Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Randu Tua

20 April 2016   11:17 Diperbarui: 20 April 2016   11:27 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Randu Tua source sharontenenbaum.com/sample-page/trees/"][/caption]

Tahukah kau hidup? Hidup adalah serangkaian masalah yang harus ditempuhi manusia. Bak sebuah mata rantai yang berkaitan satu sama lain. Masalah kecil hingga besar. Masalah mudah hingga sukar. Masalah rumit hingga melilit.

Mahu tidak mahu mereka harus terus bertahan hidup untuk menghadapi itu semua. Bertahan menghadapi berbagai cobaan yang menjerat mereka. Mencekik erat kerongkongan hingga nafas sedetik sangat berharga artinya. Mari, aku ikhbarkan cerita ihwal kehidupan anak manusia yang mungkin pernah kalian rasai dalam hidup.

Sore itu kulihat seorang anak kecil pergi mengaji. Berjalan pelan di depanku. Aku hanya mampu memandanginya saja. Tak mampu bertegur sapa dengannya. Dengan songkok terpasang di kepalanya, sajadah bergelantung di pundaknya. Sangat santun perangainya. Wajahnya memancarkan cahaya. Penuh keteduhan bagi yang melihatnya.

Jemari kecilnya terus memutar tasbih dalam genggaman. Bibir mungilnya bergamitan satu sama lain. Melafalkan asma – asma Allah. Lirih. Namun bagiku terdengar sangat lantang dan penuh kekhusyukan.

Ya latief… Ya jabbar… Ya Quddus…

Begitulah yang sering aku dengar. Suaranya menggetarkan semesta. Menyejukkan alam.  Menyejukkan jiwa – jiwa yang kekeringan akan kasihNya.

Hari bertukar bulan. Bulan bertukar tahun. Dari musim kemarau bergulir ke musim kemarau lagi. Selama itu pula tak kudengar khabar darinya.

Hingga suatu ketika dari kejauhan kulihat sesosok pria setengah baya. Berjalan terhuyung – huyung tak seimbang. Dibawah bayang senja aku melihatnya. “Hei… apakah dia yang kulihat dahulu? Tapiiii… Mengapa dia berubah kini? Tak ada songkok dikepalanya, tak ada sajadah menggantung di pundaknya dan tak kudengar asma Allah melantun indah dari mulutnya”.

Songkok yang dulu, kini berubah jadi ikat kepala. Sajadah harum itu kini berganti kain kusam yang melilit lehernya. Dan yang paling membuatku miris adalah kata – kata yang keluar dari mulutnya. Bukan kata pujian melantun seperti yang dulu aku dengar. Namun kata – kata umpatan dan sumpah serapah.

Sayup – sayup lewat hembusan bayu kudengar dia mengumpat kehidupannya yang hina dina. Merutuki takdirnya yang tak bahagia.

“Ahh… persetan dengan pujian, persetan dengan ibadah. Percuma aku melakukan semua itu. Kenyataannya aku tetap miskin hingga kini”

Begitulah umpatan dan makian yang keluar dari bibirnya. Berhamburanlah isi dari otaknya yang kacau karena alkohol. Hingga akhirnya dia terjerembab di bawah tubuhku. Dalam kelam malam yang sepi. Hanya terdengar suara burung malam yang riuh meramaikan malam yang sunyi. Keesokan harinya lewatlah seorang penduduk desa di depanku. Lalu ia mendekati lelaki itu dan kudengar dia berkata

“Dia sudah mati”…

***

Tak terasa kini sudah musim kemarau yang ke tiga puluh.

“Aku tak sanggup lagi, aku telah kalah. Anak yang aku pelihara dan aku rawat telah menikamku dari belakang. Suami entah kemana rimbanya. Dirinya telah mendua. Hanya karena godaan wanita liar itu, suamiku jatuh ke pelukannya. Takdir sungguh tidak adil padaku. Sebagai seorang istri aku sudah berusaha mengabdikan hidupku padanya. Membina mahligai bersamanya. Aku berusaha bersetia tak mendua. Namun mengapa ia tega mendua di belakangku?”

Kudengar isak tangisnya semakin mejadi. Dia bersimpuh dibawahku. Mengumpati hidupnya. Merutuki nasib yang menimpa dirinya. Mengutuk suami dan anaknya. Sungguh menakutkan jika seorang wanita murka.

Tak berapa lama kulihat dia memungut seutas tali dari balik sakunya. Dia tarik ulur hingga panjang sedemikian rupa. Tali itu lalu dia lempar ke arahku. Sejurus lama tak kudengar lagi kata – kata keluar dari mulutnya. Dia tidak murka lagi. Dia diam membisu didalam tubuhnya yang biru. Hingga keesokan harinya suara tangisan mendadak pecah disekitarku. Tangisan dari anak dan suaminya yang telah menemukannya dengan tubuh yang kaku dan membiru.

 ***

Aku ingin berjaya seperti tetanggaku. Aku tak mahu hidup dalam kesempitan seperti ini terus menerus. Apa kau mahu membantuku wahai batu azimat?

Kudengar suara lirih itu dari bawah. Seorang lelaki paruh baya bersujud di depanku. Didepan ceruk tubuhku. Segenggam bunga tujuh rupa ditaburkan. Sepuluh batang dupa dinyalakan.

Lalu sejurus kemudian bergemalah suara yang lantang.

“Ya… aku bisa mengabulkan segala inginmu. Mewujudkan semua mimpimu. Menuruti semua nafsumu. Katakan saja apa yang kau mahu?” ujar si batu azimat.

Tak berselang lama. Percakapan itu terhenti. Dan lelaki itu beranjak pergi setelah menggenggam sebuntal kain putih berisi sesuatu.

“Wahai batu… Kuasamu telah terbukti. Kini aku memiliki segalanya. Harta. Kedudukan. Istri yang cantik. Dan limpahan kenikmatan yang lainnya. Oh… indahnya dunia ini. Diriku bak berada di surga. Terimakasih batu azimat. Aku memujamu”.

“Wahai manusia, kini kau telah kaya. Pujalah aku. Turuti keinginanku. Tinggalkan urusan akhiratmu. Tinggalkan Tuhanmu. Kemarilah peluk aku. Biarkan kita saling menyatu. Aku akan penuhi nafsumu. Mari… Kemarilah… Lekas peluk aku”

“Oh tidak… apa yang terjadi padaku? Dimana aku? Mengapa Tuhanku jauh dariku? Apa salahku? Tuhan… Kau telah melupakanku. Menjauhkanku dari rahmatMu. Maafkan aku…. Aku khilaf. Aku ingin bertobat kembali kepadaMu. Aku akan buang azimat itu.

 

Cukuplah kiranya ikhbar kehidupan dariku. Kini, sudah masanya aku tak muda lagi. Usiaku telah memasuki senja. Tubuhku telah rapuh. Tubuhku telah siap ditinggalkan oleh jiwaku. Karena sebentar lagi angin besar akan datang dan merobohkan tubuh rentaku.

Namun setidaknya aku bahagia dalam kematianku nanti. Karena aku telah membagi kenangan – kenangan yang berserakan dalam hidupku. Yang aku kumpulkan kembali kepingan – kepingan kenangan itu dan aku susun seperti semula agar bisa aku berikan kepadamu wahai manusia.

Terimalah kenangan dariku….

 

= Randu Tua =

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun