Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lamang

3 April 2019   20:15 Diperbarui: 3 April 2019   20:30 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

LAMANG 

Tak seperti biasanya, hari ini Pondok Pesantren Darul Ilmi di Lubuk Basung memiliki kesibukan luar biasa. Para santri putra ada yang sedang memasang panggung dan tenda di halaman utama pondok. Ada yang memasang spanduk di pintu gerbang, umbul-umbul di sepanjang jalan menuju pondok. Ada yang membersihkan ruangan kelas, mengepel masjid, atau memangkas tanaman perindang.

Sedangkan para santri putri semuanya berada di dapur umum pondok. Mereka sedang memasak masakan khas Minangkabau. Ada pembagian tugas. Ada yang memasak sala lauak[1], lempong sagu, bubur kampiun, palai rinuak[2], juga dendeng balado. Sedang si istri Buya dibantu para ustadzah memasak rendang, kalio baluik[3] dan sate Padang. 

Pondok sedang mempersiapkan diri. Esok hari akan kedatangan tamu dari negeri Pattani, Thailand selatan. Mereka berasal dari sebuah madrasah diniyah yang pendirinya berasal dari Minangkabau juga. Tujuan kunjungan mereka adalah studi banding dalam rangka pengembangan pendidikan agama.

"Tak mungkin kita menjamu mereka dengan makanan daerah lain, apalagi makanan asing", kata Buya Yasril Hasbullah kepada Yusnidar, istrinya.

"Benar, saya setuju. Mereka harus merasakan lezatnya makanan khas kita".

"Tapi ada satu lagi yang mesti ada, lamang tapai[4]".

"Khusus yang itu kita membeli ke Pasar Usang saja, di sana ada Uda Ramli yang dagangannya sudah terkenal enak", balas istrinya.

Tanpa berpikir panjang, Buya Yasril segera menuju Honda Vespa kuno berwarna kuning miliknya untuk kemudian pergi ke pasar. Cuaca pagi itu tampak cerah, walau hawanya tetap dingin. Gunung Singgalang yang masih diselimuti kabut berwarna putih susu terasa sejuk dipandang mata. Udara segar dan angin semilir lembut seakan disemburkan dari Danau Maninjau yang terletak tak begitu jauh.

 Sesampainya di tempat tujuan, Buya Yasril segera menuju kios Uda Ramli yang terbuat dari papan kayu dan berada di pasar bagian belakang. Ia sangat gembira ketika mendapati Uda Ramli sudah berada di kiosnya dan terlihat sedang mempersiapkan dagangannya. Kios masih terlihat sepi. 

"Selamat datang di kios saya, Buya. Tumben, pagi-pagi banget sudah sampai kemari. Adakah yang bisa saya bantu?" sapa Uda Ramli ramah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun