Kebudayaan dalam masyarakat kita hari ini juga cenderung tidak menjadi inspirasi pola pikir dan dasar pertimbangan utama dalam laku keseharian. Bahasa intelektual yang kering lebih mendominasi ruang diskursus daripada bahasa budaya yang lebih cair, menyeluruh, manusiawi (humanis) dan mengandung dimensi pandangan yang visioner. Barangkali sudah cukup kita memaknai kebudayaan sekedar sebagai sebuah pertunjukan, ritual dan seremoni.Â
Budaya adalah festival, panggung ketoprak, lukisan absurd, museum dan barang antik. Sementara pertanian, perdagangan, politik, hingga pendidikan, tidak kita maknai sebagai kerja-kerja kebudayaan sehingga unsur manusiawi dan visi kebudayaan 'ketlingsut' dalam formalisme berlebihan dan ego sektoral yang melingkupi manajemen dan kebijakan sosial kehidupan kita sehari hari.
Akibatnya, kolektifitas kita sebagai bangsa juga semakin mengendur. Segala persoalan bangsa cenderung kita persepsikan sebagai wilayah tanggungjawab departemental-sektoral semata. Dan visi kita sebagai bangsa dewasa ini meminjam pendapat budayawan Emha Ainun Nadjib, hanya mampu mamandang sejauh pemilu dan kepentingan politik terdekat, 'sejauh 2024' atau kelipatannya. Siapakah yang akan menjabat presiden mendatang? Bukan berpikir "Apa yang seharusnya kita lakukan dalam jangka panjang sebagai bangsa yang besar nantinya."
Â
Referensi:
Mulyana Deddy dan Rakhmat Jalaluddin. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Bandung: Rosda, 2005
Budaya--Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas
Aprinus Salam. Kebudayaan Tidak Perlu Dipikirkan. Rubrik Opini, Harian Kedaulatan Rakyat, 3-Juli-2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H