Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Robotisasi Manusia

13 Desember 2018   20:11 Diperbarui: 13 Desember 2018   20:20 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Sebuah impian yang imposibel menurut saya. Sebab, sudah menjadi sunnatullah (hukum) bahwa setiap yang bernyawa PASTI akan mengalami kematian. Hal ini dipertegas di dalam kitab suci ketiga agama samawi.

Selain itu, nyawa berbeda dengan detak jantung, tidak sama dengan aliran darah, dan lain dengan sel yang bisa diregenerasi. Coba Anda bayangkan, jika manusia tidak mati. Betapa penuhnya penduduk di muka bumi ini, sementara kelahiran demi kelahiran terus terjadi.

Robotisasi Manusia
Selain munculnya robot-robot (mesin-mesin baru), manusia itu sendiri telah mengalami robotisasi, terutama sejak Revolusi Industri Ketiga. Manusia dianggap diperlakukan seperti mesin-mesin, dianggap hanya makhluk jasmaniah semata; yang tak memiliki ruh, tak mempunyai jiwa. Bahkan, di dunia idustri, manusia disebut sebagai aset. Sama halnya dengan aset-aset yang lain, seperti tanah, bangunan, peralatan/perlengkapan, inventaris dll.

Seringkali kita mendengar, sebuah perusahaan memperlakukan karyawannya secara tidak manusiawi. Jam kerja yang lebih panjang, sering lembur, gaji tidak layak, hak-hak tidak terpenuhi dan sebagainya.

Robotisasi juga terjadi karena sebuah sistem. Kita sering "dipaksa" untuk bekerja laksana robot: dikejar deadline, tugas dadakan, tugas tambahan, cenderung administratif/formalitas (membuat laporan ini laporan itu). Kita cenderung bekerja secara otomatis. Tanpa dibarengi berpikir, tanpa perasaan-dengan hati, tanpa penjiwaan, dan tanpa pemaknaan.

Atau diri kita sendiri yang dengan sengaja menjadikan robot. Seolah-olah kita hanyalah tubuh fisik. Kita mengabaikan unsur rohani dalam diri kita. Kita melupakan unsur kejiwaan dalam raga kita. Kita hanya memenuhi kebutuhan fisik semata: makan-minum, seks, pakaian, perhiasan dll. Sedangkan kebutuhan akan spiritualitas, religiositas, nilai, makna, hakikat diri, ilmu seringkali tak terpenuhi.

Semoga di zaman yang serba robot (mesin-mesin baru) ini, kita tidak ikut-ikutan menjadi robot. Apalagi kita dikendalikan oleh robot-robot itu. Kita tetap menjadi manusia. Seutuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun