Mohon tunggu...
Shofyan Kurniawan
Shofyan Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Arek Suroboyo

Lahir dan besar di Surabaya. Suka baca apa pun. Suka menulis apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Argentina Juara Piala Dunia, Kado Terbaik Scaloni untuk Messi

20 Desember 2022   14:54 Diperbarui: 20 Desember 2022   15:00 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Scaloni, pelatih Argentina (ig @fifaworldcup)

Tulisan ini pernah tayang di nongkrong.co

Kabar kemenangan Argentina di final Piala Dunia 2022 kontra Perancis memenuhi beranda media sosial, setidaknya sampai beberapa hari ke depan. Penantian 36 tahun rakyat Argentina buat membawa pulang trofi emas Piala Dunia akhirnya terbayar lunas tadi malam, sejak terakhir kali mereka mengangkat trofi tersebut bersama Maradona di tahun 1986.

Dalam 36 tahun penantian itu, publik Argentina menantikan 'sang juru selamat' yang paling tidak menyerupai sang legenda, Maradona. Mereka benar-benar baru mendapatkan sosok yang paling mendekati pada diri Lionel Messi.

Dengan segala talentanya, skill olah bolanya yang di atas rata-rata, terlebih melihat kepiawaiannya dalam menggocek lawan saat membela Barcelona, sosok Messi jelas mengingatkan mereka pada sosok sang legenda. Mereka pun menaruh harapan besar di pundak Messi.

Namun yang barangkali agak dilupakan oleh publik Argentina, bahwa 36 tahun adalah waktu yang sangat panjang, utamanya bagi sepak bola. Terlebih sejak Barcelona sukses dengan permainan tiki-takanya, strategi dalam sepak bola berkembang dengan lebih bervariatif. Sangat variatif.

Sepak bola sekarang ini menuntut permainan kolektif ketimbang mengharapkan satu individu mampu 'menggendong' seluruh tim. Jika dulu tiap pemain punya role-nya masing-masing, sepak bola sekarang ini mengharapkan bahkan mengharuskan pemainnya bisa bermain di segala posisi, tak boleh kaku hanya berada di satu role.

Seorang kiper misalnya kini tak hanya harus jago menghalau bola, melainkan ia juga mesti bisa membagi bola. Begitu pun seorang bek, ia tak hanya bisa mematahkan serangan dan mementahkan peluang lawan, melainkan juga bisa berkontribusi dalam penyerangan.

Bahkan seorang striker pun, dalam perkembangannya, kerap berubah menjadi false nine. Si nomor 9 yang dulu menjadi keran gol bagi tim, tugas utamanya kini bukan mencetak gol, melainkan turun ke lini tengah bersama para gelandang guna membuka ruang dan menciptakan peluang.

Kemajuan ini membuat sepak bola bisa dimainkan dengan banyak cara dan tak membosankan untuk ditonton. Namun di lain sisi, beberapa pemain yang punya cara bermain klasik dan menghuni role yang dianggap ketinggalan zaman untuk era sepak bola modern, mulai kesulitan mendapatkan tempatnya.

Kita bisa melihat kasus ini terjadi pada Mesut Ozil dan James Rodriguez, misalnya. Bermain sebagai nomor 10 klasik, keduanya lambat laun tersingkir oleh gelandang box to box yang punya daya jelajah lebih luas, bisa membantu pertahanan kala di serang, juga mematikan saat membangun serangan.

Contoh lain, pemain berposisi poacher yang biasa dijuluki si ujung tombak, juga mulai kehilangan tempatnya, seperti yang terjadi pada Cristiano Ronaldo kini. Mereka hanya akan dimainkan ketika tim ingin memainkan sepak bola secara pragmatis, yaitu dengan mengirim bola ke kotak pertahanan lawan dengan tujuan para poacher akan menyundul bola itu ke gawang lawan.

Namun sekali lagi, dengan sepak bola yang menuntut permainan kolektif, cara-cara lama pun mulai ditinggalkan. Imbasnya pemain seperti Cristiano Ronaldo, misalnya, baru akan dimainkan waktu tim mereka lagi kepepet dan pelatih bingung mesti ngapain lagi.

Inilah yang terjadi pada Messi, selama ini, setidaknya hingga di gelaran Piala Dunia 2022 ini. Sudah lebih dari 16 tahun Messi membela Argentina di kancah internasional, akan tetapi baru sekarang lah, di usianya yang sudah menginjak 35 tahun, ia baru berhasil membayar lunas harapan rakyat Argentina untuk memulangkan trofi emas Piala Dunia.

Di depan sepak bola kolektif, skill individu Messi yang berada di atas rata-rata jelas bukan tandingan sepadan. Jika dulu Maradona mampu membawa bola sendirian dari lini tengah hingga menceploskannya ke gawang lawan dengan skill olah bolanya yang piawai; Messi yang hidup di era sepak bola modern, butuh lebih dari sekadar skill individu yang oke untuk bisa membawa bola dari lini tengah hingga memasukkannya ke gawang lawan–dan itu tak bisa ia lakukan sendirian.

Setiap tim memang selalu punya satu pemain besar yang terbiasa menjadi sentralnya, baik level klub maupun level timnas. Misalnya, bagi penikmat lama sepak bola, kita mungkin mengenal Italia dengan Del Piero, Brazil dengan Ronaldo Nazario, atau Perancis dengan Zidane.

Yang teranyar kita mengenal Portugal dengan Cristiano Ronaldo, Perancis dengan Mbappe, Brazil dengan Neymar, dan Argentina dengan Messi.

Namun menaruh harapan pada satu orang sebetulnya terkesan tidak masuk akal, baik di era sepak bola klasik, terlebih lagi di era sepak bola modern sekarang ini. Permainan kolektif yang solid jauh lebih menentukan hasil sebuah laga ketimbang satu pemain dengan segala skill individunya.

Kita dapat melihat dari tiga gelaran Piala Dunia yang dibela Messi sebelumnya, bagaimana Argentina diremukkan oleh tim yang punya permainan kolektif lebih baik.

Di edisi 2010, Argentina dihancurkan oleh generasi emas Jerman di babak perempat final dengan skor 4-0. Ironisnya kala itu Argentina dilatih oleh legenda sepak bola mereka, Maradona.

Di tahun 2014, meski berhasil melaju ke babak final, Argentina harus mengakui keunggulan Jerman (lagi) yang mencetak gol satu-satunya lewat sepakan Mario Gotze.

Di tahun 2018, Jerman yang gagal lolos dari fase grup memang bisa bikin Argentina bernapas lega. Namun sialnya mereka malah harus menghadapi generasi emas Perancis dan memaksa mereka pulang.

Di tiga edisi gelaran Piala Dunia itulah terlihat Messi seperti 'bekerja sendirian'. Dan mungkin, dalam hatinya, Messi berharap ia bisa mendapatkan rekan setim yang akan mendukungnya seperti yang ia dapat di Barcelona.

Kehancuran Brazil di gelaran Piala Dunia 2014 yang dipermalukan Jerman dengan skor telak 7-1 di depan publik Brazil, juga performa yang tak menjanjikan di Piala Dunia tahun ini menunjukkan bahwa permainan kolektif sekarang lebih menentukan ketimbang seorang pemain bintang.

Bahkan Brazil pulang dari gelaran Piala Dunia tahun ini tanpa ada ribut-ribut, tanpa ada yang membicarakan mereka.

Bukti teranyar dapat kita lihat dari laga final tadi malam. Penghargaan yang diterima oleh tiga pemain Argentina (Messi, Enzo Fernandez dan Emiliano Martinez) dan satu pemain Perancis (hanya Mbappe) rasanya sudah cukup menjelaskan situasinya.

Hilangnya Kante dan Pogba di kubu Perancis, membuat laga final itu seperti laga Mbappe vs Argentina–meski di laga itu Perancis kalah lewat adu penalti.

Di gelaran Piala Dunia kali ini, kita dapat melihat bagaimana Messi tak lagi berlari sendirian. Di sekelilingnya selalu ada pemain-pemain yang mendukungnya. Yang akan siap menerima umpannya begitupun sebaliknya.

Kado terbesar Lionel Scaloni bagi Messi, bagi saya, bukanlah gelar Piala Dunia ini. Melainkan rekan-rekan setim yang mampu mendukung permainan Messi dan membuat 'sang juru selamat' menyadari bahwa ia tak lagi memikul beban itu sendirian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun