Mohon tunggu...
M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Membaca dan menulis apa saja yang terlintas di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seutas Kritik Terhadap Kecenderungan Revivalisme Kebudayaan

10 Juli 2024   09:30 Diperbarui: 10 Juli 2024   10:37 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kebudayaan Sumber Gambar: www.123rf.com

Budaya sesungguhnya memiliki pengertian yang sangat luas dan kompleks. Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat mendefinisikan budaya sebagai suatu pola hidup menyeluruh. Budaya turut menentukan pola perilaku komunikatif masyarakat. Unsur-unsur sosial-budaya tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Budaya adalah suatu yang inheren (menyatu) dalam kehidupan masyarakat.

Meski budaya bersifat inheren, dimana eksistensinya niscaya mengada dalam keseharian masyarakat bahkan diwariskan secara turun-temurun sebagai suatu yang superorganic namun banyak kekhawatiran bahwa budaya akan punah, hilang, tidak lestari sehingga mesti dilestarikan, diuri-uri, difestivalkan, dipikirkan dalam kongres-kongres, seminar dan simposium kebudayaan. 

Padahal kebudayaan memiliki dimensi makna dan pengertian yang sangat luas dan abstrak sehingga seminar-seminar kebudayaan atau acara-acara pelestarian kebudayaan seringkali hanya mampu merepresentasikan secuil makna kebudayaan kalau bukan sekadar mereduksi esensi kebudayaan itu sendiri. Sebab nyaris mustahil esensi dan makna budaya bisa dibahas secara menyeluruh dalam suatu seminar yang singkat dan terbatas waktunya.

Dengan demikian sesungguhnya budaya memiliki daya yang liat dan adaptif terhadap perkembangan zaman selama nilai-nilai kebudayaan itu sendiri diakui dan dipraktikkan dalam laku keseharian manusia secara rasional. Dengan demikian, apakah "niat baik" untuk nguri-uri, membikin hajatan festival budaya demi melestarikan nilai budaya bahkan seminar untuk memikirkan budaya itu sendiri justru tidak terjebak pada simplifikasi, reduksi dan subordinasi makna budaya yang sangat kompleks?

Bukan berarti merayakan dan memikirkan budaya dalam festival dan seminar sudah pasti keliru namun seringkali tidak memadai bahkan hanya menjadi perayaan yang dangkal, dibuat-buat, jika perayaan dan pemikiran budaya itu sendiri tidak menjadi bagian integral, bagian yang organik yang tercermin dalam laku keseharian masyarakatnya. 

Dengan kata lain, festival budaya dan seminar itu sesungguhnya hanyalah konsekuensi turunan, akibat, suatu yang ada sebagai bagian dari kenyataan budaya bukan justru mensubordinasi budaya seolah nilai-nilai budaya perlu dihidupkan lagi, disantuni, ditolong, yang seringkali pandangan revivalis seperti itu justru menjebak pada kecenderungan kemegahan berpikir yang melupakan esensi bahwa yang lebih penting dalam kebudayaan adalah bagaimana mewujudkan praksis nilai-nilai kebudayaan dalam keseharian bukan hanya merayakan, memanen, meritualkan budaya tanpa praksis yang nyata.

Aprinus Salam dalam suatu artikelnya di harian Kedaulatan Rakyat berjudul, Kebudayaan Tidak Perlu Dipikirkan (2012) mengungkapkan bahwa kebudayaan tidak perlu dipikirkan karena kebudayaan secara otomatis dan inheren merupakan praktik kehidupan sehari-hari. Aprinus mengungkapkan bahwa persoalannya kini bukan bagaimana memikirkan kebudayaan itu sendiri melainkan bagaimana seharusnya kita belajar dan bekerja dengan kreatif, bebas dan sportif melalui penerapan mekanisme etika serta norma secara proporsional. 

