Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Randu Tua

20 April 2016   11:17 Diperbarui: 20 April 2016   11:27 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ahh… persetan dengan pujian, persetan dengan ibadah. Percuma aku melakukan semua itu. Kenyataannya aku tetap miskin hingga kini”

Begitulah umpatan dan makian yang keluar dari bibirnya. Berhamburanlah isi dari otaknya yang kacau karena alkohol. Hingga akhirnya dia terjerembab di bawah tubuhku. Dalam kelam malam yang sepi. Hanya terdengar suara burung malam yang riuh meramaikan malam yang sunyi. Keesokan harinya lewatlah seorang penduduk desa di depanku. Lalu ia mendekati lelaki itu dan kudengar dia berkata

“Dia sudah mati”…

***

Tak terasa kini sudah musim kemarau yang ke tiga puluh.

“Aku tak sanggup lagi, aku telah kalah. Anak yang aku pelihara dan aku rawat telah menikamku dari belakang. Suami entah kemana rimbanya. Dirinya telah mendua. Hanya karena godaan wanita liar itu, suamiku jatuh ke pelukannya. Takdir sungguh tidak adil padaku. Sebagai seorang istri aku sudah berusaha mengabdikan hidupku padanya. Membina mahligai bersamanya. Aku berusaha bersetia tak mendua. Namun mengapa ia tega mendua di belakangku?”

Kudengar isak tangisnya semakin mejadi. Dia bersimpuh dibawahku. Mengumpati hidupnya. Merutuki nasib yang menimpa dirinya. Mengutuk suami dan anaknya. Sungguh menakutkan jika seorang wanita murka.

Tak berapa lama kulihat dia memungut seutas tali dari balik sakunya. Dia tarik ulur hingga panjang sedemikian rupa. Tali itu lalu dia lempar ke arahku. Sejurus lama tak kudengar lagi kata – kata keluar dari mulutnya. Dia tidak murka lagi. Dia diam membisu didalam tubuhnya yang biru. Hingga keesokan harinya suara tangisan mendadak pecah disekitarku. Tangisan dari anak dan suaminya yang telah menemukannya dengan tubuh yang kaku dan membiru.

 ***

Aku ingin berjaya seperti tetanggaku. Aku tak mahu hidup dalam kesempitan seperti ini terus menerus. Apa kau mahu membantuku wahai batu azimat?

Kudengar suara lirih itu dari bawah. Seorang lelaki paruh baya bersujud di depanku. Didepan ceruk tubuhku. Segenggam bunga tujuh rupa ditaburkan. Sepuluh batang dupa dinyalakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun