Loz Jogjakartoz dan Natalan adalah dua film pendek karya Sidharta Tata yang sudah pernah saya tonton sebelumnya. Dari dua film itulah, saya jadi penasaran, The Protocol bakal seperti apa, kisah apa yang bakal disampaikannya.
Sama seperti Loz Jogjakartoz, film ini juga menjadikan penjahat sebagai lakon utamanya, mengingatkan saya pada film-filmnya Quentin Tarantino. Di film ini Sidharta Tata seperti ingin memamerkan kegoblokan penjahat, seolah ingin bilang, penjahat juga takut hantu, juga takut tertular virus yang jadi momok di awal tahun ini.
Cerita The Protocol sederhana belaka. Film ini bercerita soal seorang perampok yang berusaha menguburkan mayat rekannya yang tiba-tiba tewas setelah mengalami gejala-gejala Covid-19. Ia ingin menguburkan mayat temannya itu supaya tak lagi digentayangi arwah penasaran.
Kesederhanaan itu dilengkapi komedi yang mampu bikin kita tertawa. Humor yang ditawarkan betulan lucu. Bukankah memang menyenangkan melihat penderitaan dan kerepotan orang lain? Apalagi jika orang itu penjahat. Hehe...
Di ending film ini mungkin terkesan seperti iklan himbauan pemerintah di televisi soal kepatuhan mengikuti protokol kesehatan. Namun percayalah, film ini jauh lebih menarik ketimbang itu.
#1 Happy Girl Don't Cry
Di posisi puncak, saya memilih film besutan Aco Tenri. Film dibuka dengan adegan ketika ayahnya Adin---nama tokoh utama di film ini---sedang ditagih oleh penagih utang. Jika tak segera membayar, motor mereka bakal disita. Karena pandemi, ayah Adin kehilangan pekerjaannya dan sudah menganggur selama lima bulan.
Sejak dimulai film ini menghadirkan ironi yang getir. Bayangkan, kau mesti tampil ceria, di kondisi terpuruk semacam itu, demi sebuah konten yang bakal kau ikutkan give away. Dan gambaran inilah yang dihadirkan oleh Adin.
Konflik keluarga itu timbul setelah Adin berhasil memenangkan iMac. Ayah Adin bermaksud menjual iMac itu bahkan ketika barang itu barusan datang, demi melunasi utang-utangnya. Adin bersikeras menolak. Perdebatan pun tak terhindarkan.
"Setiap anak berhak memiliki orangtua, tapi tak semua orangtua berhak memiliki anak." Barangkali film ini berangkat dari pepatah tersebut. Film ini menunjukkan bagaimana manipulatifnya ayah dan ibu Adin saat membujuk Adin untuk menjual iMac itu. Bahkan mereka menganggap Adin sebagai anak durhaka.
Film ini diakhiri dengan ironi seperti di awal film. Tidak ada adegan-adegan heroik. Bahkan adegan heroik yang dilakukan Adin saat akan minggat sambil menenteng iMac-nya, ditebas seketika dengan ironi yang tak kalah pahit. Inilah yang membuat film ini mendapat tempat pertama di hati saya.