Tiba – tiba Aairah terbangun dari lamunannya. Suara seorang wanita tua menggema memenuhi kepalanya.
“Minumlah air yang kau bawa itu. Satu kantung untukmu, satu kantung lagi untuk suamimu. Air itu akan membantumu memiliki seorang keturunan. Keturunan penyelamat Bangsa Nabataea.”
Aairah hanya bisa diam mendengarkan. Karena ia mengenal betul suara itu. Dan ia tidak mungkin menceritakannya kepada orang lain. Yang bisa ia lakukan hanyalah diam dan menuruti suara tadi. Suara ratu jin Mehnaz.
“Semoga saja ucapan ratu jin itu benar demikian. Dewa bantulah aku.” gumam Aairah dalam hati.
Kereta unta rombongan Aairah perlahan meninggalkan Wadi Rumm. Udara mulai dingin. Matahari mulai meredup. Pertanda hari mulai sore.
“Hamra, kita sudah sampai dimana?” tanya Aairah dari dalam keretanya.
“Sebentar lagi kita akan memasuki gerbang Kota Hegra Nyonya.” jawab si pelayan.
Mendengar kata Hegra, Aairah merasa sangat senang. Ia tersenyum. Ia ingin segera menemui suaminya dan memberitahu kabar baik untuknya.
“Aku sudah tidak sabar bertemu suamiku. Aku yakin suamiku pasti akan merasa senang mendengar berita ini.” ucap Aairah pelan. Ia tersenyum bahagia.
Sejenak kemudian Aairah mengerutkan dahinya, ia berubah pikiran…
“Tapi apakah suamiku akan mempercayai ceritaku? Kalau ia tidak mau meminum air yang kubawa ini, harapanku untuk mendapat seorang keturunan akan sirna. Lebih baik aku diam.” ucap Aairah dalam hati kecilnya.