Quarantine Tales rilis di bioskoponline.com pada tanggal 18 Desember lalu. Film ini merupakan film omnibus. Artinya, film ini terdiri dari beberapa film pendek dengan tema serupa. Di Quarantine Tales sendiri tema utamanya adalah soal bagaimana manusia dengan berbagai latar belakang, merespon pandemi Covid-19.
Ada lima film pendek dari lima sutradara di dalamnya. Ada Dian Sastro Wardoyo dengan film debutnya. Sisanya diisi nama-nama lawas yang sudah lama berkecipung di dunia perfilman.
Setelah menonton film ini sebanyak dua kali, saya akhirnya memutuskan memberikan peringkat kelima film itu. Rating yang saya berikan dimulai dari film yang menurut saya 'b-aja' sampai film yang layak diberi tepuk tangan meriah. Berikut peringkatnya:
#5 Nougat
Film ini merupakan film debut Dian Sastro Wardoyo sebagai sutradara. Ada tiga tokoh di sini dan semuanya adalah perempuan. Ubay sebagai si sulung yang mandiri, diperankan oleh Marissa Anita. Lalu Ajeng sebagai si anak tengah yang introvert akut diperankan oleh Adinia Wirasti. Terakhir Deno sebagai si bungsu yang manja dan nangisan diperankan oleh Faradina Mufti.
Garis besar film ini menggambarkan bagaimana hubungan ketiga kakak-beradik ini sebagai keluarga. Tinggal sekota namun tak pernah lagi bisa kumpul, bisa diartikan lunturnya keutuhan mereka sebagai sebuah keluarga sejak kedua orangtua mereka meninggal. Ada empat lini masa di sini. Tahun 2010, 2013, 2018, 2020.
Keempat linimasa itu menggambarkan bagaimana hubungan keluarga dari tahun ke tahun semakin renggang. Puncaknya ketika Ajeng mengeluhkan naiknya PBB rumah peninggalan orangtua yang tak dapat ditanggungnya lagi. Ajeng mengharapkan solusi, tetapi Ubay justru menyarankan untuk menjual rumah itu karena mengikuti saran suaminya yang patriarki. Ajeng menolak keras. Menjual rumah dianggapnya sebagai menjual kenangan yang dulu pernah menyatukan mereka.
Judul film ini sendiri diambil dari jenis es krim, nougat, yang menjadi bagian kenangan mereka semasa kecil dulu. Nougat inilah yang setidaknya merekatkan kembali hubungan mereka di akhir cerita.
Untuk sebuah film pendek, Nougat terlihat dipaksakan. Konflik yang diusungnya cukup kompleks, tak muat dimampatkan ke dalam film yang durasinya hanya sekitar dua-puluh menitan.Â
Banyak sekali perasaan-perasaan yang tak sampai ke benak saya dan meninggalkan bekas. Hal ini logis belaka, mengingat ada tiga tokoh sentral di sana.Â
Untuk berempati, sebagai penonton, saya perlu mengenal latar belakang setiap tokoh di situ, juga tradisi-tradisi keluarga mereka. Saya perlu memahami kenapa suatu momen jadi penting---di film ini wisudanya Deno---tanpa perlu mengetahui dari cerita para tokohnya. Nougat seperti tak punya cara lain untuk menyampaikan alasan tersebut selain lewat dialog belaka.
Lagipula, saya tak melihat kaitannya Nougat dengan pandemi Covid-19 yang menjadi tema besar di antologi film ini. Memang ada jarak di antara ketiga tokohnya yang bikin mereka mesti memanfaatkan tekologi macam Skype atau Video-Call atau Zoom. Namun jarak itu sudah ada sebelum pandemi tiba.
#4 Prankster
Film berikutnya adalah film karya Jason Iskandar, sutradara yang kabarnya bakal merilis film panjang perdananya berjudul Akhirat: A Love Story di tahun 2021.
Prankster mengusung genre thriller. Ceritanya soal seorang Youtuber, bernama Didit yang gemar nge-prank. Salah satu korbannya adalah Aurel, seorang Youtuber juga yang punya passion membuat kue.
Cerita di film ini rapat dan rapi. Di awal-awal penonton disuguhi aksi Didit nge-prank Aurel lagi. Lagi? Ya, karena itu bukan kali pertamanya.
Didit pernah nge-prank Aurel ketika ia diundang Aurel untuk ikutan masak di dapurnya. Didit mencampurkan SLS (Sodium Lauryl Sulfate) atau yang lebih kita kenal sebagai detergen di toples gula pasir . Gula yang tercampur dengan SLS dijadikan bahan membuat kue oleh Aurel. (Btw, pas dikocok adonan kuenya apa gak berbusa ya kalau dicampur itu?)
Film ini ditutup dengan twist yang cukup klise. Namun tidak hanya itu yang membuat saya menaruh film ini di peringkat keempat. Ada lagi? Ya, meski rapi, dan akting kedua tokohnya (Roy Sungkono dan Windy Apsari) cukup apik; kaitannya dengan tema besar dari Quarantine Tales kurang tebal.Â
Memang di masa pandemi, banyak publik figur lebih sering mengadakan live streaming untuk konten mereka di Youtube. Jika hanya mengacu pada itu, film ini sudah terhubung dengan tema besarnya.Â
Namun jika melihat dari cerita yang diusung, saya merasa film ini masih kalah telak dengan tiga film selanjutnya yang lebih nyambung dengan tema besarnya.
#3 Cook Book
Coba bayangkan jika pandemi ini mematikan seluruh manusia, kecuali dua orang saja (satu pria dan satu perempuan). Inilah gagasan yang diusung di film Cook Book, besutan Ifa Isfansyah.
