Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Kulit dan Isi (Sebuah Renungan)

26 Desember 2018   20:56 Diperbarui: 26 Desember 2018   21:49 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Coba perhatikan di sekeliling kita: tetangga-tetangga kita, teman kerja kita, saudara-saudara kita, dan orang-orang yang dekat dengan keseharian kita. Mereka menunjukkan kepemilikan: kendaraan, perhiasan, rumah, aset dan properti lainnya. Mereka memamerkan penampilan fisik: pakaian, gaya makeup, kosmetika, aksesori, dan berbagai hal yang memperindah tubuh. Termasuk bagi mereka yang menjalankan ibadah seperti hari-umrah, pengajian akbar, dan ritual keagamaan sehari-hari.

Ya, di zaman yang serba materialis dan hedonis seperti saat ini, orang cenderung mengutamakan penampilan luar (kulit) daripada kualitas diri (isi). Orang terus-menerus memoles kulit, menonjolkan penampilan, serta membanggakan segala yang kasat mata. Mereka berlomba-lomba untuk meraih penilaian, kekaguman, pujian dari orang lain.

Orang rela mengeluarkan hingga jutaan rupiah untuk membeli sebuah bedak atau krim agar muka tampak lebih cantik dan muda. Orang mau memaksakan diri mengajukan kredit mobil agar terlihat elit, walau sebenarnya mereka tak memiliki kemampuan untuk itu. Dan bahkan, orang rela mencuri atau melakukan korupsi agar bisa memiliki segala kemewahan dunia.
Mengapa mereka mau melakukan semua itu?

Pertama, mereka menganggap bahwa "kulit" adalah tujuan (hidup) bukan sarana (alat). Memiliki segala sesuatu adalah tujuannya. Mengumpulkan sebanyak mungkin merupakan impiannya. Sehingga mereka rela melakukan berbagai cara untuk mencapainya, termasuk bersedia melakukan tindakan tercela dan kejahatan. Orang seperti ini biasanya memiliki karakter ambisius sekaligus serakah.

Kedua, meyakini bahwa "kulit" bersifat abadi. Kecantikan, status sosial, kekayaan, popularitas, kemegahan dan kemewahan akan membersamainya sepanjang hayat. Ia merasa akan memiliki itu semua selamanya. Ia seakan lupa bahwa ketika mati nanti, tiada satu barang pun yang dapat ia bawa. Oleh karena itu, orang semacam ini biasanya bersifat pelit, kikir, dan sangat individualis.

Ketiga, fenomena di beberapa tempat, mereka lebih menghormati orang kaya daripada orang pintar. Pandai saja jika tidak kaya, tidak dianggap, tidak berguna. Banyak orang pandai di desa, tapi karena mereka miskin, masyarakat tak sudi memandangnya bahkan malah meremehkannya. Sebaliknya, jika ada orang kaya sekalipun ia bodoh, ia akan disanjung, dipuja, dan didengarkan semua perkataannya.

Lupa Memoles "ISI"

Mengapa perpustakaan sepi. Mengapa orang enggan belajar dan membaca. Mengapa orang malas pergi ke seminar atau pelatihan. Dan mengapa pula orang setengah hati ketika melakukan ibadah dan mengikuti kajian keagamaan. Bisa jadi mereka menganggap itu hal yang tidak penting. Suatu hal yang tidak bisa dibanggakan. Suatu hal yang tidak bisa dipamerkan.

Apalagi kegiatan seperti itu membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan juga biaya. Banyak yang malas, tak berminat, tak melirik. Sebab untuk memiliki isi (kualitas diri) dibutuhkan waktu yang lama, perjuangan yang gigih, dan tentunya rintangan dan hambatan. Faktanya, kita secara umum memiliki karakter yang malas dan tidak mau bersusah-payah. Maka, kita akan mencari sesuatu yang dianggap kemuliaan yang bersifat instan, seperti penampilan luar, kekayaan, popularitas sesaat, dan semacamnya.

Memoles isi berarti meningkatkan kualitas diri. Hal ini dibuktikan adanya keinginan dan usaha untuk senantiasa mau belajar, menambah wawasan dan keterampilan, memiliki expertise tertentu, menumbuhkan karakter yang baik, mengembangkan kepribadian, mempunyai kapasitas dan integritas, serta dapat bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan di sekitarnya.

Orang seperti ini rela meluangkan waktu, mengeluarkan biaya (yang tidak sedikit), melakukan perjalanan jauh, menghadapi tantangan, mencari solusi demi meraih cita-cita dan tujuan tertentu. Ia menyadari betul bahwa hidup adalah proses yang mesti dijalani sesuai hukum alam. 

Baginya, tidak ada sesuatu yang instan, jalan pintas, jalan tol, apalagi melakukan sesuatu yang hina-dina untuk mencapai ambisi tertentu. Yang ia kejar bukanlah hasil, tapi kesediaan menjalani semua proses secara baik dan benar.

Demikian halnya bagi para pemeluk agama yang menjalankan praktik ibadah. Bagi mereka yang hanya mengejar kulit, ia menjalankan berbagai macam ibadah tujuannya adalah untuk pamer, mendapat pujian, atau kepuasan duniawi. Haji dan umrah yang dilakukan berkali-kali hanya ingin dianggap sebagai orang kaya. 

Sedekah yang dilakukan di mana-mana, ingin dianggap ia seorang yang dermawan. Khutbah dan ceramah yang selalu ia dendangkan, berniat untuk menunjukkan kemampuannya dalam retorika dan merangkai kata.

Sedangkan orang yang berorientasi pada isi, mereka beribadah hanya untuk Tuhan semata. Ikhlas lillahi ta'ala. Hanya mengharap keridhaanNya. Dia tidak membutuhkan penilaian atau pujian dari manusia. Orang lain tahu atau tidak, ia tetap beribadah dengan baik dan khusyu'. Allah satu-satunya tujuan. Allah satu-satunya pengharapan.

Ibadah bukanlah ritual formal, rutinitas yang diulang-ulang, hal terpaksa, atau terkadang malah membosankan. Bagi yang berorientasi isi, mereka mencoba menemukan MAKNA dari segala ibadah dan aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Makna akan memberi mereka semangat. Makna akan membuat mereka bahagia. Dengan makna pula menjadikan mereka lebih berarti.

Selain menemukan makna, mereka yang senantiasa belajar dan meningkatkan kualitas diri akan memberikan output berupa NILAI. Nilai di sini di antaranya keteladanan, menebar kebaikan, memberi manfaat, kedermawanan, kesalehan sosial, dan sebagainya. Nilai-nilai yang senantiasa dijunjung tinggi, yang menjadikan pelakunya memiliki kemuliaan, derajat, serta martabat.

Penutup

Perpaduan antara MAKNA dan NILAI akan memberikan kekuatan, kelebihan, dan keunggulan pada setiap insan. Ini akan mendorong manusia untuk selalu berbuat baik dan terbaik, mengajak kepada kebaikan, dan berlomba-lomba dalam kebaikan (bukan berlomba dalam penampilan). Sikap optimis, berpikir positif, berbaik sangka senantiasa terpancar darinya.

Sebaliknya, mereka yang cenderung "kulit" hanya akan menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat, kebencian, permusuhan, disharmoni sosial. Yang sering muncul adalah keserakahan, kesombongan, tidak bersyukur, selalu tidak puas, semangat materialisme dan hedonisme.

Memperhatikan penampilan luar dan kepemilikan harta-benda tidaklah dilarang, tapi jangan sampai mengabaikan atau melupakan kualitas diri. Yang terbaik adalah keseimbangan antara keduanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun