujaan Dewi Uzza. Orang Petra biasa menyebutnya sebagai Kuil Dewi Uzza.
"Hai anak kecil, mau kemana kau!" seorang prajurit Petra berteriak memanggilnya.
"Maaf Tuan, aku kemari hanya untuk menjalankan perintah orang tuaku. Memberikan
persembahan ini kepada Dewi Uzza." ucap gadis kecil itu.
"Siapa namamu?"
"Aku Beth."
"Beth? Sebuah nama yang tidak umum untuk orang Petra. Darimana asalmu?"
"Aku dari Yunani."
"Mengapa orang tuamu tidak menemanimu kemari? Kau tahu, orang yang berasal dari luar Petra tidak bisa dengan mudah masuk kemari. Itu sudah peraturan kerajaan." Prajurit itu menegaskan.
"Aku disini hanya beberapa hari, aku tinggal dirumah bibiku."
"Baiklah, tunjukkan kalau ucapanmu itu benar."
Beth segera meraih bungkusan kain yang dibawanya. Ia mengeluarkan sebuah benda kecil. Patung Dewi Uzza yang terbuat dari batu giok berwarna hijau.
"Ini Tuan," ucap Beth sambil menyodorkan patung itu.
Tanpa diperintah, kedua prajurit penjaga pintu gerbang Kota Petra menundukkan kepala mereka. Sebuah penghormatan tertinggi kepada Dewi mereka.
Beth pun bergegas pergi setelah urusannya dengan prajurit itu selesai.
***
"Ayah, kira -- kira bagaimana keadaan wanita berkerudung coklat tadi? tanya Teana.
"Mengapa kau menanyakan itu Teana?" Rashad balik bertanya kepada Teana.
"Aku merasa kasihan saja Ayah,"
"Sudahlah, berdo'alah semoga Dewa melindunginya." ucap Rashad dari atas kudanya. Galata pun
ikut mengangguk.
"Baiklah Ayah, aku tidak akan khawatir lagi kalau begitu. Lebih baik aku menjual Myrrh ini. Tinggal beberapa botol. Setelah itu kita bisa pulang ke Hegra."
"Iya Nak, lebih cepat lebih baik. Karena hari sudah beranjak sore."
Dengan bersemangat, Teana melangkahkan kakinya menemui setiap orang yang ia jumpai sepanjang perjalanan. Hingga akhirnya ia berjumpa dengan seorang gadis yang seumuran dengannya.
"Hai, maukah kau membeli Myrrh ini?" tanya Teana.
"Myrrh? Apa itu?"
"Wewangian sekaligus obat. Kau boleh mencobanya sebelum membeli Myrrh ini."
"Tidak, aku tidak memerlukannya. Terimakasih."
Teana tidak kehilangan akal. Ia mengamati gadis itu sesaat. Sebuah peluang muncul
dihadapannya. "Aku tahu kau sangat membutuhkan Myrrh ini." ujar Teana kemudian.
"Katakan padaku, mengapa aku harus membelinya." tanya gadis kecil itu.
"Karena kau akan melakukan pemujaan kepada Dewa Uzza. Aku bisa melihat itu dari bungkusan kain yang kau bawa."
Mendengar itu, Beth mendadak teringat bungkusan kain yang berisi peralatan pemujaan yang tadi sempat diperiksa oleh penjaga gerbang kota. Ia segera merapikan bungkusan kain yang terlihat sedikit acak -- acakan itu.
"Baiklah, terimakasih sudah mengatakan itu padaku. Dan sepertinya aku tidak akan lama -- lama berurusan denganmu karena masih banyak hal penting yang harus aku kerjakan sekarang."
"Tunggu sebentar, kau tidak bisa pergi melakukan pemujaan kepada Dewi Uzza. Ada sesuatu yang kamu lupakan."
"Apa? Cepat katakan." ucap gadis kecil itu dengan nada sedikit jengkel.