Ifa Isfansyah merupakan salah satu sutradara yang karyanya cukup sering saya ikuti, sejak menonton filmnya yang berjudul Rumah dan Musim Hujan (Hoax). Karena ada nama beliaulah saya jadi tertarik menonton Quarantine Tales.
Kisah dalam Cook Book berpusat pada kehidupan seorang chef bernama Halim yang sedang menyelesaikan buku resep, selama masa penjarakan sosial.Â
Waktu yang luang membuatnya mampu menyelesaikan buku resep yang selama ini terbengkalai karena kesibukan. Chef Halim yang tak keluar rumah selama entah berapa hari, hanya berkomunikasi dengan Pak Haryo---pihak penerbit yang bakal menerbitkan buku resepnya---lewat Zoom.
Chef Halim dan Pak Haryo tak hanya membahas soal buku resep yang bakal diterbitkan, melainkan juga soal pandemi dan bahayanya jika tak kunjung diatasi, kepunahan umat manusia bakal tak terelakkan.
Setelah obrolan itu, muncul keganjilan yang membuat jalinan cerita di film ini jadi cacat. Keganjilan itu muncul ketika chef Halim dihubungi oleh seorang gadis SMA yang entah berada di belahan dunia bagian mana, lewat Zoom.Â
Gadis itu berkata, mereka adalah dua orang terakhir di dunia, hanya merekalah harapan umat manusia. Chef Halim tak mempercayainya, namun ia tak melakukan apa pun untuk membela keyakinannya itu di hadapan penonton. Justru yang dilakukannya adalah menikmati kisah cinta jarak jauhnya dengan gadis belia itu, melalui Zoom.
Saat menyaksikan itu, di kepala saya terbit beberapa pertanyaan terkait logika cerita. Salah satu yang paling mendasar, bagaimana mereka masih bisa asyik mahsyuk pacaran via Zoom sementara hanya ada mereka berdua saja di dunia ini? Bukankah teknologi manusia juga bakalan punah ketika manusia telah punah?
Namun di akhir cerita kita tahu bahwa semua itu ternyata teeeet. Dan gadis itu ternyata teeeet chef Halim. Semuanya jadi masuk akal setelah saya mengetahuinya. Beruntung Pak Haryo buru-buru menolak teeeet itu dengan alasan yang tepat. Karena saya pun yakin teeeet itu adalah teeeet yang buruk.
Saya menaruh film ini di urutan ketiga, karena dua film selanjutnya memiliki tema lebih kuat soal pandemi dibandingkan film ini.
#2 The Protocol
Loz Jogjakartoz dan Natalan adalah dua film pendek karya Sidharta Tata yang sudah pernah saya tonton sebelumnya. Dari dua film itulah, saya jadi penasaran, The Protocol bakal seperti apa, kisah apa yang bakal disampaikannya.
Sama seperti Loz Jogjakartoz, film ini juga menjadikan penjahat sebagai lakon utamanya, mengingatkan saya pada film-filmnya Quentin Tarantino. Di film ini Sidharta Tata seperti ingin memamerkan kegoblokan penjahat, seolah ingin bilang, penjahat juga takut hantu, juga takut tertular virus yang jadi momok di awal tahun ini.
Cerita The Protocol sederhana belaka. Film ini bercerita soal seorang perampok yang berusaha menguburkan mayat rekannya yang tiba-tiba tewas setelah mengalami gejala-gejala Covid-19. Ia ingin menguburkan mayat temannya itu supaya tak lagi digentayangi arwah penasaran.
Kesederhanaan itu dilengkapi komedi yang mampu bikin kita tertawa. Humor yang ditawarkan betulan lucu. Bukankah memang menyenangkan melihat penderitaan dan kerepotan orang lain? Apalagi jika orang itu penjahat. Hehe...
Di ending film ini mungkin terkesan seperti iklan himbauan pemerintah di televisi soal kepatuhan mengikuti protokol kesehatan. Namun percayalah, film ini jauh lebih menarik ketimbang itu.
#1 Happy Girl Don't Cry
Di posisi puncak, saya memilih film besutan Aco Tenri. Film dibuka dengan adegan ketika ayahnya Adin---nama tokoh utama di film ini---sedang ditagih oleh penagih utang. Jika tak segera membayar, motor mereka bakal disita. Karena pandemi, ayah Adin kehilangan pekerjaannya dan sudah menganggur selama lima bulan.
Sejak dimulai film ini menghadirkan ironi yang getir. Bayangkan, kau mesti tampil ceria, di kondisi terpuruk semacam itu, demi sebuah konten yang bakal kau ikutkan give away. Dan gambaran inilah yang dihadirkan oleh Adin.
Konflik keluarga itu timbul setelah Adin berhasil memenangkan iMac. Ayah Adin bermaksud menjual iMac itu bahkan ketika barang itu barusan datang, demi melunasi utang-utangnya. Adin bersikeras menolak. Perdebatan pun tak terhindarkan.
"Setiap anak berhak memiliki orangtua, tapi tak semua orangtua berhak memiliki anak." Barangkali film ini berangkat dari pepatah tersebut. Film ini menunjukkan bagaimana manipulatifnya ayah dan ibu Adin saat membujuk Adin untuk menjual iMac itu. Bahkan mereka menganggap Adin sebagai anak durhaka.
Film ini diakhiri dengan ironi seperti di awal film. Tidak ada adegan-adegan heroik. Bahkan adegan heroik yang dilakukan Adin saat akan minggat sambil menenteng iMac-nya, ditebas seketika dengan ironi yang tak kalah pahit. Inilah yang membuat film ini mendapat tempat pertama di hati saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H