Pagi itu Kota Petra nampak sepi. Beberapa prajurit nampak berlalu lalang di sepanjang jalan utama kota. Melakukan pengawasan keliling kota. Hanya satu dua penduduk yang mulai beraktivitas.
"Ada apa Tuan memanggil hamba?"
Teana sedikit kaget ketika Almeera memanggil namanya. Lamunannya seketika itu buyar. Pikiran Almeera masih terbayang pada peristiwa beberapa hari lalu saat memasuki Al Siq.
Angin dingin berhembus pelan menerpa wajahnya. Udara di pelataran penginapan Al Anbath terasa menyejukkan. Membuat Teana sedikit tenang.
"Duduklah disampingku." ucap Teana.
"Terimakasih Tuan." balas Almeera.
Teana diam. Ia mengambil napas dalam -- dalam lalu menghembuskannya keluar dengan pelan.
"Sepertinya kita harus kembali ke Hegra secepatnya. Dan aku rasa itulah yang lebih baik bagi kita."
"Tapi... Mengapa Tuan berkata seperti itu? Bukankah pelanggan Myrrh dan dupa kita cukup banyak disini?" tanya Almeera heran.
"Aku melihat kondisi Kota Petra akhir -- akhir ini mulai tidak aman. Penjarahan merajalela di penjuru kota. Itu semua akan berakibat pada menurunnya jumlah pelanggan kita." ucap Teana lirih.
"Dan itu artinya adalah sebuah kerugian besar bagi kita Tuan." balas Almeera.
"Kau benar sekali Almeera."
Almeera diam. Wajahnya menunduk. Ia memikirkan sesuatu.
"Sepertinya aku sudah tidak sanggup lagi menjalankan perintah Ayah." ucap Teana tiba -- tiba.
"Jangan menyerah dahulu Tuan. Pasti ada jalan." balas Almeera.
Mereka berdua beradu pandang. Mata mereka saling menatap tajam.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanya Teana kepada Almeera.
Matahari mulai merambat naik. Mereka berdua hanya diam dan memikirkan sesuatu. Lebih tepatnya memikirkan masa depan mereka di Kota Petra. Akankah mereka mampu bertahan disana ataukah harus pulang kembali ke Kota Hegra.
***
"Kain sutranya Nyonya, mari dicoba... Murah Nyonya, mari... mari..." teriak salah seorang pedagang.
"Silakan Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?" ucap seorang wanita penjual manik -- manik dari batu giok sambil menyodorkan sebuah kalung giok berwarna hijau kepada Almeera. Namun Almeera hanya membalasnya dengan senyuman.
Sore itu Almeera sengaja pergi ke seorang peramal. Simkath namanya. Seorang lelaki tua berjenggot lebat memanjang dengan kepala botak sebagian.
Setelah menyusuri lorong -- lorong di Pasar Sabra yang sedikit panas karena terpaan matahari, akhirnya Almeera menemukan kediaman si peramal. Sebuah rumah kecil sederhana berdinding batu beratapkan daun kurma kering. Di depannya terdapat sebuah sumur kecil dengan permukaan sumur dikelilingi dinding dari batu yang tidak terlalu tinggi. disebelahnya terdapat beberapa ember kosong.
Tak jauh dari sumur itu ada sebuah kandang domba. Kandang yang terbuat dari kayu pohon kurma itu cukup teduh. Dikelilingi oleh tiga pohon kurma besar.
"Maaf, apakah ada orang didalam?" ucap Almeera.
Tidak ada jawaban dalam beberapa menit, Almeera mengetuk pintu rumah itu.
"Tuan, apakah Tuan didalam?" ucap Almeera agak sedikit keras.
Tiba -- tiba terdengar suara pintu terbuka.
"Ada apa?" ucap lelaki tua dari dalam rumah dengan suara parau.
"Aku membutuhkan bantuanmu." jawab Almeera singkat.
