Di tahun 2018 silam Quiet Place hadir sebagai film yang menawarkan sesuatu yang berbeda. Film itu hadir dengan keheningan yang kuat sehingga bunyi embus napas pun seolah bisa terdengar.
Karena keheningan tersebut bunyi keras yang mendadak muncul sudah cukup membuat jantung para penonton bertabuh. Pola semacam ini sudah diperlihatkan sejak di scene awal dan langsung menghasilkan satu korban, sebagaimana film horor pada umumnya dimulai. Ya, selalu ada korban pertama.
Pola yang dengan tekun dijaga itu berhasil merampok perhatian penonton secara besar-besaran. Penonton film ini jelas membeludak, orang-orang pergi ke bioskop untuk menontonnya, untuk merasakan kekagetannya.
Selain menjual kekagetan, film ini sebenarnya juga menjual kekhawatiran. Di awal film penonton sudah diberitahu apa akibatnya menciptakan bunyi sekecil apa pun; alien yang sangat peka dengan suara akan berlari mengejar dan memangsa. Maka ketika para aktor berpotensi membikin bebunyian, penonton bakal langsung ditikam kekhawatiran, seraya sesekali mengumpat: "Duh, hati-hati dong."
Beberapa kritikus pun mengatakan bahwa film ini seolah ingin menggambarkan terenggutnya kebebasan bicara. Saya berpikir itu kelewat berlebihan, menganggapnya sebagai dua hal berbeda yang dicari-cari titik temunya. Dan di sekuelnya ini, saya rasa anggapan saya tak meleset.
Keheningan yang Hilang
Di film pertamanya, akhir cerita seolah menunjukkan bahwa film ini akan selesai di situ. Sang ayah berhasil menemukan peralatan yang bisa mengganggu para alien yang hanya mengandalkan indera pendengaran. Beberapa alien yang berhasil diundang pun bisa dibunuh dengan mudah. Film itu tuntas dengan diperlihatkannya bangkai alien yang isi kepalanya berhamburan di lantai.
Namun sebagaimana film laris lainnya, Hollywood akan mencari cara untuk membuatkan sekuelnya. Tujuannya jelas, untuk menarik perhatian penonton memanfaatkan ketenaran film prekuelnya. Tak sulit mencari contohnya. Fast Furious, misalnya, yang terus dieksploitasi sedemikian rupa hingga meninggalkan jati dirinya sebagai film balapan liar. Dan inilah yang terjadi pada Quiet Place.
Kau boleh saja bergembira dengan kehadiran sekuel film ini. Tapi sejujurnya saya sedih. Saya berharap hanya ada satu A Quiet Place tanpa ada embel-embel 2 atau bahkan 3.
Memang benar, pola lamanya masih dipertahankan di sini, tapi sentuhannya seperti banyak berkurang.
Di sekuelnya ini, si alien tak lagi malu-malu seperti di film sebelumnya, mereka lebih sering menampakkan diri, dan menebar teror layaknya film franchise Alien.
Dengan makin terangnya sosok alien di sini, film ini jadi makin berisik. Keheningan paripurna yang jadi andalan tak sanggup dipertahankan cukup lama hingga sampai di titik klimaks. Keheningan itu hadir seperti jeda singkat belaka sebelum serangan alien dilancarkan.
Dengan begini, film ini seolah kehilangan senjata mematikannya. Saya bahkan ragu sekuel selanjutnya--jika betulan terjadi--bakal diminati.
Plot Hole yang Makin Gede
Di film pertamanya tak diketahui dari manakah asal makhluk mengerikan tersebut. Lee yang mengumpulkan informasi lewat koran, memberi penonton petunjuk bahwa yang menyerang kota mereka adalah alien dan bukannya makhluk rekayasa genetika. Ini ditunjukkan lewat kliping koran yang ia tempel di papan dengan headline: "Alien Invansion."
Di sekuelnya ini, ditunjukkan alien itu berasal dari meteor yang jatuh dengan ukuran yang cukup besar (cukup mengherankan meteor sebesar itu tak menciptakan ledakan yang meluluhlantakkan kota). Tak lama setelahnya, alien tahu-tahu saja sudah berada di kota dan memangsa orang-orang.
Jika di film pertamanya ditunjukkan bahwa meteor-meteor tersebut jatuh di berbagai tempat. Film sekuelnya mempertegas lewat siaran televisi yang merekam jatuhnya meteor di tempat lain. Tak lama di dekat kota mereka, meteor juga jatuh dan dibarengi dengan serangan.
Anggaplah meteor itu jatuh di hari yang sama. Jika benar begitu, bagaimana Lee bisa mengumpulkan informasi soal alien dari surat kabar. Apakah di saat semua orang diserang oleh alien, masih ada orang yang selamat dan masih sempat-sempatnya menulis berita yang mengabarkan kecenderungan si alien bertindak? Dan masihkah ada yang mau berjualan koran di kota yang diinvansi alien? Sungguh absurd gagasan tersebut jika betulan begitu.
Lagipula serangan tersebut sudah berlangsung selama setahun lebih, namun mengherankan sekali mereka masih bisa mendapatkan makanan untuk sehari-hari; dan di sekuel film ini pun, jawaban tersebut tetap tak ditemukan.
Maka dari itu, jika kau berminat menonton film ini, sebaiknya tak terlalu banyak bertanya. Maklumi saja kejanggalan yang muncul dan jangan banyak berpikir. Jaga pandangan tetap ke layar, nikmati ketegangannya, dan kau bakal terhibur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H