"Kau harus membeli wewangian Myrrh ini sebagai pelengkap upacara pemujaanmu. Tanpa ini, do'a mu tidak akan dikabulkan oleh Dewi Uzza. Tanpa ini, dupa yang kau nyalakan tidak akan berbau harum. Dan itu artinya, doa'mu tidak akan didengar oleh Dewi Uzza." jawab Teana penuh kemenangan.
"Baik... Baik... Aku membelinya. Dasar gadis cerewet."
"Aku bukan gadis cerewet, aku punya nama. Teana."
"Baiklah Teana, berikan dua botol Myrrh itu kepadaku. Agar aku bisa segera pergi dari sini."
"Ini Myrrh nya nona...."
"Beth... Panggil aku Beth." jawab gadis kecil itu sedikit emosi.
"Baiklah Beth, dua botol Myrrh ini seharga empat keping koin emas."
"Ini, terimalah dan cepat pergi menjauh dariku."
"Terimakasih Beth..." jawab Teana sambil tersenyum kepada Beth. Mereka berdua pun berpisah.
***
Setelah bertahun -- tahun ia tinggal di , ia segera memutuskan untuk kembali pulang. Pulang ke kota asalnya. Kota Petra. Simkath merasa sangat yakin bahwa kali ini dendamnya akan terlaksana. Simkath teringat pertemuannya dengan lelaki tua di pasar kota.
"Aku tahu kau bukan peramal biasa."
"Maksud Tuan apa? Aku hanyalah peramal yang mampu membaca tanda -- tanda dan nasib pada
diri seseorang. Itu saja. Lainnya tidak."
"Sudahlah, tidak usah kau berpura -- pura dan mencoba membohongiku." ucap lelaki tua itu dengan menatap tajam mata Simkath.
"Baiklah, apa mau Tuan? Katakan..."
"Pinjamkan sebentar liontin itu kepadaku. Aku ingin melihatnya."
Simkath mendadak bimbang. Ada sebuah kecemasan bercampur keragu -- raguan terhadap lelaki tua itu. Di satu sisi ia tidak ingin menyerahkan liontin yang ia miliki, namun di sisi lain ia paham betul bahwa sekarang dihadapannya berdiri sebuah kekuatan besar yang tidak akan sanggup ia lawan dengan sihirnya sekalipun. Simkath merasa sangat yakin akan hal itu. Apa yang ia pikirkan tidak pernah meleset. Oleh sebab itulah ia menjadi peramal yang banyak didatangi orang -- orang Paphos. Semua ramalan yang ia katakan selalu dipercaya oleh orang Paphos. Termasuk ramalannya tentang manusia ular. Manusia jelmaan yang bisa merubah wujudnya menjadi wujud ular. Cerita yang selama ini diyakini oleh Orang Paphos sebagai cerita khayalan pengantar tidur.
"Aku tidak bohong dengan ramalanku ini Tuan," ucap Simkath kepada seorang penduduk yang
datang kepadanya untuk diramal.
"Tapi kata orang -- orang, cerita manusia ular itu hanyalah mitos. Bukan cerita yang benar -- benar
terjadi."
"Tunggu saja anak muda, saat itu pasti akan tiba." jawab Simkath suatu ketika.
Tanpa berpikir lebih panjang, Simkath segera melepaskan ikatan kalung yang melilit lehernya. Menyerahkannya kepada lelaki tua dihadapannya.
"Ini liontin yang kau mau."
"Mana? Aku ingin melihatnya. Cepat berikan padaku." ucap lelaki tua itu dengan tidak sabarnya.
Ia membuka telapak tangan kanannya untuk menerima liontin dari Simkath. Menggenggam liontin itu didalam tangan kanannya. Sebuah kekuatan besar menjalar ke aliran darahnya seperti ribuan jarum yang melaju cepat menuju jantungnya. Semakin lama ia menggenggam liontin itu, semakin lemah kekuatannya. Lelaki tua itu tak sanggup lagi. ia segera menyerahkan kembali liontin milik Simkath.
"Ini, aku kembalikan liontinmu." ucap lelaki tua itu dengan mulut sedikit bergetar.
"Terimakasih Tuan."