Dengan kata lain, Aprinus mengingatkan bahwa apa yang selama ini kita lakukan dengan berbagai kegiatan budaya yang dibanggakan dengan label nguri-uri budaya seringkali tanpa ada progresi terhadap substansi dan esensi budaya itu sendiri, tidak ada upaya pendalaman dan pencapaian dalam sebuah kerja sistematis. Kita justru terjebak dengan nostalgia dan kecanggihan serta glorifikasi budaya masa lalu tanpa upaya memodifikasi sesuai perkembangan zaman.

Lantas ketika budaya hanya menjadi klangenan dan nostalgia masa silam, seringkali esensi budaya, yang seharusnya inheren dalam praktik keseharian, menjadi stagnan, mandek dan tidak relevan dengan perubahan zaman. Budaya menjadi jumud, kaku, lamban dan tertutup karena tidak dimodifikasi dan dikoherensikan kembali sesuai tuntutan zaman. Pada akhirnya kebudayaan tidak menjadi faktor inheren yang mendorong dan mendeterminasi progresi rencana-rencana kerja sistematis sehingga fungsi kebudayaan jadi kian mengawang dan hanya dianggap petuah bijak dan himbauan dari masa silam. 

Bahkan esensi kebudayaan kian menyempit dan dangkal ketika negara meletakkannya sebagai subordinasi pembangunan bercorak teknokratis atau bahkan hanya menjadi 'burung' yang terkurung dalam etalase 'sangkar emas' eksostisme yang dijajakan dalam industri pariwisata.

 Pada akhirnya memang kebudayaan hanya menjadi objek dalam ruang etalase pariwisata massa (mass tourism) dimana eksostisme dan fetisisme budaya dikemas kemudian dijual sekadar sebagai objek 'barang dagangan' yang berorientasi pada pencapaian kuantitas (bukan kualitas) sebagai ukuran kesuksesan. Dalam skala persoalan kehidupan lebih luas, kebudayaan cenderung dipersepsikan sebatas wilayah tanggungjawab sektoral semata karena budaya dianggap sebagai non-faktor, dianggap tidak inheren dalam berbagai persoalan keseharian. 

Ketika nilai budaya hanya dipahami secara dangkal maka di dalam strategi kebijakan sosial seringkali nilai-nilai budaya dianggap tidak implementatif, terlalu bombastis, kurang realistis dan tidak operasional. Substansi kebudayaan tidak diperhitungkan dalam peta kebijakan yang kian pragmatis.

Esensi Budaya: Bukan Sekadar Objek Kenikmatan 

Apalagi kini ketika budaya hanya dipahami secara sempit dalam frame budaya massa dan gaya hidup instan, seringkali budaya tidak lebih hanya menjadi objek kenikmatan (baca:konsumsi). Budaya hanya menjadi alat sejauhmana fungsinya bisa dimanfaatkan namun tidak disadari dan dipelajari bagaimana ia diciptakan dalam proses panjang. Dengan demikian, esensi budaya hanya dimaknai sebatas barang instan, siap saji, buah masak dan bukan proses kesadaran dan pola tindakan yang dinamis dan panjang. 

Padahal menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan dan tindakan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan belajar. Dengan demikian, kebudayaan ketika diaplikasikan dalam kenyataan keseharian dan menjadi kata kerja tentu tidak bisa dilakukan dengan instan karena mengharuskan proses panjang mulai dari pergulatan ide, sistem gagasan serta tindakan.

Namun realitasnya kini makna kebudayaan cenderung mengalami pendangkalan. Makna kebudayaan cenderung terdistorsi dari esensinya sehingga tidak lagi dipahami sebagai proses pendayagunaan akal-budi namun lebih sebagai barang jadi. Padahal esensi budaya adalah proses berpikir, belajar dan berproses mengolah sesuatu. Budaya adalah proses kreatif mengolah kesadaran, menemukan karya organik, orisinal, indigenous, dengan kerja aktif pendayagunaan akal-budi dan bukan semata hasil imitasi, template dan duplikasi.

