***
Sekitar jam satu siang, rombongan tamu dari Pattani telah tiba. Mereka berjumlah dua puluh orang. Di antaranya ada beberapa wanita dan anak-anak. Pemimpin rombongan berjalan paling depan dan mengenakan pakaian serba putih dan kopiah ala orang Melayu. Walau tampak lelah setelah menempuh perjalan jauh, wajah mereka tetap berseri-seri dan terlihat bahagia.
Mereka disambut dengan Tari Pasambahan[7] di pintu gerbang pondok pesantren. Kemudian, mereka dibawa ke aula utama pondok untuk dijamu makan siang.Â
Tampak mereka makan dengan sangat lahap dan begitu menikmatinya. Beberapa di antara mereka berkali-kali melontarkan pujian terhadap makanan yang disajikan. Ketika ada yang memuji kelezatan lamang tapai, Buya Yasril nampak puas dan berseri-seri. Ternyata lamang buatannya juga terasa lezat, tak kalah lah dengan lamang Uda Ramli. Setelah jamuan makan usai, para tamu dipersilahkan untuk beristirahat di kamar-kamar yang telah disediakan.Â
Pada malam harinya diadakan dialog terbuka. Dimulai oleh Buya Yasril Hasbullah sebagai pimpinan pondok pesantren. Ia menceritakan secara panjang lebar tentang pondok pesantren, mulai dari sejarah berdirinya, visi-misi, sistem pendidikan, keunggulan dan prestasi, jumlah santri, para alumni, hingga perkembangan dan kondisi saat ini. Termasuk pula kendala-kendala dan masalah yang sedang dihadapi.
Pada masa Tanam Paksa pendudukan Belanda, kakeknya melarikan diri dengan menumpang kapal dagang yang hendak berlayar menuju ke Kalkuta, India. Kapal singgah beberapa hari di Pattani.Â
Singkat cerita, kakeknya yang saat itu masih muda tidak jadi melanjutkan perjalanan karena tertarik dengan seorang gadis lokal. Ia kemudian menikahi gadis itu dan menetap di sana. Selanjutnya, kakeknya aktif mendakwahkan Islam, karena pada waktu itu di Pattani masih sangat sedikit orang yang memeluk Islam.
Ustadz Afrizal menambahkan, penyebab kakeknya melarikan diri ke Pattani adalah ia merasa sangat kesal dengan pemerintah kolonial yang memberlakukan kerja Tanam Paksa. Para pribumi dipaksa untuk menanam kopi, tapi seluruh hasilnya diangkut ke negeri Eropa. Pribumi dilarang meminum biji kopi barang sebutir pun. Laksana seekor binatang, pribumi hanya diperah tenaganya habis-habisan, sementara tak sedikit pun menikmati hasilnya.
Setelah menetap di Pattani, kakeknya mendirikan surau sebagai tempat ibadah harian sekaligus sebagai tempat belajar agama Islam bagi penduduk lokal.Â
Sang kakek mengajari mereka membaca Al Qur'an, tatacara shalat, aqidah dan akhlaq, menulis huruf Arab, termasuk mengajari mereka bertani dan berdagang. Kian hari semakin bertambah banyak orang yang memeluk agama Islam, sehingga muncullah ide untuk membuat sebuah madrasah. Nah, Ustadz Afrizal inilah generasi ketiga yang mengelola madrasah tersebut.