"Suatu saat akan aku rebut liontin itu darimu Simkath." gumam Yodh dalam hati.
Mereka berduapun berpisah.
***
Setelah bertahun -- tahun hidup di Pulau Siprus, kini Simkath kembali ke kota leluhurnya. Ingatan itu masih tertancap kuat di dalam kepalanya. Bahwa ia dengan curangnya telah dituduh dan dihakimi oleh para penduduk Petra atas kesalahan yang sama sekali tidak ia lakukan. Demi mengingat itu semua, membuat dadanya berkecamuk dan matanya menjadi nanar. Sebuah dendam yang lama disimpannya kini berkobar hebat dalam dirinya.
"Aku masih mengingat kalian..." gumam Simkath dalam hati dengan tatapan penuh amarah.
Dengan bekal beberapa kantung koin emas yang dimilikinya, ia melanjutkan perjalanannya menuju Al Habis. Ia sengaja memilih Al Habis sebagai tempatnya bermukim agar bisa memantau keadaan Kota Petra dari jarak dekat tanpa diketahui oleh penduduk Kota. Sebab letak Al Habis sendiri berada dibalik bukit batu yang cukup besar. Membelakangi Kota Petra.
"Ada yang bisa saya bantu Tuan?" tanya seorang pemuda.
"Apakah disini masih tersisa tenda yang kosong untuk aku tinggali?"
"Ada Tuan, tenda seperti apa yang Tuan butuhkan? Kami menyediakan tenda ukuran kecil dan
besar."
"Kecil saja. Karena hanya aku yang akan memakainya."
"Baik, mari Tuan ikuti saya."
Setelah tawar menawar yang tidak terlalu rumit, tenda itu kini menjadi milik Simkath.
Sementara itu, keadaan Kota Petra kian hari makin kacau. Penjarahan makin marak. Teror menyebar ke seluruh penjuru kota. Tak terkecuali daerah di sekitar Petra. Sebagian penduduk memilih untuk pergi ke daerah yang lebih aman. Yakni Kota Hegra. Sebab disana mereka bisa mendapatkan perlindungan dari Raja Aretas IV.
"Cepat bawa anak laki -- laki itu kemari !" teriak seorang prajurit Petra.
"Jangan Tuan, jangan ambil anakku..." ibu anak itu menangis histeris.
"Ibuuuuu...."
Dengan cekatan, sang prajurit menyerahkan anak laki -- laki itu kepada seorang pendeta di Kuil Ad Deir.
"Berikan anak laki -- laki itu padaku." ucap sang pendeta.
Sambil mengelus kepala anak laki -- laki itu, sang pendeta merapalkan mantra. Mulutnya bergerak -- gerak pelan. Sembari menutup matanya, sang pendeta terus mengelus -- elus kepala anak itu hingga membuat tubuhnya ambruk. Kini, anak laki -- laki itu dibawah kendali sang pendeta.
"Tidaaaak.... Kembalikan anakkuuu...!" seorang wanita mendadak berteriak histeris. Dalam sekejap ia telah pingsan. Beberapa orang di sekitarnya segera mengangkat tubuhnya.
Semua orang yang hadir di siang hari yang cukup terik itu tidak mampu berbuat apapun selain hanya diam dan menyaksikan kejadian yang ada didepan mereka. Prajurit, pendeta dan seperangkat alat ritual pemujaan telah menunggu di depan Kuil Ad Deir. Ritual untuk Dewi Manat - Dewi Takdir Bangsa Nabataea akan segera digelar.
Mereka hanya pasrah. Sebab mereka tahu bahwa ritual itu terpaksa dilakukan agar keadaan mereka membaik. Jauh dari bahaya dan dilimpahi kesejahteraan serta kemakmuran oleh para dewa. Kesejahteraan dan kemakmuran yang harus ditukar dengan darah manusia yang masih suci. Manusia yang dimaksud tak lain adalah anak -- anak. Sehingga banyak wanita Petra yang merasa ketakutan jika suatu ketika anak mereka yang masih kecil akan dikorbankan kepada Dewi Manat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H