"Ampun Tuan, jangan Tuan lakukan itu kepada bayi yang tak berdosa ini." Ayah bayi itu memohon sambil mencium kaki majikannya.
"Iya Tuan, kami akan membuang bayi kami ini. Kami rela berpisah dari bayi kami asalkan ia masih diberi kesempatan untuk hidup." isak budak wanita itu.
"Bagus kalau kalian mengerti. Kalian adalah budak -- budakku. Hidup dan mati kalian ada di tanganku. Segera kau buang bayi itu." perintah sang majikan.
Mendengar sang majikan berkata begitu, sepasang suami istri itu segera menyingkir membawa bayi mereka. Mereka berniat membuangnya jauh -- jauh agar tak ditemukan oleh majikan mereka. Agar tak dibunuhnya.
"Suamiku, lebih baik kita kabur saja dengan bayi kita. Lalu kita besarkan bayi ini bersama -- sama." ucap istrinya sambil berjalan pelan disebelah suaminya.
"Kabur katamu? Apa kau tidak melihat rantai yang memborgol tangan dan kaki kita ini? Kalaupun kita behasil kabur, anak buah majikan kita pasti akan mencari kita. Dan sudah bisa ditebak nyawa kita akan melayang." jawab suaminya singkat dan datar.
"Tapi suamiku..." ucap istrinya menyela.
"Sudahlah, buanglah angan -- anganmu itu jauh -- jauh. Lebih baik kita bergegas menuju Wilayah Al Djinn sebelum hari gelap. Kita akan menyembunyikan bayi itu disana. Diantara bebatuan gunung yang tinggi. dengan begitu bayi kita aman dari binatang buas yang kelaparan. Dan semoga desiran angin gurun membawa tangisan bayi kita. Mengalunkannya ke udara sehingga nantinya akan terdengar oleh orang yang lewat." ucap si budak lelaki.
"Kau benar suamiku. Semoga bayi kita ditemukan oleh orang yang baik. Semoga bayi kita kelak menjadi orang besar. Bukan menjadi budak seperti kita." ucap istrinya penuh harap.
***
Matahari beranjak ke ufuk barat. Hari makin sore.