***
Sementara itu di Kota Hegra sedang musim anggur. Beberapa buruh perkebunan anggur nampak sibuk berlalu -- lalang di jalanan. Mengangkut anggur -- anggur yang baru dipanen keatas gerobak kuda.
"Kishwar, jangan lupa kau kirim tiga gerobak anggur kepada Tuan Ahmad." perintah Aairah.
"Tuan Ahmad yang mana Nyonya?" tanya Kishwar.
"Penjual minuman anggur di dekat Qasr As Saneea. Ia meminta anggurnya dikirim sore ini."
"Baik Nyonya. Akan segera saya kirim."
Pagi itu Aairah mengawasi para pekerjanya di perkebunan anggur miliknya. Ia dan beberapa pekerja disana sedang sibuk memanen anggur yang baru masak.
Tiba -- tiba ia teringat putrinya Teana.
"Teana... Kapan kau pulang?"gumam Aairah.
Sejak kepergian Teana beberapa bulan yang lalu, Aairah jarang sekali mendapatkan kabar darinya. Ia lebih sering mendengar kabar Teana dari pedagang Hegra yang baru pulang dari Petra.
"Putrimu baik -- baik saja Nyonya, ia sehat dan semakin cantik. Ia juga menitip salam untukmu. Ia mengatakan akan segera pulang ke Hegra begitu urusannya selesai."
Sebagai seorang pedagang yang kaya dan disegani, tidak sulit bagi Aairah untuk mendapatkan sesuatu. Termasuk mendapatkan kabar tentang putrinya Teana. Tanpa ia minta, tetangga atau teman sesama pedagang memberitahunya saat mereka memesan barang dagangan kepada Aairah.
Meskipun kehidupan Aairah terlihat sempurna, namun di hatinya masih terasa kosong. Terutama beberapa bulan ini.
Ia merindukan putrinya.
"Ibu... Sedang memikirkan apa?" tanya Galata yang datang secara tiba -- tiba disamping Aairah.
Seketika itu lamunan Aairah buyar. Ia segera mengusap matanya yang mulai menitikkan air mata.
"Oh kau Galata, sejak kapan kau datang?"
"Ibu, ada apa? Apa yang ibu pikirkan?"
"Tidak ada apa -- apa, ibu sedang menulis pesanan yang akan dikirim hari ini." jawab Aairah sambil berpura -- pura sibuk memegang pena tinta dan selembar daun papirus.
Galata meraih tangan kanan ibunya. Menggenggamnya dengan erat.
"Ibu, apa yang ibu pikirkan?"tanya Galata kepada Aairah.
Mata mereka saling pandang. Tak terasa meneteslah air mata dari kedua sudut mata Aairah. Ia tidak mampu menyembunyikan kesedihannya dari Galata.
Lalu mereka berdua berpelukan.
"Galata anakku, ibu rindu sekali kepada Teana. Ibu ingin sekali Teana berada disini bersama ibu sekarang." ucap Aairah lirih menahan air matanya agar tidak jatuh lagi.
"Bersabarlah Ibu, berdo'alah kepada Dewi Allat. Semoga Teana segera kembali." ucap Galata menenangkan hati ibunya.
***
Malam itu Penginapan Al Anbath sedikit tenang. Tidak seperti biasanya. Sebab sebagian pedagang telah kembali ke daerah asalnya. Urusan dagang mereka telah selesai.
Nampak beberapa orang masih sibuk mengangkat berlembar -- lembar kain sutera dan bulu Meerkat yang tersimpan didalam kotak kayu. Mereka memindahkannya ke ruangan penyimpanan barang.
Sedang yang lain sibuk memeriksa unta dan kuda milik mereka. Agar keesokan paginya mereka bisa langsung meninggalkan penginapan.
Di kamar Teana...
"Tuan, ini pesanan Tuan. Semangkuk air panas dengan beberapa tetes Myrrh." ucap Almeera sambil berjalan membawa sebuah mangkuk keramik putih berukuran sedang.