Ketika kebudayaan tidak lagi dipahami sebagai bagian dari proses dinamika persoalan empiris maka kebudayaan cenderung telah kehilangan elan vitalnya. Kita tahu kini kebudayaan tidak lagi menjadi variabel determinan dalam strategi pembangunan di negeri ini. Bahkan seringkali peran kebudayaan dianggap tidak implementatif, kurang realistis dan tidak operasional. Kebudayaan cenderung tidak diperhitungkan dalam peta pembangunan. 

Nilai-nilai kebudayaan tidak di-breakdown dalam rencana-rencana konkret sehingga fungsinya kian mengawang bahkan menyempit ketika negara meletakkannya dalam skala departemental atau bahkan hanya menjadi etalase pariwisata dan ekstase hiburan massa semata. Alih-alih meletakkannya dalam suatu kesadaran akan tantangan keberlangsungan suatu peradaban.

Meski demikian, kita juga tahu bahwa diskursus soal kebudayaan cenderung kurang mendapatkan porsi substantif dalam ruang publik. Justru saat ini kita cenderung terjebak pada perdebatan reaktif dan parsial yang penuh kegaduhan (daripada mencari solusi bersama) dalam memandang berbagai persoalan kompleks dan multidimensional. Sebab nilai-nilai kebudayaan telah kehilangan aktualitas dan relevansinya dalam laku keseharian. 

Budaya telah hilang dari kesadaran dan mentalitas kebanyakan orang dalam mengatasi persoalan material dan idealnya di keseharian. Tak bisa dipungkiri telah terjadi dekadensi atau kemerosotan nilai-nilai kebudayaan. Mudah sekali kita terseret arus, bagaikan buih dan berperilaku seperti orang fomo yang hanya mengikuti tren arus budaya massa tanpa tahu parameter nilai-nilai kepatutan dan kewajaran.

Seberapa perlunya nilai-nilai kebudayaan dalam sebuah masyarakat modern yang cenderung pragmatis dan beriorientasi pada tercapainya proyek jangka pendek dan bukan suatu visi jangka panjang. Memang kebudayaan tidak serta merta aplikatif dan secara instan dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan hari ini yang serba pragmatis. Apalagi di tengah keseharian kita dimana bahasa intelektual yang kering lebih mendominasi ruang diskursus daripada bahasa kebudayaan yang cair, dinamis, menyeluruh dan humanis.

Kebudayaan dalam masyarakat kita hari ini juga cenderung tidak menjadi inspirasi pola pikir dan dasar pertimbangan utama dalam laku keseharian. Bahasa intelektual yang kering lebih mendominasi ruang diskursus daripada bahasa budaya yang lebih cair, menyeluruh, manusiawi (humanis) dan mengandung dimensi pandangan yang visioner. Barangkali sudah cukup kita memaknai kebudayaan sekedar sebagai sebuah pertunjukan, ritual dan seremoni. 

Budaya adalah festival, panggung ketoprak, lukisan absurd, museum dan barang antik. Sementara pertanian, perdagangan, politik, hingga pendidikan, tidak kita maknai sebagai kerja-kerja kebudayaan sehingga unsur manusiawi dan visi kebudayaan 'ketlingsut' dalam formalisme berlebihan dan ego sektoral yang melingkupi manajemen dan kebijakan sosial kehidupan kita sehari hari.

Akibatnya, kolektifitas kita sebagai bangsa juga semakin mengendur. Segala persoalan bangsa cenderung kita persepsikan sebagai wilayah tanggungjawab departemental-sektoral semata. Dan visi kita sebagai bangsa dewasa ini meminjam pendapat budayawan Emha Ainun Nadjib, hanya mampu mamandang sejauh pemilu dan kepentingan politik terdekat, 'sejauh 2024' atau kelipatannya. Siapakah yang akan menjabat presiden mendatang? Bukan berpikir "Apa yang seharusnya kita lakukan dalam jangka panjang sebagai bangsa yang besar nantinya."

 

Referensi:

Mulyana Deddy dan Rakhmat Jalaluddin. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Bandung: Rosda, 2005

Budaya--Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas

Aprinus Salam. Kebudayaan Tidak Perlu Dipikirkan. Rubrik Opini, Harian Kedaulatan Rakyat, 3-Juli-2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun