Jakarta. Fadjroel Rachman secara resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo menjadi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh Republik Indonesia untuk Republik Kazakstan merangkap Republik Tajikistan pada Senin 25 Oktober 2021 lalu. Yang menarik di sini adalah posisi atau jabatan yang dipegang oleh Fadjroel otomatis akan digantikan oleh orang lain, yakni jabatan sebagai Juru Bicara Presiden.Â
Beragam diskursus pun bermunculan, publik mulai riuh memperdebatkan siapa sosok yang layak atau lebih baik untuk menggantikan posisi Jubir Presiden yang ditinggalkan oleh Fadjroel tadi. Nama-nama familiar pun bermunculan, mulai dari Tenaga Ahli KSP Ali Mochtar Ngabalin hingga politisi PDIP Adian Napitupulu.
Tak hanya riuh soal siapa pengganti yang cocok untuk posisi Jubir Presiden, beberapa kalangan bahkan mempersoalkan urgensi daripada posisi atau jabatan Jubir Presiden itu sendiri. Seperti yang disampaikan oleh politisi PDIP Djarot Saiful Hidayat yang mengusulkan agar tugas dan fungsi Jubir dialihkan saja pada Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) atau Sekretaris Kabinet (Seskab).Â
Alasan Djarot mengusulkan hal tersebut ialah supaya tidak terjadi tumpang tindih dalam menyampaikan informasi terkait kebijakan yang diambil oleh presiden. Djarot mengacu pada apa yang diterapkan dalam pemerintahan Bung Karno dan Pak Harto.
"Pengalaman di masa sebelumnya Bung Karno menunjuk Pak Ruslan Abdulgani dengan sebutan Jubir Usman yang diberikan tugas khusus untuk menyampaikan kebijakan Bung Karno tentang Manipol Usdek. Sedangkan pada masa Soeharto, Pak Moerdiono (Mensesneg) ditunjuk sebagai Jubir Presiden untuk menyampaikan informasi terkait dengan kebijakan presiden dan hasil rapat kabinet," ujarnya dikutip dari Tribunnews.com.
Juru Bicara Presiden Republik Indonesia adalah salah satu posisi dalam lingkup Staf Presiden Republik Indonesia yang bertugas untuk menyampaikan komentar dan keterangan atas nama presiden. Juru Bicara Presiden dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada presiden.Â
Beberapa dari kita mengenal nama-nama yang pernah mengemban posisi Jubir ini, meskipun beberapa di antaranya tidak spesifik menyebut dirinya sebagai Jubir, melainkan hanya memberikan komentar atas nama presiden. Selain Jubir Usman zamannya Bung Karno dan Pak Moerdiono zamannya Pak Harto, kita tentu mengenal nama-nama seperti Wimar Witoelar dan Adhie Massardi (Jubir Presiden era Abdurrahman Wahid), Andi Mallarangeng dan Dinno Patti Djalal (Jubir Presiden era Susilo Bambang Yudhoyono), hingga yang terbaru adalah Johan Budi dan Fadjroel Rachman (Jubir Presiden era Joko Widodo).
Kapabilitas Jubir  Â
Menurut hemat penulis, menjadi Juru Bicara Presiden harus memiliki kapabilitas yang mumpuni dalam proses penyampaian pesan atau keterangan yang mengatasnamakan presiden. Sosok Jubir yang kompeten adalah menguasai segala latar belakang, arah dan tujuan daripada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Jubir yang kompeten adalah yang meluruskan mispersepsi, bukan menjadi biang daripada mispersepsi itu sendiri.Â
Jangan sampai apa yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Jubirnya sendiri. Blunder-blunder yang selama ini terjadi jangan sampai terulang, seperti yang terjadi pada dua kasus, yaitu kasus larangan mudik dua tahun belakangan (2020-2021) yang memperdebatkan hal-hal tak substansial seperti perbedaan istilah "pulang kampung" dengan "mudik," dan persoalan ucapan Presiden Joko Widodo mengenai "Bipang Ambawang" yang turut menjadi kontroversi, di mana Fadjroel Rachman sebagai seorang Jubir Presiden gagal memahami dan menyampaikan konteks yang diucapkan oleh Presiden Joko Widodo saat itu, malah menyampaikan sejumlah cuitan Twitter yang tak ada hubungannya sama sekali dengan isu yang dipermasalahkan.
Persamaan persepsi antara komunikator dengan komunikan adalah kunci utama dari proses komunikasi yang baik. Ibarat kata "isi kepalanya harus disamakan terlebih dahulu" barulah bisa disampaikan kepada publik selaku komunikan yang menerima pesan berupa pesan-pesan politik kebijakan dari pemerintah sebagai komunikator.Â
Selain persamaan persepsi, hal yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana isi daripada pesan-pesan yang ingin disampaikan tersebut harus tuntas (clear) terlebih dahulu. Jangan sampai isi pesannya masih ambigu sudah terlanjur disampaikan kepada publik, terlebih lagi akan sangat fatal apabila isi pesan yang ambigu tersebut disampaikan dengan berbagai persepsi yang membingungkan, semua menteri atau lembaga negara mempunyai persepsinya masing-masing, walhasil masyarakat akan semakin bingung dan isi dari pesan tersebut tak akan pernah tersampaikan dengan baik.
Seorang Jubir juga harus responsif, hadir di tengah-tengah publik untuk menjelaskan dengan tuntas apabila terdapat kesalahpahaman mengenai pesan-pesan politik yang disampaikan oleh pemerintah. Seorang Jubir juga harus bisa menjawab berbagai pertanyaan dari publik, sehingga kehadirannya dan pernyataannya tidak menimbulkan kebingungan. Karena apabila kehadiran seorang Jubir di tengah publik justru membuat kita masyarakat semakin bingung, akibatnya akan sangat fatal, yaitu isi pesan yang tak tersampaikan akan menjadi bola liar yang bisa ditarik kemana saja dan menimbulkan kegaduhan, termasuk kegaduhan dalam implementasi kebijakan publik di lapangan, seperti apa yang terjadi dalam kasus larangan mudik tadi.
Dengan demikian, sejatinya publik mayoritas tak akan mempersoalkan personality (sosoknya) dari siapapun yang akan menggantikan seorang Fadjroel Rachman sebagai Juru Bicara Presiden Republik Indonesia. Tentu dengan catatan, harus memiliki kapabilitas dan kemampuan sesuai dengan apa yang telah dijabarkan tadi. Publik atau masyarakat Indonesia hanya ingin mendapatkan sebuah informasi atau pesan yang clear, yang penyampaiannya satu persepsi, dan isi substansinya jelas serta berdampak positif terhadap kehidupan masyarakat.Â
Terlebih dalam situasi sulit seperti pandemi Covid-19 saat ini, sedikit kegaduhan saja akan menimbulkan efek yang sangat fatal. Jangan sampai masyarakat yang sudah terdampak akibat kebijakan-kebijakan selama pandemi, dibuat frustrasi oleh pernyataan-pernyataan pejabat publik yang membingungkan. Dalam konteks inilah seorang Jubir Presiden memainkan perananannya, bagaimana ia bisa menyampaikannya dengan lugas, komunikasinya adaptif terhadap berbagai golongan masyarakat, integritasnya terjamin, pengetahuannya cakap, dan tidak melakukan blunder fatal. Tentu selain harus ada upaya dalam memperbaiki komunikasi publik pemerintahan secara keseluruhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H