"Letakkan disitu Almeera." sahut Teana.
Almeera segera meletakkan mangkuk itu diatas meja dekat ranjang Teana. Lalu ia duduk di sebelah Teana yang sedang berbaring.
"Mengapa Tuan mendadak ingin dibawakan ramuan Myrrh ini? Apakah Tuan merasa kurang sehat?" tanya Almeera sambil memijat -- mijat kaki Teana.
"Sepertinya begitu Almeera. Akhir -- akhir ini banyak sekali yang aku pikirkan. Sehingga membuat kondisi tubuhku menurun. Namun aku berusaha untuk tidak menunjukkannya didepan anak buahku. Aku tidak mau mereka menjadi lemah." ujar Teana.
Almeera menghentikan pijatannya.
"Tuan, hamba ingin mengusulkan sesuatu."
"Apa itu Almeera? Katakan saja."
Kemudian Almeera menceritakan pertemuannya dengan peramal Petra itu. Peramal itu mengatakan bahwa kejadian demi kejadian yang ada di Kota Petra adalah akibat Dewa Dhushara murka. Karena penduduk tidak melakukan pemujaan kepadanya lagi. Persembahan yang dulu biasa diberikan, kini mulai jarang diberikan. Dan yang lebih parah lagi adalah penduduk Petra tidak tahu bahwa patung yang selama ini mereka sembah adalah patung baru buatan manusia. Bukan patung dewa dhushara yang berasal dari nenek moyang mereka.
Teana mendengarkan cerita Almeera baik -- baik. Ia mengambil posisi duduk diatas ranjangnya. Mencoba mencerna apa yang diceritakan Almeera dan memikirkan langkah yang akan diambilnya kemudian.
"Jadi, patung yang selama ini kita sembah adalah patung palsu?" tanya Teana pelan. Takut ada orang yang mendengar percakapan mereka.
"Benar Tuan." jawab Almeera singkat.
"Lalu, bagaimana caranya kita membuktikan kepalsuan patung Dewa Dhushara itu?"
"Saya tahu caranya Tuan."
"Katakan."
"Dengan meraba patung itu dan memeriksa apakah dibelakang patung itu terdapat simbol segitiga yang melambangkan gunung."
"Mengapa kita harus merabanya?"
"Sesuai dengan apa yang diucapkan oleh peramal itu, patung yang asli akan terasa halus jika diraba. Sebab usia patung yang asli itu hampir ratusan tahun lamanya. Dan itu dijaga secara turun temurun oleh keturunan Bangsa Nabataea."
"Selain itu apalagi?"
"Dengan melihat warna dari patung itu Tuan. Apabila warnanya merah terang, maka itu adalah patung palsu. Sebab patung yang asli berwarna merah gelap."
"Sesuai usia patung itu bukan? Makin tua usianya makin gelap warnanya akibat pengaruh cuaca dan suhu."
"Benar sekali apa yang Tuan katakan."
"Jadi, apa usul yang ingin kau katakan padaku tadi?"
"Sebaiknya kita segera menuju Kuil Ad Deir dan memeriksa patung itu Tuan."
"Tidak mungkin Almeera, patung itu selalu dijaga oleh para pendeta. Tidak mudah bagi kita untuk mendekat apalagi menyentuhnya. Dan untuk apa kita mengetahui patung itu asli atau palsu. Itu semua tidak akan merubah keadaan perdagangan Myrrh milik kita yang makin lama makin menurun."
"Tapi Tuan...."
"Sudahlah Almeera, lebih baik segera kau berikan mangkuk itu. Aku ingin meminum air Myrrh agar kondisiku pulih kembali."
"Baiklah Tuan."
"Dan ingat, jangan kau katakan kepada siapapun tentang hal ini. Kau paham Almeera?"
"Iya Tuan, hamba paham."
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H